Inilah negeri ironi. Tempat di mana kebijakan paling penting atas nama kesejahteraan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat jungkir balik dan salah kaprah. Konstitusi dihianati oleh tabiat ‘munafik’ kaum elit pengambil kebijakan yang mengabaikan amanah dan khittah konstitusi bangsa. Inilah negeri yang dikepung laut, tapi mengimpor garam. Inilah pula negara agraris yang mengimpor beras. Bahkan, tahun ini bangsa Indonesia ini diperkirakan bakal mengimpor 1,75 juta ton beras dan menjadi negara pengimpor beras terbesar kedua dunia. Bangsa agraris tapi menempatkan dirinya hanya satu tingkat di bawah Nigeria, salah satu negara rawan pangan di Afrika, yang tahun ini diperkirakan mengimpor 1,9 juta ton beras.
Kalau proyeksi itu benar, sepantasnya bangsa ini malu besar. Bukankah negeri ini negara agraris? Bukankah nenek moyang bangsa ini adalah kaum pelaut? Bukankah itu kemunduran karena pada 2008 dan 2009 Indonesia mampu memenuhi kebutuhan beras sendiri? Dan kini bakal mengimpor 1,75 juta ton beras dan menjadi negara pengimpor beras terbesar kedua dunia.
Ada banyak faktor dituding sebagai penyebab, antara lain menyusutnya lahan pertanian, meningkatnya permintaan, dan cuaca yang ekstrem. Menyusutnya lahan pertanian jelas akibat tidak adanya kebijakan yang benar-benar berpihak kepada sektor pertanian. Sepanjang 2007-2010 saja sekitar 600 ribu hektare lahan pertanian beralih fungsi.
Namun yang jelas, kebijakan pembanguan di sector pangan dan pertanian yang lebih memanjakan korporasi dan pihak asing dinilai sebagai biang keladi kebijakan salah arah yang menyebabkan pelanggaran hak-hak dasar ekonomi, social dan budaya rakyat makin terabaikan. Pemerintah saat ini tidak hanya abai terhadap kebutuhan rakyat akan tanah dan sumber daya yang terkandung di dalamnya, tetapi malah lebih mendukung pemilik modal besar menguasai lahan tanpa batas. Pemerintah tak menginginkan dan mengabaikan agenda reforma agraria.
Dan jika kebijakan yang lepas tangan dan mengabaikan amanah konstitusi itu tidak segera di insafi, maka target penghapusan kelaparan sebanyak 50 persen dari jumlah 825 juta pada tahun 2015 oleh FAO pada 1996, bisa dipastikan akan gagal. Krisis pangan dan ancaman kelaparan akan datang lagi seperti sekarang dan bangsa ini akan kembali gelimpungan menghadapi hadirnya zaman kegelapan; krisis pangan dan ancaman kelaparan. 925 juta warga kekurangan gizi bahkan mungkin akan terus meningkat; tiap enam detik seorang anak mati karena kelaparan.
Padahal, dalam konteks yang universal, pangan telah ditempatkan sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Universal Declaration of Human Rights 1948, Article 25 (1) menyebutkan, “everyone has the rights to standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food… .”. Karenanya, secara normatif penyediaan pangan menjadi tanggung jawab negara, dalam kerangka pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, di mana hak atas pangan menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Tapi demikian keadaan memang belum banyak berubah, kelaparan masih menjadi tragedi dan skandal dunia. Kini tidak hanya orang per orang, tapi negara antar negara berebut klaim tentang ”siapa yang lebih berhak untuk makan lebih banyak ketimbang yang lain!?”
Sesatir itukah persoalan ’hak’ atas pangan? Bung Karno pada 1952 menyebut urusan pangan dan pertanian adalah soal hidup atau mati suatu bangsa. Sementara Mantan Presiden Amerika G.W Bush pada tahun 2004 menyatakan bahwa agricultural and food security adalah persoalan national defense and security. Demikian lah, dan kita, petani kecil khususnya, sedang dalam ancaman liberalisasi pertanian yang memiskinkan.
Liberalisasi Pertanian
Pangan merupakan komoditi yang tidak hanya memiliki kedudukan strategis dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, namun pangan juga memiliki keterkaitan erat dengan nilai dan pondasi bangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya suatu masyarakat, bangsa dan negara. Pendapat umum yang sering kita dengar adalah barang siapa menguasai pangan ia akan berdaulat, tapi barang siapa tidak menguasai pangan maka ia akan terjajah sepanjang hidupnya. Mungkin pernyataan di atas ada benarnya. Itulah sebabnya isu pangan selalu mengemuka dan menjadi pusat perseteruan dalam setiap perundingan ekonomi dan perdagangan internasional serta menjadi alat paling efektif untuk menundukan dan mengendalikan pemerintahan dan rakyat di suatu negara.
Dari beberapa kali perputaran perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), isu pangan yang tertuang dalam Perjanjian Pertanian atau Agreement on Agriculture (AOA) menjadi topik yang paling panas dan sampai kini menuai jalan buntu adalah di sektor pertanian, karena setiap negara baik negara-negara industri maju maupun negara berkembang tetap mempertahankan pendirian dan kedaulatannya atas sektor pangan dan pertanian. Misalnya, Eropa dan AS telah mengeluarkan dana sebesar US$ 380 untuk mensubsidi sektor pertaniannya setiap tahun. Subsidi ini dikatakan untuk melindungi petani kecil. Tahun 2002, sebanyak 30 negara industri yang tergabung dalam OECD menghabiskan US$ 311 miliar untuk menyubsidi pertaniannya.
