Pendahuluan
Konsepsi dasar pengembangan masyarakat dan pedesaan sebenarnya merupakan konsep pembangunan yang sangat lama, standar dan telah diadopsi oleh Indonesia sejak dini, beberapa tahun setelah negara ini merdeka, menyusul pencanangan program tersebut sebagai the global development program oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam mencari format pembangunan negara-negara yang lahir pasca perang dunia II guna mengatasi keterbelakangan, sekaligus mengurangi penderitaan yang muncul sebagai akibat dari kolonialisme, imperialisme dan perang dunia berkepanjangan.
Komitmen global yang sangat berarti bagi pembangunan masyarakat tersebut telah dicanangkan semenjak tahun 1948 sebagai keputusan konferensi internasional di Inggris untuk melakukan revitalisasi semangat pembangunan beberapa negara bekas jajahan dengan menggali kekuatannya sendiri. Secara khusus konferensi yang sama diadakan dengan konsentrasi pembangunan pertanian dan pedesaan pada tahun 1951. Dua konferensi ini telah berhasil mempertegas pendekatan kemasyarakatan sebagai model dasar pembangunan pertanian dan pedesaan yang berpusat pada nilai-nilai: participation, creativity and stimulation (Haryati, 2003).
Kendati pada masa-masa awal pengenalan model pembangunan tersebut sebenarnya Indonesia masih dalam suasana ketidakpastian sosial-politik pasca kemerdekaan, gagasan untuk mengadopsi pendekatan pembangunan tersebut telah diantisipasi dengan sangat bersemangat oleh Negara melalui dibentuknya Kementerian Pembangunan Masyarakat, yang dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito dari Partai Sosialis Indonesia pada era Kabinet Halim, 1950. Kesibukan pasca kemerdekaanlah yang telah memaksa Kementerian ini mandul beberapa tahun dan baru efektif mulai tahun 1954, dimulai dengan berbagai kegiatan yang melibatkan para ahli internasional, menyusul diselenggarakannya konferensi terkait di Manila, 1954.
Semenjak itulah model ini menjadi pendekatan utama dalam pengembangan sektor pedesaan dan pertanian Indonesia. Meskipun demikian, setelah sekian lama adopsi model tersebut senantiasa dirundung kegagalan demi kegagalan dalam pembangunan dan penanggulangan kemiskinan pedesaan, pada akhirnya pendekatan dan fasilitasi pembangunan pedesaan semakin disesuaikan untuk mencari bentuk dan ketepatan dengan tuntutan pemberdayaan lokalita setempat. Sayangnya, upaya para pemikir pembangunan pedesaan tersebut tidak kunjung ditemukan karena komplikasi kegagalan yang ada, terutama ketika bangsa ini senantiasa menggantungkan kehidupan dan kedaulatannya terhadap pangan import (Maksum, 2008, 2009), meski sebenarnya komitmen pembangunan pedesaan dan pertanian telah ditegaskan sedari dini, pada masa-masa awal kemerdekaan.
Orientasi Perekonomian Pedesaan
Atas dasar keyakinan terhadap betapa pentingnya pedesaan sebagai sumber pangan, sektor pedesaan dan pertanian dipilih sebagai prioritas pembangunan nasional semenjak proklamasi kemerdekaaan, 17 Agustus 1945. Prioritasi tersebut nyata sekali tersirat dalam gerak langkah keagrariaan yang dicanangkan semenjak masa-masa awal kemerdekan. Kecuali ditopang oleh berbagai bentuk kelembagaan teknis pembangunan pedesaan dan pertanian yang secara politis diposisikan sebagai soal hidup atau mati bangsa (Soekarno, 1952), semangat menempatkan sektor ini sebagai prioritas pembangunan nasional secara substantif-revolusioner semakin serius dirancang melalui dibentuknya Panitia Agraria Jogjakarta, pada tahun 1948.
Komitmen perekonomian pedesaan telah dilakukan sungguh-sungguh dan tidak pernah luntur kendati mengalami berbagai pasang-surut, terutama dalam kaitannya dengan suasana politik pada era kemerdekaan. Karenanya, amanat kerja Panitia Jogjakarta secara berturut-turut dilanjutkan dengan dibentuknya Panitia Agraria Djakarta, 1951, dan Panitia Soewahjo, 1955, serta diikuti oleh terumuskannya Rancangan Soenarjo, 1958, dan disempurnakan menjadi Rancangan Soedjarwo, 1960, sebelum pada akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan singkatan Undang-Undang Pokok Agraria dan diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1960 no. 104, 24 September 1960 (Harsono, 1968).
Kepentingan memajukan kesejahteraan rakyat pedesaan adalah esensi utama diundangkannya UUPA (Harsono,1968), yang semangat revolusionernya didokumentasikan sebagai konsideran atas terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 169/1963 tertanggal 26 Agustus 1963 tentang Penetapan 24 September sebagai Hari Tani, yang menyebutkan:
Bahwa tanggal 24 September, hari lahirnja Undang-Undang Pokok Agraria merupakan hari kemenangan bagi Rakjat Tani Indonesia, dengan diletakkannja dasar-dasar bagi penjelenggaraan land reform untuk mengkikis habis sisa-sisa imperialisme dalam lapangan pertanahan, agar rakjat tani dapat membebaskan diri dari segala matjam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan beralat tanah, sehingga melempangkan djalan menudju ke arah masjarakat adil dan makmur.
Beberapa hal bisa dijabarkan dari konsideran yang menegaskan sikap politis UUPA. Pertama, semangat revolusioner yang anti imperialisme, terutama dalam hal pertanahan, merupakan esensi dasar pemikiran perekonomian nasional untuk mengatasi kolonialisasi pertanahan semenjak penjajahan. Kedua, rakyat tani sebagai jutaan subyek ekonomi yang harus mampu membebaskan diri dari eksploitasi ekonomi, sehingga menghindarkan diri dari penghisapan manusia atas manusia. Ketiga, land reform adalah sebuah keharusan sebagai instrumen kebijakan utama. Keempat, tanah sebagai alat ekonomi menuju keadilan dan kemakmuran.
Butir terakhir ini menegaskan bahwa pemaknaan ekonomis atas pemilikan lahan merupakan satu tuntutan yang tidak terelakkan. Untuk model perekonomian nasional yang agraris, land reform tentu merupakan kebutuhan mendasar, necessary condition, yang menurut konsideran di atas tidak pernah cukup kecuali memiliki makna ekonomis, melalui reforma akses bagi keadilan dan kemakmuran, yaitu kesempatan pengembangan akses ekonomis lahan yang meliputi pengembangan infrastruktur, kebijakan tata-niaga, subsidi sarana produksi, akses permodalan, pengembangan teknologi usaha tani, penyuluhan, dan lain sebagainya.
Kuatnya komitmen terhadap pentingnya pembangunan pedesaan sebagai sumber pangan, pelembagaan urusan pembangunan masyarakat pedesaan semenjak 195t0 sampai sekarang, dan penegasan UUPA sebagai sikap politik, ternyata tidak cukup efektif dalam perjalannya. Berbagai bentuk pelembagaan pembangunan masyarakat pedesaan (PMD) dari waktu-ke-waktu memang selalu mewarnai tata-kelembagaan keseluruhan konfigurasi politik dari rejim-rejim kepemimpinan nasional. Akan tetapi, temuan komparatif Haryati (2003) ternyata menyebut bahwa pembangunan masyarakat desa telah gagal membangun kemandirian dan ketahanan rakyat desa. Kalau pada penggalan pertama usia Bangsa ini kegagalan pembangunan masyarakat desa terbentur pada berbagai persoalan sosial-politik berkenanaan dengan eksistensi sebuah bangsa pasca kemerdekaannya, pada penggalan terakhir kegagalan pembangunan masyarakat justru telah terjadi karena pembangunan itu sendiri yang menempatkan rakyat tani sebagai instrumen, alat pembenar belaka, atas nama pembangunan nasional. Menempatkan rakyat tani-pedesaan sebagai obyekpun menurut Maksum (2005) Negara telah gagal, apalagi menempatkannya menjadi subyek dan perhatian utama pembangunan.