Negara-negara Uni Eropa (EU) menyubsidi petani-petani gulanya sebesar 50 euro untuk setiap ton panen tanaman penghasil gula (sama dengan Rp 850,000/ton, dengan kurs Rp 17,000). EU juga menyubsidi dana sebesar US$ 913 (sama dengan Rp 8,217,000) per kepala sapi kepada peternak sapi mereka. Demikian juga dengan negara-negara Afrika, Amerika Latin dan Asia lainnya seperti Jepang yang tetap bersikukuh mematok tarif impor 400 persen untuk melindungi pertanian pangannya khususnya beras. Presiden G.W Bush pada Mei 2002 menandatangani Farm of Bill yang memuat subsidi sebesar US$ 180 miliar, setara dengan Rp 162 triliun (patokan kurs Rp 9000/US$) dalam tempo 10 tahun. Bandingkan dengan anggaran Departemen Pertanian Republik Indonesia tahun 2003 yang hanya 2,3 triliun atau anggaran untuk subsidi pupuk petani (2003) yang hanya 1,3 triliun rupiah, terlepas dari sampai atau tidaknya subsidi ketangan petani.
Proses liberalisasi pertanian dan pangan terus berlanjut tidak hanya di tingat global, tapi juga di tingkat regional dan bilateral seperti AFTA dan CAFTA serta perjanjian bilateral antar negara. Dalam konteks ini Indonesia selalu berada dalam posisi tawar yang paling lemah. Dengan Cina melalui CAFTA, Indonesia sudah harus membuka keran impornya untuk produk-produk pertanian pada 2012 meskipun sesungguhnya pangan dari Cina telah mewarnai pasar pangan di Indonesia sebelum 2012. Di WTO maupun AOA upaya lobby delegasi pemerintah Indonesia hampir tidak maksimal bahkan cenderung menyerah dengan tekanan negara-negara maju. Pemerintah Indonesia mengurangi tarif untuk 6000 produk industri dan pertanian, memangkas 95% dari total tarifnya sebesar rata-rata 40%. Total tarif untuk seluruh mata tarif turun dari 99.861 menjadi 64.391, tingkat tarif rata-rata sederhana per mata tarif sebesar 74,2% menjadi 48,05% atau turun sebesar 26,5 %. Sebenarnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia cukup menurunkan tarif sebesar 24%. Komitmen Pemerintah Indonesia melebihi standar yang disepakati AoA sehingga menjadi negara yang paling liberal dibandingkan negara-negara liberal lainnya sehingga perjanjian dagang bilateral dan regional juga dikenal dengan WTO plus.
Pertanian Rakyat dan Kemiskinan
Pertanian dan pedesaan di negara-negara berkembang seperti Indonesia selalu identik dengan kemiskinan karena kegagalan negara dalam mentransformasikan pondasi dan strukur sosial ekonominya dari struktur sosial-ekonomi masyarakat jajahan ke struktur sosial-ekonomi masyarakat berdaulat. Negara-negara berkembang yang kurang berhasil cenderung mengambil jalan pintas untuk menempuh industrialisasi tanpa membereskan terlebih dahulu kesenjangan dan ketidakadilan struktur sosial-ekonomi yang diwarisi sejak zaman kolonialisme. Sebaliknya, negara-negara yang berhasil keluar dari warisan sistem kolonialisme atau feodalisme dan tumbuh menjadi negara Industri Baru, mereka cukup sukses dalam merestrukurisasi sistem sosial-ekonomi pertaniannya terutama dalam perombakan dan penataan ulang struktur pemilikan atau penguasaan tanah bagi petani kecil melalui program reforma agraria (agrarian reform) dan sejumlah kebijakan insentif atau proteksi di sektor pertanian.
Indonesia yang telah menikmati kemerdekaannya selama 65 tahun hingga kini masih menunjukan angka kemiskinan di pedesaan dari tahun ke tahun tidak mengalami perbaikan, bahkan cenderung meningkat. Hasil Susenas BPS 2006 menggambarkan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 39,30 juta jiwa (17,75%), meningkat 3,95 juta dibandingkan pada tahun 2005 sebesar 35,1 juta (15,97%). Jumlah penduduk miskin di pedesaan lebih besar di banding perkotaan, di pedesaan 24,81 juta jiwa, di perkotaan 14,49 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan 72% menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, khususnya pertanian pangan. Dengan demikian pertanian pangan yang dikelola oleh rumah tangga petani tidak hanya menjadi sumber ketahanan pangan nasional namun juga sebagai sumber mata pencaharian dan lapangan pekerjaan bagi penduduk desa. Selain itu karena peran gendernya, perempuan memiliki tanggungjawab atas pengelolaan pangan rumah tangga maka pertanian pangan identik dengan kehidupan perempuan.
Sejak tahun 1973 pemerintah lebih memilih jalan pintas dalam membangun ekonomi pertanian melalui “Revolusi Hijau” demi mengejar industrialisasi dan mengurangi angka kemiskinan di pedesaan. Sepintas lalu pembangunan pertanian periode 1970-1980-an tersebut dinilai cukup berhasil yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDB sektor pertanian rata-rata 3,2% per tahun. Swasembada beras dapat dicapai pada tahun 1984 dan telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan tahun 1980-an. Swasembada beras ini hanya dapat dipertahankan sampai tahun 1993. Produktivitas padi Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara dan Asia Selatan, upah tenaga kerja pertanian dan harga pupuk terendah di Asia Tenggara, karenanya Indonesia memiliki keunggulan kompetitif beras sebagai substitusi impor (Sajogyo, 2002).
Namun pada kenyataannya peningkatan produksi pangan terutama beras tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan petani. Perlu diingat 71% petani produsen padi di Jawa adalah petani gurem (mengusahakan lahan < 0,5 ha), mereka juga sebagai konsumen beras. Strategi pembangunan pertanian melalui revolusi hijau justru menciptakan differensiasi sosial di pedesaan. Data Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 1993 menunjukkan jumlah buruh tani mengalami penurunan 11,7% (1975) menjadi 10,0% (1993), demikian juga dengan petani yang mengusahakan lahan 0,5-1 ha turun dari 12,0% (1975) menjadi 6,2% (1993), namun jumlah petani gurem yang mengusahakan lahan < 0,5 ha meningkat dari 22,2% (1975) menjadi 27,3% (1993).
Penurunan jumlah buruh tani bukan disebabkan mereka telah memiliki tanah pertanian tetapi sebagian besar mereka bermigrasi ke kota menjadi pekerja sektor informal karena sempitnya lapangan kerja di sektor pertanian. Sementara golongan petani menengah (0,5-1 ha) semakin termarginalisasi karena tanah pertanian terfragmentasi sebagai akibat tekanan sosial-ekonomi seperti penjualan tanah yang tidak terkendali untuk pembiayaan pendidikan anak atau pembagian warisan. Kondisi ini tentu saja memaksa perempuan pedesaan untuk mencari matapencaharian lain dengan menjadi buruh murah baik sebagai buruh murah di perkotaan maupun sebagai buruh migrant.
Kondisi tersebut semakin diperparah ketika pemerintah merubah haluan politik pembangunan pertanian. Mulai tahun 1984 kebijakan pembangunan ekonomi meninggalkan sektor pertanian rakyat, dengan memacu pertumbuhan industri perkebunan dan pengolahan yang penuh ketergantungan pada impor. Di sektor pertanian, diversifikasi dilaksanakan dengan mendorong pertumbuhan komoditi ekspor terutama kelapa sawit, kakao dan karet. Kebijakan baru ini ditopang pula oleh kebijakan pembangunan yang bias perkotaan, termasuk kebijakan perdagangan dan nilai tukar yang sangat melindungi sektor industri. Alokasi anggaran untuk sektor pertanian rakyat menurun drastis. Pembangunan infrastruktur pedesaan dan di luar Jawa diabaikan demi memacu pembangunan infrastruktur perkotaan dan di Jawa.
Pembangunan pertanian rakyat sendiri mulai dilepas untuk didominasi oleh perusahaan besar terutama di bidang perkebunan, peternakan dan perikanan, dimana pembangunan pertanian harus melibatkan rakyat berupa PIR dengan ketentuan 60 % areal dimiliki oleh plasma. Pada paket deregulasi tahun 1990-an areal menjadi 100 % bisa dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan besar dan malah boleh 100 % modal asing. Kebijakan ini keliru, karena memarjinalisasi hak masyarakat dan menumbuhkan “enclave” kemakmuran perusahaan di tengah kemiskinan masyarakat pedesaan (Jurnal Ekonomi Rakyat, 2002). Di bawah ini adalah data perbandingan pertumbuhan sub sektor pertanian secara periodik.
Selama dekade 1990-an jumlah petani gurem yang mengusahakan lahan <0,5 ha meningkat dengan laju 1,5 % dan jumlah buruh tani meningkat dengan laju hampir 5,0 % per tahun. Di lain pihak, lima perusahaan perkebunan swasta besar menguasai lebih dari satu juta ha lahan perkebunan. Semua nilai tambah jatuh pada perusahaan besar di Jakarta, sedangkan masyarakat lainnya di daerah hanya menerima UMR dan pemerintah daerah menerima PBB yang sangat rendah. Pertumbuhan pertanian mulai menurun yang mencapai puncaknya ketika impor beras menjadi 6 juta ton tahun 1998 (25 % beras yang ada di pasar dunia) terbesar dalam sejarah.
Babak Baru Industrialisasi Pertanian Pangan
Pembangunan pertanian selama pasca reformasi terutama setelah 2004 menegaskan kembali arah politik pembangunan pertanian nasional yang lebih berkiblat pada liberalisasi pertanian. Hal ini merupakan babak baru dari fase-fase perjalanan sejarah pembangunan pertanian kita. Pada periode ini liberalisasi pertanian tidak lagi dibatasi pada tanaman perkebunan yang berorientasi ekspor tapi juga sudah masuk ke sektor pertanian pangan yang selama ini dikelola oleh rumah tangga petani yang berjumlah 24.868.675.
Berita mengejutkan hadir di media massa pada saat petani masih terjerat berbagai persoalan baik di lini produksi, pasca panen maupun pasar. Belum lagi usai beban yang ditanggung pertanian rakyat akibat dikuranginya subsidi pupuk, perubahan iklim yang berdampak kegagalan panen sampai terjangan produk impor akibat dibukanya keran impor. Lagi-lagi pemerintah mengeluarkan kebijakan mengundang investor dalam negeri dan asing untuk menanamkan modalnya di pertanian pangan. Mengulangi program pertanian pangan sejuta hektar di Kalimantan semasa pemerintahan Suharto yang akhirnya gagal, kali ini pemerintahan SBY mengundang investor dari Australia, Timur Tengah (Perusahaan Bin Laden) dan perusahaan konglomerat nasional untuk menanamkan modalnya di Papua khususnya di sektor pertanian. Selama ini arus investasi baik dari dalam maupun luar negeri cukup deras masuk di provinsi Papua dan Papua Barat. Penanaman modal asing di Papua terealisir mencapai 112% dan di Papua Barat mencapai 129%. Pada tahun 2008 penanaman modal dalam negeri mencapai Rp. 5,7 triliun di Papua dan Rp. 7,6 triliun di Papua Barat, sedangkan penanaman modal asing mencapai US$ 5 milyar di papua dan sekitar US$ 246 juta di papua Barat.
Dalam rangka menarik investasi di sektor pertanian pemerintah mengeluarkan kebijakan pengadaan tanah seluas 1,2 juta hektar yang dicadangkan untuk Merauke Integreted Food and Energy Estate (MIFEE), di mana 1,15 juta hektar adalah Hutan Produksi Konversi yang memang dicadangkan untuk pembangunan diluar sektor kehutanan seperti pertanian. Dari 1,2 juta hektar tersebut yang dapat dijadikan tanaman pangan seluas 600.000 hektar. Kebijakan tersebut tertuang dalam rencana Peraturan Presiden mengenai Tata Ruang Pulau Papua (Raperpres RTR Papua).