Dalam relasi pembangunan inilah, pentingnya pembangunan pedesaan tetap saja menjadi primadonan karena mengingat posisinya sebagai sumber pangan. Sayang sekali sikap pembangunan yang menempatkan rakyat tani pedesaan sekedar sebagai instrumen pembangunan selama ini telah mengakibatkan terjadinya kemerosotan modal sosial sekaligus meninggalkan beban historis monumental: ketergantungan dan ketidakberdayaan. Kesulitan membangun sektor pangan dan pedesaan itupun masih pula ditimpa beragam ancaman global yang waktu-waktu terakhir ini semakin mencekam.
Beban Domestik dan Ancaman Global
Sebagai kelanjutan mekanisme pemerintahan nasional, Pemerintahan Reformatif yang dimulai sejak Mei 1998 tentu tidak pernah terlepas dari persoalan pembangunan rejim pemerintahan sebelumnya. Pengembangan sektor pertanian pada era reformasi bukanlah sesuatu yang mudah. Ada beberapa kendala ekonomi-politis yang selama ini secara struktural membatasi akselerasi pembangunan pertanian nasional sebagai pilar perekonomian bangsa. Sekurang-kurangnya terdapat tiga pembatas struktural utama yang sangat menonjol untuk bisa dilihat sebagai beban sejarah sektor pertanian.
Beban pertama adalah kegagalan implementasi model pembangunan masyarakat dalam pengembangan pedesaan dan pengentasan kemiskinan, meski telah mulai diadopsi sejak terbentuknya Kementerian Pembangunan Masyarakat, 1950. Tanpa menafikan capaian positif yang ditunjukkan, pengembangan pedesaan dalam keseluruhan konfigurasi politik nasional telah menanamkan ketergantungan dan ketidakberdayaan publik sebagaimana telah disebutkan. Kegagalan ini merupakan beban historis yang tidak mudah direhabilitasi oleh Pemerintahan Reformasi. Kegagalan melakukan adopsi nilai-nilai utama pemberdayaan yang dikemas dalam participation-creativity-stimulation, merupakan pelajaran mendasar yang seharusnya dibenahi lebih awal dalam masa pasca Orde Baru.
Selama puluhan tahun, pembangunan nasional dilakukan dengan mengadopsi model pambangunan yang monolitik-sentralistis, menurut terminologi Warsito Utomo (2005) dan sangat otoriter dengan mengandalkan peran Negara sebagai pusat kekuatan ekonomi (Jung, et.al., 2003). Ketika negara ini melakukan reformasi terhadap model pemerintahan menuju desentralisasi dan otonomi daerah, mudah sekali ditengarai adanya gagap kolektif yang terjadi pada segala tingkatan pelaku pembangunan. Desentralisasi diwarnai oleh euphoria politik, maraknya politik lokal dan aliran, serta partisipasi-partisipasi publik plintiran. Persoalan sosial-politik, terkait dengan pergeseran model pemerintahan merupakan beban historis kedua bagi anak-anak bangsa yang sudah belasan tahun menggalang reformasi yang tidak kunjung terealisasi karena tidak pernah bertemunya gerakan politik dan kegiatan pembangunan ekonomi menurut asesmen Daoed Joesoef (2007).
Kendati telah manghasilkan proses-proses pembangunan yang lebih manusiawi pada tingkat kawasan pedesaan berbagai kendala lapangan masih sering dijumpai sebagai konsekuensi logis pergeseran paradigmatik menuju pemberdayaan yang menuntut perubahan substansial akan peran dan kewenangan stakeholders sebagai perangkat sistem pembangunan, termasuk rakyat tani pedesaan, kinerja birokrasi dan peranserta masyarakat sipil (CSOs). Gagap partisipatif pada tingkat rakyat tani pedesaan setelah sekian lama diposisikan sebegai the net beneficiaries dan obyek pembangunan, arogansi birokrasi yang teramat mengakar sebagai monopolis pembangunan, dan NGO booming yang menggejala, merupakan hambatan nyata dalam pembangunan pedesaan meski Bangsa ini telah sekian lama mereformasi tata pemerintahannya (Maksum, 2004c).
Beban ketiga pemerintahan yang secara historis sangat membekas ketika memulai era reformasi adalah kondisi krisis perekonomian bangsa akibat berlebihan mengimani adopsi the Asian Development Model yang mengandalkan Negara sebagai kekuatan sentral dalam industrialisasi, sekaligus menempatkan pertanian termarjinalisasi. Dalam kondisi demikian, rehabilitasi sektor pertanian-pedesaan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, terlebih setelah selama beberapa dekade pembangunan sektor ini dikesampingkan dengan sempurna kecuali sangat bias beras, at all cost, dan setelah Republik ini terjerumus dan terjun bebas, termasuk kelompok negara melarat kurang pangan, the Low Income Food Deficit Countries (LIFDCs) menurut klasifikasi FAO (Ismoyowati and Maksum, 2002; Jung, et al., 2003).
Pembangunan pertanian bias-beras inipun adalah sebuah kemunduran sektor pedesaan dan pangan nasional karena telah berakibat sangat fatal, antara lain: (i) orientasi produksinya telah memiskinkan petani; (ii) bias-beras telah menyebabkan tiadanya insentif bagi pengembangan komoditas non-beras; (iii) R&D beras bukan main berkembangnya tetapi tidak ada kemajuan berarti di sektor non-beras; (iv) orientasi produksi beras menyebabkan ketergantungan pada input produksi kimiawi; (v) orientasi produktif beras telah menyalah-artikan pengertian sebenarnya dari ketahanan pangan; (vi) stagnasinya diversifikasi pertanian; dan (vii) ketahanan pangan menjadi sangat tergantung beras dan menafikan eksistensi keragaman pangan alternatif yang asli dimiliki bangsa ini (Kuswanto dan Maksum. 1999).
Sementara beban historis pembangunan pedesaan sebagai sumber pangan masih memiliki persoalan bomestik yang sangat serius untuk segera dibenahi pada masa reformasi ini, ternyata lingkungan eksternal Bangsa ini semakin tidak kondusif kondisinya. Setidaknya, lingkungan global ini sangat diwarnai oleh: (i) perubahan iklim yang sangat drastis; (ii) konflik pemanfaatan global terhadap sumberdaya pertanian bagi penyediaan pangan, pakan dan enersi; (iii) semakin protektifnya negara maju terhadap produk pangan dan sektor pertanian; dan (iv) semakin swewenang-wenangnya negara maju dalam memaksakan format perdagangan bebas melalui WTO.
Ketika menyebut global shock dewasa ini, climate changes yang ramai dirembug dalam Konferensi Para Pihak ke-13 (COP-13) di Nusa Dua dan dihadiri oleh puluhan ribu peserta berikut sejumlah kesepakatan dan keprihatinan bersama yang dihasilkan, memiliki banyak makna terutama dalam kaitannya dengan sistem pangan global, pertanian dan lingkungan hidup. Perubahan tata klimat global yang diakibatkan oleh kemerosotan mutu sumberdaya alam telah menjadi ancaman pasar pangan dunia. Pergeseran dan ketidakpastian ini telah mengakibatkan menguatnya tekanan pasar pangan yang ditengarai oleh kenaikan harga-harga pangan pokok di dunia. Ini adalah tekanan global pertama, dan jauh hari sebelum dilaksanakannya Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, telah diperingatkan oleh banyak pihak bahwa pertanian akan menjadi sektor paling terpukul (Harijono dan Isworo. 2007).
Ancaman kedua bagi sektor pedesaan adalah berkembangnya gairah global untuk menggeser kemanfaatan beberapa komoditas pertanian dari fungsi utamanya sebagai pangan menjadi sumber enersi nabati. Suka atau tidak suka, gerakan konversi enersi global ini akan mengakibatkan semakin tajamnya konflik pemanfaatan lahan pertanian. Pengembangan bahan bakar nabati dapat mengancam ketersediaan bahan pangan bagi 230 juta jiwa manusia (Fujita, 2007). Bagi Indonesia yang dewasa ini masih termasuk dalam kategori LIFDCs, konflik agraria seperti ini tentu merupakan persoalan pembangunan yang harus lebih serius dicermati.