Penyediaan tanah skala luas untuk para investor tersebut sesungguhnya menyakiti jutaan petani gurem dan petani tak bertanah yang selama puluhan tahun menunggu budi baik pemerintah memberikan akses penguasaan tanah untuk pertanian rakyat melalui program reforma agraria. Bukan hanya kali ini pemerintah memberi kemudahan bagi para investor agribisnis untuk mendapatkan tanah dalam skala luas, tapi jauh sebelumnya perusahaan-perusahaan agribisnis telah menjadi anak emas pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian, tidak hanya di Papua tapi di pulau-pulau lainnya seperti, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Jawa. Sebaliknya, pertanian rakyat yang menampung jutaan keluarga hingga kini hanya bisa mengelola tanah seluas seperempat hektar masing-masing rumah tangga. Tuntutan petani agar tanah-tanah kehutanan yang sudah tidak sesuai peruntukkannya dan tanah perkebunan terlantar diberikan pengelolaannya kepada petani agar dapat mendongkrak peningkatan produksi pertanian hampir tidak pernah mendapat tanggapan serius dari pemerintah. Memang ada program PPAN yang dimotori BPN untuk mendistribusikan tanah-tanah perkebunan terlantar namun jumlahnya masih jauh dari harapan. Bahkan di beberapa wilayah tuntutan petani tersebut dihadapi dengan kekerasan.
Di sisi lain rencana pembukaan lahan 1,2 juta hektar di Papua tersebut dipastikan akan menimbulkan dampak serius terhadap kerusakan lingkungan dan meningkatkan konflik sosial serta etnis yang di Papua sudah seperti api dalam sekam. Menurut Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi, persoalannya dari lahan kehutanan yang disediakan untuk proyek mercu suar tersebut 1,06 juta hektar adalah hutan primer dengan tegakan yang masih baik. Menurutnya kebijakan pemerintah mengembangkan MIFEE menyebabkan pembabatan hutan. Langkah ini justru bertentangan dengan program Kementrian Kehutanan menanam pohon satu miliar untuk mengurangi emisi 26% tahun 2020. Jika melihat draft rencana induk MIFEE, terlihat jelas hutan alam Merauke akan dikonversi secara massif. Artinya, program MIFEE ini bertolak belakang dengan pidato Presiden di Kopenhagen pada akhir tahun 2009 lalu (Kompas, 9/5/2010).
(orientasi bisnis) Pola dan modus seperti ini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh perusahan-perusahaan agribisnis besar. Kepentingan mereka sesungguhnya bukan terletak pada keseriusan membangun basis pertanian nasional yang kuat dan mandiri. Mereka berkepentingan pada sumberdaya alam yang terkandung dalam hutan tersebut seperti, kayu alam, kandungan tambang dan juga hak konsensi tanah yang bisa digunakan sebagai agunan kredit perbankan. Dari hasil penebangan kayu alamnya saja mereka sudah memperoleh untung, belum lagi memperoleh jaminan kredit perbankan. Boleh dikatakan sesungguhnya mereka tidak mengeluarkan investasi untuk mengembangkan proyek pertanian pangan tersebut. Mereka tetap berorientasi pada tanaman keras ekspor seperti sawit yang dinilai lebih menguntungkan.
MIFEE adalah salah salah satu contoh kebijakan pemerintah yang berkiblat pada modal besar dalam rangka mengembangkan industri pangan. Hal ini mengingatkan kita pada masa pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1870 yang meliberalisasikan sektor pertanian dengan membuka perkebunan-perkebunan besar berorientasi ekspor. Perbedaannya bila pemerintah kolonial Belanda menciptakan dualisme sistem pertanian yakni pertanian rakyat berfokus pada tanaman pangan dan perkebunan besar berfokus pada tanaman ekspor. Sistem tersebut kemudian diadopsi dan dipertahankan oleh pemerintah Indonesia sejak Kemerdekaan hingga Orde Baru, di mana pertanian pangan sepenuhnya dikelola oleh rumah tangga petani melalui koperasi-koperasi tani.
Namun kini di masa pemerintahan SBY terjadi perubahan paradigma pembangunan pertanian nasional, dualisme sistem pertanian tidak lagi dipertahankan, sebaliknya keran investasi perusahan-perusahaan besar swasta baik dalam maupun asing dipersilahkan merambah wilayah pertanian pangan yang sejak ratusan tahun menjadi domain rumah tangga tani kecil-menengah. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman terlihat jelas bahwa pemerintah menginginkan masuknya pelaku-pelaku usaha pertanian baru (agribisnis) dengan kepemilikan modal besar dan teknologi tinggi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi pertanian yang setelah akhir 1980-an mengalami stagnasi atau penurunan. Meskipun PP menyebutkan salah satu tujuannya adalah mencapai kedaulatan pangan, namun lebih banyak memberikan ruang kepada pelaku agribisnis besar-menengah untuk memanfaatkan peluang kebijakan tersebut, sementara petani atau rumah tangga petani hanya disebutkan sedikit saja.
Dampak yang terjadi dari dikeluarkannya PP Budi Daya Tanaman tersebut adalah rumah tangga petani berlahan sempit (petani gurem) atau petani penggarap secara bertahap akan tersingkir karena ruang produksi dan pasar dikuasai oleh perusahaan agribisnis sebagai pendatang baru. Tidak bisa dibayangkan ketika petani gurem di masa sebelumnya mengusai sektor hulu (produksi) dan tidak mengusasi sektor hilir (pasar), mereka tetap tidak merugi dan termarginalisasi. Kini setelah perusahaan agribisnis dibolehkan menguasai sektor hulu dan sekaligus hilir dengan skala usaha yang cukup besar (25-10.000 ha) sudah dapat dipastikan mereka akan menguasai semua lini usaha ekonomi pertanian dan menggantikan peranan usaha pertanian rakyat yang selama ini telah hidup ratusan tahun lalu. Pertanyaan penting yang diajukan adalah, bila memang pelaku usaha agribisnis diserahkan untuk memotori pertumbuhan pertanian nasional, lantas kemana jutaan rumah tangga petani gurem akan ditempatkan? Apakah mereka hanya dijadikan tenaga kerja murah atau sebagai sub kontrak perusahaan-perusahaan agribisnis? Jadi jelas bahwa arah kebijakan pemerintah saat ini tidak lagi melihat satuan usaha pertanian kecil yang digeluti rumah tangga petani menjadi pondasi strategis pembangunan pertanian nasional. Petani berlahan sempit secara perlahan-lahan digeser dan digantikan pelaku usaha agribisnis yang menguasai lahan luas, teknologi modern dan memperoleh dukungan modal perbankan.