Perkembangan politik pertanian pada tingkat global tidak kalah pengaruhnya sebagai ancaman ketiga terhadap persoalan pembangunan pertanian dalam negeri. Ketika gerakan pemikiran global sangat diwarnai oleh wacana the end of ideology (Bell, 1960; Fukuyama, 1989; Fukuyama, 1992) yang kemudian diterjemahkan dalam pragmatisme Blank (1998) dalam tulisan yang sangat berpengaruh sebelum 2001 berjudul The End of Agriculture in the American Portfolio, dan apatisme pertanian bagi negara maju sebagaimana dilansir oleh John Ikerd (2001), dimentahkan habis oleh September bombing, 2001, yang meluluh-lantakkan dua pencakar langit. Kejadian tersebut telah membuka kesadaran dunia maju akan kerentanan dirinya terhadap terorisme yang senantiasa mengancam keselamatan negara.
Menjadi terasa menggetarkan bagi negara-negara berkembang yang pada umumnya agraris ketika pada akhirnya kesadaran negara-negara maju tersebut ternyata berubah menjadi kewaspadaan domestik mereka tentang segala macam terorisme, termasuk bio-terrorism dan kemudian menempatkan urusan pangan sebagai urusan wajib dan sentral bagi ketahanan nasional. Dicontohkan oleh Brown (2003) apa yang terjadi di Amerika Serikat bahwa sebagai proteksi terhadap rawannya sektor pangan dan pertanian dari terorisme yang dirasa semakin mengancam sejak September bombing dilakukanlah revolusi kelembagaan enam bulan kemudian dengan membentuk Department of Homeland Security (DHS), 2 Juni 2002. Banyak pihak memberikan dukungan terhadap sikap Bush yang melihat DHS ini sebagai upaya sungguh-sungguh proteksi sektor pertanian terutama dalam mengantisipasi bio-terrorism.
Alasan yang dilontarkan oleh Presiden Bush dengan DHS tersebut sangatlah sederhana (Dreyfuss, 2004). Dia meyakini sepenuhnya bahwa pertanian dan pangan sangat rentan terhadap sabotase dan terorisme. Pada saat yang sama, dia juga meyakini bahwa homeland security yang akan sangat dipengaruhi oleh kinerja sektor pertanian, mempunyai relasi sangat kuat terhadap kesehatan perekonomian bangsa, dan pada gilirannya berpengaruh terhadap national security. Kalau Bung Karno (soekarno, 1952) menyebut urusan pertanian adalah soal hidup atau mati, Bush pada tahun 2004 semakin meyakini bahwa agricultural and food security adalah persoalan national defense and security.
Kulminasi dari kesungguhan Amerika tersebut ditunjukkan dengan diundangkannya Homeland Security Presidential Directive HSPD-9, 30 Januari 2004, oleh The White House (2004). Iktikad dari HSPD-9 ini nampak dalam perihalnya tentang Defense of United States Agriculture and Food Purpose. Dijelaskan pula dalam dokumen tersebut bahwa upaya defense ini dilakukan untuk mengantisipi serangan teroris sebagai tujuan utama, meski ada disebut juga kepentingan lain tentang antisipasi terhadap bencana alam dan keadaan darurat lainnya. Lahirnya HSPD-9 ini bisa dimaknai sebagai sebuah fakta lapangan yang sangat berseberangan dengan simplikasi ideologisnya Bell, Fukuyama, Blank, dan sebagainya.
Menguatnya proteksi sektor pertanian negara-negara maju, kecuali merupakan ancaman ketiga, juga secara langsung telah memunculkan ancaman keempat, dalam bentuk politisasi liberalisasi perdagangan dunia dalam kendali WTO menjadi semakin tidak adil. Ketidakadilan liberalisasi perdagangan yang belum selesai ini, masih tetap merupakan ancaman global yang dihadapi negara berkembang. Kegagalan beberapa putaran persidangan WTO untuk meratifikasi tata perdagangan dunia yang draft-nya dipersiapkan oleh negara-negara maju menunjukkan dengan jelas bagaimana negara-negara berkembang anggota WTO tidak bisa menerima proteksi negara maju yang berlebihan terhadap sektor pertanian. Keengganan negara maju untuk menurunkan proteksi pertaniannya adalah jalan buntu.