MIFEE Berkah atau Bencana?
MIFEE merupakan pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Pemerintah melibatkan 32 investor yang bergerak di bidang perkebunan, pertanian tanaman pangan, perikanan darat, peternakan, konstruksi, dan industri pengolahan kayu. Di antara investor tersebut adalah Medco, PT Bangun Tjipta Sarana, Artha Graha, Come-Xindo Internasional, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama, Wolo Agro Makmur, dan investor asal Arab Saudi dari Binladen Group yang akan taruh modal sebesar 4,37 miliar US dollar. Bahkan dikabarkan Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Azis akan berkunjung untuk melihat proyek MIFEE. Para investor tersebut diajak untuk mengelola lahan seluas 1.282.833 ha yang berdasarkan rekomendasi Badan Penataan Ruang Nasional (BKPRN) layak dikembangkan menjadi kawasan pertanian pangan dan bahan bakar hayati dalam skala luas.
Pemerintah memiliki mimpi bila proyek MIFEE berjalan dengan baik maka pada tahun 2030, Indonesia akan mempunyai tambahan cadangan pangan seperti, beras 1,95 juta ton, jagung 2,02 juta ton, kedelai 167.000 ton, ternak sapi 64.000 ekor, gula 2,5 juta ton, dan CPO 937.000 ton per tahun. Sedangkan keuntungan yang diperoleh daerah adalah PDRB per kapita Merauke terdongkrak menjadi 124,2 juta per tahun pada tahun 2030. Devisa negara juga bisa dihemat hingga Rp. 4,7 triliun melalui pengurangan impor pangan.
Dalam rangka mendukung proyek MIFEE, pemerintah membuat payung hukum agar proyek tersebut dapat berjalan, produk hukum tersebut di antaranya, Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Pemerintah (PP) 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan di Luar Kegiatan Kehutanan, Peraturan Pemerintah (PP) No 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah (PP) No 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, Inpres No.5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009 dan Raperda Kabupaten Merauke Tahun 2009 Tentang Merauke Integrated Food and Energy Estate.
Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah Merauke nampaknya berambisi untuk menjalankan proyek MIFEE ini. Tidak lagi peduli dengan persoalan-persoalan laten yang selama ini mengganjal hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat Papua mengenai persoalan diskriminasi, ketidakadilan, dan ketertinggalan sehingga menimbulkan konflik sosial-politik yang berujung pada kekerasan. Pemerintah juga melupakan pengalaman kegagalan proyek sejuta lahan yang mengubah lahan gambut menjadi lahan pertanian pangan pada masa pemerintahan Suharto yang berakhir ditinggalkannya proyek tersebut tanpa ada kelanjutannya. Kecenderungannya, apa yang akan dilakukan pemerintah dengan MIFEE ini cepat atau lambat akan menuai persoalan dan protes dari masyarakat.
Industri Pangan untuk Siapa?
Bila dikaji lebih jauh mengenai keberadaan proyek MIFEE, sebenarnya patut diajukan beberapa pertanyaan mendasar. Pertama, apa yang menjadi alasan pemerintah mengambil model MIFEE sebagai jalan menuju ketahanan pangan? Kedua, mengapa Papua menjadi pilihan lokasi mega proyek tersebut?
Mengenai mimpi pemerintah tentang menuju ketahanan pangan pada tahun 2030 melalui proyek MIFEE, sebenarnya tidak realistis dan tidak relevan dengan komitmen dan strategi yang selama ini dikumandangkan pemerintah. Dibandingkan periode pemerintahan Suharto, pemerintahan sekarang nampak tidak lagi mempercayakan urusan produksi pangan kepada rumah tangga tani yang tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia. Program swasembada pangan yang terjadi pada pertengahan 1980-an sesungguhnya tidak terlepas dari peranan penting rumah tangga petani. Walaupun belum terlihat jelas mengenai dampaknya bagi petani kecil, namun keberhasilan tersebut telah mendongkrak pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian lebih baik dari sebelumnya dan mempengaruhi pengurangan jumlah penduduk miskin pedesaan.
Setelah sukses swasembada pangan tahun 1986, pemerintah Orde Baru mencoba strategi baru untuk meningkatkan produksi pangan melalui mega proyek sejuta lahan di Kalimantan. Proyek tersebut langsung dikelola dan dikendalikan pemerintah pusat dengan nilai investasi yang cukup besar. Namun apa yang terjadi kemudian? Mega proyek tersebut gagal di tengah jalan dan kini tidak terdengar lagi.
Hampir sama dengan pendahulunya, kini pemerintahan sekarang lebih mengandalkan swasta untuk mengambil peranan peningkatan produksi pangan. Dibukanya ijin bagi industri-industri pangan skala luas menunjukkan bahwa rumah tangga petani tidak lagi memegang peranan penting untuk menjaga ketahanan pangan. Sebenarnya bagi petani kecil tidak masalah karena selama ini produksi pertanian yang mereka lakukan ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Namun persoalannya adalah anggaran baik subsidi maupun pinjaman bunga rendah yang disediakan bank jatuh kepada para pengusaha-pengusaha pertanian besar. Rumah tangga tani semakin sulit menjangkau akses kredit pertanian yang selama ini juga sulit mereka dapatkan.
Sebaliknya, pemerintah saat ini memberi akses dan kemudahan yang cukup besar kepada pengusaha pertanian untuk mendapatkan berbagai fasilitas, termasuk di dalamnya perolehan tanah pertanian dalam skala ribuan bahkan jutaan hektar, seperti yang terjadi di Merauke dengan proyek MIFEE-nya. Bahkan tidak peduli status lahannya bagaimana, entah itu tanah negara atau tanah kehutanan, bila memungkinkan pemerintah dengan mudah melepas dan memberikannya kepada para pengusaha pertanian. Bandingkan dengan nasib petani kecil atau buruh tani yang sejak turun temurun hidup dalam pertanian namun sampai saat ini tidak memiliki lahan pertanian yang memadai. Perjuangan mereka untuk mendapatkan lahan pertanian yang layak (1-2 ha) lebih banyak ditanggapi reaksioner dan seringkali dengan cara kekerasan aparat negara. Ketidakadilan ini terus berlanjut sampai sekarang.
Alasan kedua mengenai pilihan lokasi di Papua, ada sikap yang kontradiktif antara gagasan dan kenyataannya. Proyek MIFEE sama sekali tidak sensitif dengan latar belakang sejarah dan realitas yang ada di masyarakat. Mereka berbicara tujuan proyek untuk mencapai ketahanan pangan nasional, pertanyaannya adalah pangan untuk siapa? Makanan pokok rakyat Papua adalah sagu yang diperoleh dari hutan sagu. Kini hutan-hutan tersebut ditebangi dan digantikan tanaman pangan industri seperti padi, jagung, sawit, dan tanaman yang berorientasi ekspor. Pemerintah berambisi mengejar perolehan devisa dari tanaman ekspor tersebut namun membiarkan rakyat Papua berada dalam ancaman kelaparan dan kehilangan sumber bahan makanan pokoknya. Dalam berbagai media massa dipublikasikan tentang krisis pangan di sebagian wilayah Papua, namun pemerintah bukannya mencari jalan keluar yang arif dan bijaksana, sebaliknya menjerumuskan rakyat Papua ke dalam krisis pangan berkepanjangan. Dengan rusaknya ekosistem karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan maka persoalan akan semakin bertambah dan lebih kompleks, tidak hanya soal krisis pangan tapi juga konflik sosial yang akan menyertainya.
Proyek MIFEE mengingatkan kita tentang mega proyek yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1870. Pemerintah mengambil tanah-tanah pertanian rakyat dan tanah ulayat untuk dirubah menjadi perkebunan-perkebunan besar yang berorientasi ekspor. Demikian juga dengan sistem culturstelsel atau tanam paksa yang dijalankan demi mengejar perolehan devisa negara kolonial telah menghancurkan sistem dan tradisi pertanian rakyat serta merusak sistem ulayat yang telah hidup ratusan tahun. Kemiskinan dan kelaparan terjadi di pedesaan sehingga memicu protes dan perlawanan petani di mana-mana.
Politik Agraria rezim Liberal
Melihat berbagai fenomena keagrarian kontemporer yang tengah dan sedang berlangsung, skenario kebijakan politik agraria yang dijalankan pemerintahan SBY-Boediono merupakan ciri model politik agraria di negara-negara yang menganut rezim liberal demokratik.
Pelaksanaan reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah pertanian terbatas kepada petani adalah bagian dari keseimbangan pasar politik yang perlu dilakukan agar tidak memicu pergolakan agraria yang lebih besar. Pelaksanaan reforma agraria secara progresif dan menyeluruh tidak bisa pernah terjadi dalam kepemimpinan politik rezim liberal demokratik. Sistem dan fondasi ekonomi nasional tetap bertumpu pada pasar bebas dan bergantung pada modal asing, bukan pada basis transformasi agraria sebagai landasan pembangunan industri nasional. Rezim liberal demokratik sesungguhnya tidak berkepentingan dengan perombakan dan transformasi ketimpangan agraria sebagai jalan terbaik menata ulang sistem sosial-ekonomi untuk menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Kesuksesan pelaksanaan reforma agraria di negara-negara berhaluan sosialis, sosialis-demokratik atau populis tidak bisa ditiru ulang di negara-negara yang menganut liberal-demokratik. Filipina dan Indonesia adalah tipe negara yang mencoba menjalani reforma agraria dalam kerangka neo-liberalisme. Di satu sisi rakyat diberi program redistribusi terbatas namun di sisi lain sistem ekonomi secara makro dibuka untuk pasar bebas dan investasi asing tanpa batas baik di sektor agraria maupun industri turunannya. Dari segi waktu pelaksanaan, rezim liberal demokratik cenderung menjalankan program reforma agraria secara bertahap dan jangka waktu yang lama atau cenderung mengulur waktu. Padahal ciri utama pelaksanaan reforma agraria yang benar adalah waktunya yang singkat dan cepat serta berdampak luas. Karena itu faktor kesuksesan reforma agraria adalah menjadi bagian tak terpisahkan dari kepemimpinan politik yang kuat dan memiliki komitmen serta keberanian menghadapi rintangan struktural.
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, kemajuan pelaksanaan reforma agraria tidak bisa hanya dilihat dari kacamata produk hukum, tapi harus dilihat secara keseluruhan kecenderungan atau pendulum kekuatan-kekuatan ekonomi-politik yang sedang berlangsung. Terlalu sederhana bila dinyatakan RUU Pertanahan merupakan sinyal baik dari pemerintah untuk menjalankan komitmennya dalam menciptakan politik agraria yang lebih adil dan berpihak kepada rakyat. TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria adalah contoh produk legislasi yang sampai sekarang tidak berdampak luas terhadap keadilan agraria bagi petani.
Sementara itu, kekuatan petani dan aktivis reforma agraria sepanjang tahun 2010 hampir belum memperlihatkan kemajuan berarti baik dari segi skala gerakan maupun posisi tawar yang dapat diperhitungkan oleh pemerintah, legislatif maupun partai-partai politik. Gerakan massif yang disuarakan organisasi petani cenderung melemah di tengah memperingati 50 tahun UUPA. Gerakan reforma agraria terpecah ke dalam berbagai faksi dan pendekatan strategi. Tidak terlihat lagi aksi besar puluhan ribu petani di jalan-jalan pada setiap 24 September. Sebagian besar gerakan lebih berfokus pada mengupayakan produk legislasi reforma agraria yang menguntungkan petani. Sebagiannya ada juga yang mendukung langkah-langkah BPN dalam menjalankan PPAN.
Berbagai konflik masih tetap terjadi antara petani versus perkebunan atau pertambangan di daerah. Kekerasan terhadap petani juga tidak berkurang. Semua ketegangan dan konflik tersebut tidak banyak terekspos secara luas di publik. Berita kekerasan petani tertutup dengan pemberitaan-pemberitaan program redistribusi dan sertifikasi tanah oleh pemerintah, termasuk oleh Presiden SBY sendiri.
Agenda gerakan reforma agraria akhir-akhir ini terutama periode 2010 nampak berjalan tanpa arah, hanya mengulangi seruan-seruan dan aksi-aksi yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Isu mengenai lembaga penyelesaian konflik agraria yang telah digagas tujuh tahun lalu masih terus diulangi hingga sekarang. Bahkan belum jelas lembaga ini mau ditempatkan dimana dan instansi mana yang beratanggung jawab. Bila dulu digagas oleh Komnas HAM dan diusulkan ke Presiden Megawati menjadi Komisi Nasional Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA) tapi ditolak dengan alasan sudah terlalu banyak komisi nasional. Sekarang isu tersebut lebih tidak jelas lagi keberadaannya, hanya menjadi konsumsi kalangan aktivis reforma agraria saja.
Basis-basis konflik agraria yang pada periode 1980-1990-an tersebar di berbagai daerah dan menjadi isu nasional, memasuki 2010 basis tersebut semakin mengecil. Bahkan cukup memprihatinkan di beberapa bekas wilayah konflik dimana petani secara defacto telah menguasai tanah, kini sebagian tanah tersebut telah beralih ke pihak luar. Di Jawa Barat saja banyak kasus seperti itu antara lain Cimacan, Tapos, Rancamaya, Cibabi, dan belum lagi di propinsi lainnya. Banyak tanah hasil reclaiming telah dijual dan digadaikan atau diserahkan kembali ke perusahaan dengan menerima ganti rugi yang tidak layak.
Sebagian besar petani telah mengalami kelelahan dalam memperjuangkan hak-haknya. Dari aspek organisasi, banyak organisasi tani tidak berkembang secara luas dan menguat, yang besar menciut jadi kecil, di sisi lain muncul organisasi-organisasi tani lokal dan mulai berjuang seperti sepuluh tahun yang lalu. Belum lagi arogansi sesama organisasi tani yang belum cair sampai saat ini. Meskipun sudah ada upaya untuk saling bertemu dan bekerjasama membangun isu gerakan bersama, namun sekat-sekat pemisah tersebut masih belum terbuka dan menyatu. Dalam situasi seperti itu, pernyataan-pernyataan populis dari pemerintah, parlemen dan politisi untuk mendukung pelaksanaan reforma agraria meskipun hanya sekedar janji sudah membuat petani puas dan bersedia menunggu kebijakan tersebut datang.
Diskursus tentang orientasi dan ideologi gerakan reforma agraria sebenarnya sudah lama dimulai untuk mengatasi dan mencari solusi sikap pragmatisme gerakan petani pasca reclaiming, tapi sepanjang 2010 nampaknya belum ada serangkaian diskusi yang serius untuk merumuskan ulang ideologi dan route map gerakan reforma agraria termasuk pilihan jalan politik agraria yang akan ditempuh. Yang terjadi adalah pilihan-pilihan pragmatis yang dilakukan oleh para aktivis reforma agraria seperti masuk partai politik dan parlemen tanpa mempertimbangkan secara kritis tentang ideologi dan platform dari partai politik tersebut.
Memasuki 2011, hambatan dan tantangan gerakan reforma agraria baik secara eksternal dan internal nampak semakin berat walaupun ruang politik kebijakan agraria makin terbuka luas. Persolan utama sebenarnya bukan berasal dari seberapa kuat cengkraman negara untuk membatasi gerakan reforma agraria, bahkan bila dilihat banyak gagasan-gagasan dari kalangan pakar dan aktivis reforma agraria sudah bisa diterima oleh pengambil kebijakan, seperti RUU Pertanahan yang isinya sudah mengakomodir tuntutan para pakar dan organisasi tani, walaupun RUU tersebut belum memasukan persepektif gender secara tegas yang tentu saja ini akan menjadi persoalan di kemudian hari. Namun justru persoalannya terletak di internal elemen-elemen gerakan reforma agraria sendiri yang nampak belum memiliki arah dan orientasi yang jelas.
Sebagai contoh, menurut BPN ada 6 juta hektar tanah yang akan dibagikan kepada petani sebagai subyek landreform, bila setiap rumah tangga petani mendapat 2 hektar tanah berarti ada 3 juta rumah tangga petani yang harus dikonsolidasi dan diorganisir. Jumlah tersebut merupakan kekuatan baru bagi organisasi dan gerakan tani Indonesia di masa mendatang. Namun sayangnya peluang dan gagasan tersebut belum direspon secara baik oleh aktivis reforma agraria. Tetap saja yang akan memanfaatkan mereka adalah organisasi-organisasi tani yang sudah establish seperti HKTI dan juga partai-partai politik yang mengklaim bahwa mereka punya andil besar dalam menjalani program redistribusi tanah.
Organisasi dan gerakan tani saat ini masih berkutat dengan jumlah anggota yang tidak bertambah-tambah bahkan cenderung menurun. Ini juga menjadi pesoalan serius bagi gerakan petani dan reforma agraria di masa mendatang. Hal ini terlihat dengan semakin mengecilnya massa tani ketika aksi sehingga bagaimana mungkin bisa meningkatkan posisi tawar yang kuat di tingkat lokal dan nasional. Mungkin semua fenomena dan kecenderungan sebagaimana yang digambarkan di atas bisa menjadi bahan refleksi kita semua untuk meneguhkan kembali keyakinan akan pentingnya reforma agraria sebagai landasan pijak satu-satunya bagi masa depan pembangunan Indonesia.
Pembaharuan Agraria suatu Keharusan
Wacana tentang Pembaharuan Agraria (Agrarian Reform) atau Reforma Agraria sudah seringkali dibicarakan oleh berbagai kalangan baik di tingkat nasional maupun internasional. Wacana inipun telah ditetapkan menjadi jalan menuju Tata Ekonomi Internasional Baru. Penetapan jalan baru ini merupakan hasil refleksi yang panjang atas kegagalan paradigma dan strategi pembangunan ekonomi dunia yang cenderung menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan, serta tetap meninggalkan masalah kemiskinan dan kelaparan pada sepertiga penduduk dunia. Maka pada bulan Juli 1979, 145 negara menyetujui Deklarasi Prinsip dan Program Aksi yang dihasilkan Konferensi Dunia tentang Pembaharuan Agraria dan Pembangunan Pedesaan, yang diselenggarakan oleh FAO di Roma.
Bagian penting dari isi deklarasi tersebut adalah sebagai berikut :
Menyadari bahwa upaya-upaya program pembangunan pada masa yang lampau banyak mengalami kegagalan dalam menggapai dan memberi keuntungan bagi wilayah-wilayah pedesaan secara memadai, dalam banyak hal menciptakan ketidakseimbangan pembangunan kota-desa, mengabaikan adanya dinamika dan keragaman nilai-nilai budaya asli penduduk desa bahkan telah mengakibatkan terciptanya ketidakseimbangan di dalam sektor pedesaan ……..
Meyakini bahwa pembaharuan agraria merupakan komponen kritis yang terdapat dalam pembangunan pedesaan, dan bahwa perbaikan daerah pedesaan yang terus menerus, yakni dalam konteks menegakkan rasa percaya diri dan terciptanya Tata Ekonomi Internasional Baru pada dasarnya memerlukan adanya tanah, air dan sumberdaya alam lainnya secara lebih lengkap dan lebih berkeadilan lagi; perlunya pembagian kekuasaan ekonomi dan politik yang lebih merata; meningkatkan serta lebih memproduktifkan lapangan kerja; lebih mendayagunakan keterampilan serta sumberdaya manusia; menyertakan dan mengintegrasikan masyarakat desa ke dalam sistem produksi dan distribusi; meningkatnya produksi, produktivitas serta tersedianya makanan bagi semua kelompok masyarakat; serta mobilisasi sumberdaya yang ada dalam diri tiap orang atau bangsa( FAO, 1981).
Inti dari deklarasi tersebut menyatakan bahwa untuk membangun Tata Ekonomi Baru yang bertumpu pada pemerataan dan keadilan maka setiap pemerintah hendaknya melaksanakan perombakan dan penataan kembali struktur pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria (tanah, air dan udara) untuk kepentingan rakyat banyak dan demi terciptanya pembangunan yang berkelanjutan. Karena salah satu akar kemiskinan dan keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga adalah masih besarnya ketimpangan struktur penguasaan agraria sebagai warisan dari sistem feodalisme dan kolonial di masa lalu.
Pembaharuan agraria merupakan landasan bagi pembangunan sosial-ekonomi di pedesaan, dan pembangunan sosial-ekonomi di pedesaan yang bertumpu pemerataan dan keadilan adalah syarat untuk membangun struktur ekonomi nasional yang kuat, mandiri dan berkelanjutan. Sebagian besar negara-negara yang telah berhasil membangun industrialisasinya seperti di Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Cina, semuanya menempuh jalan pembaharuan agraria. Jadi, kalau dikatakan bahwa pembaharuan agraria tidak ada sangkut pautnya dengan industrialisasi dan modernisasi ekonomi atau bahkan akan menggagalkannya, pendapat tersebut salah besar.
Bahkan sebaliknya, industrialisasi dan modernisasi ekonomi tanpa pembaharuan agraria merupakan pembangunan yang semu atau rapuh. Bila pembangunan hanya diartikan sebagai gerak modal maka gerak modal yang terjadi adalah gerak modal khayal, artinya memang banyak pihak menginvestasikan modalnya tapi modal tersebut hanya diparkir sementara. Hal ini tidak akan terjadi bila pondasi ekonomi baik lokal maupun nasional kuat, dan untuk memperkuatnya di perlukan pembaharuan agraria.
Setidaknya ada dua alasan mendasar kenapa pembaharuan agraria mutlak di lakukan, apalagi bila corak dan sistem masyarakatnya masih agraris.
Pertama, alasan keadilan dan penghapusan segala bentuk penghisapan. Pembangunan bagaimanapun juga harus dilandasi rasa keadilan dan pemerataan, sebuah pandangan yang sudah lama dikemukakan teori-teori sosial-ekonomi. Pembaharuan agraria yang salah satu aspeknya adalah landreform merupakan upaya untuk menciptakan pemerataan sosial-ekonomi di berbagai lapisan masyarakat di pedesaan.
Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Menteri Agraria Sardjowo dalam mengantarkan rancangan UUPA di muka sidang pleno DPRGR pada tanggal 12 September 1960, ia menyatakan bahwa tujuan landreform di Indonesia antara lain adalah :
- Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil juga;
- Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan;
- Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik;
- Untuk mengakhir sistim tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan cara menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga.
Kedua, alasan ekonomi. Alasan ini banyak digunakan oleh pemerintah dan para perencana pembangunan di negara-negara berkembang sebagai strategi transformasi pembangunan ekonomi dari sistem perekonomian tradisional ke sistem perekonomian moderen. Baik pemerintahan yang menganut sistem sosialis maupun sistem kapitalis, keduanya menempuh pembaharuan agraria sebagai dasar untuk pembangunan ekonomi nasional.
Dengan dikuasainya alat produksi oleh petani, maka akan menciptakan lapangan pekerjaan secara merata di pedesaan dan sekaligus juga menciptakan pendapatan rumah tangga pedesaan secara pasti. Dengan demikian akan terjadi peningkatan daya beli masyarakat pedesaan sebagai sumber pembentukan pasar domestik yang kuat. Pasar domestik yang kuat ini merupakan landasan untuk pengembangan industrialisasi yang berorientasi ke dalam. Di sini sangat jelas bahwa pembaharuan agraria merupakan jembatan menuju industrialisasi dan pembangunan nasional yang ditujukan sepenuhnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.