Kebuntuan rembug pada tingkat WTO dalam persidangan Doha Raound yang didelenggarakan di Geneva, 2008, merupakan kulminasi perlawanan dan tuntutan keadilan yang dilakukan oleh negara-negara berkembang dalam beberapa putaran persidangan semenjak pertamakali diselenggarakan di Doha, 2001. Perlawanan negara berkembang itu sendiri disuarakan dengan sangat tegas oleh G-4, India, China, Brasil dan Afrika Selatan (Maksum, 2009b; 2009c). Dalam resistensi inilah sikap India disampaikan oleh Kamal Nath, Menteri Perdagangan India dalam kalimat: ”I’m not risking the livelihood of millions of farmers”. Keputusasaan G-8 dalam kebuntuan berbagai putaran persidangan tersebut pada akhirnya menyerahkan pemikiran rancangan konsepsi perdagangan global ini kepada G-20 semenjak pertengahan 2009 (Maksum, 2010a).
Tentu bukanlah sebuah apologi kalau persoalan kendala historis dan acnacaman global tersebut diutarakan dengan panjang lebar. Pembahasan tersebut bukan pula dimaksudkan bahwa bangsa ini harus terpaksa memaklumi kemandegan, sementara Negara boleh berlamban diri dalam membangun pertanian pedesaan dan kesejahteraan rakyat tani. Penyebutannya bukan pula dimaksudkan untuk menepis atau mengecilkan berbagai persoalan lain, di luar beban sejarah domestik dan ancaman global yang ada. Tetapi, pengungkapan ini semata dilakukan guna memperkaya khasanah telaah secara obyektif ketika mengkritisi kinerja pembangunan pedesaan sebagai sumber pangan pasca Orde Baru pada umumnya, dan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) khususnya, yang keduanya memiliki hobi importasi.
Lebih jauh lagi, telaah ini dimaksudkan untuk membangun landasan berpijak bagi kebijakan pembangunan pertanian pedesaan dan perekonomian bangsa ke depan menghadapi berbagai masalah global, bukan justru menghalalkan Pemerintah untuk semakin stagnasi dan terjebak dalam ketersesatan pola pikir karena terbawa oleh sebagian besar beban domestik dan ancaman global yang pada hakekatnya merupakan anasir gurita neoliberalisme seperti yang selama ini dilakukan oleh KIB dalam marjinalisasi sektor pangan dan pedesaan.
Ketersesatan Pola Pikir
Pemikiran Blank tentang kiamatnya pertanian (1998) telah menjangkiti para teknokrat Indonesia yang didominasi oleh para ekonomis dalam merencanakan pembangunan Negara. Tidak berbeda dengan Blank, mereka berpikir sangat korporatis dan neoliberalistis. Fenomena seperti ini tentu saja menyesatkan kiblat pembangunan, karena mereka hanya melihat pertanian sebagai fenomena ekonomis dan urusan pilihan belaka, bukan urusan wajib. Yang sesungguhnya terjadi adalah, kalau boleh meminjam judul buku awal 80an, mereka telah gagal memahami what is in a grain of rice, yang meliputi urusan hak, sosial-politik, keadilan, kesejahteraan, dsb. Tentu, kata rice diadopsi dalam tulisan ini untuk menggambarkan sektor pertanian-pedesaan dalam pengertian seluas-luasnya yang multidimensional.
Tidak bisa disangkal bahwa empat persoalan mendasar yang telah disebutkan, memang merupakan tekanan global terhadap dunia pertanian terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Walaupun demikian, sungguh menyedihkan mengetahui para petinggi negeri yang gugup, menderita gagap kolektif, membangun pesimisme, dan cenderung meden-medeni. Itulah indikasi ketersesatan kolektif. Sementara sebenarnya, pesimisme dalam melihat berbagai ancaman tersebut sangatlah berlebihan, kecuali bagi mereka yang terlanjur mencintai importasi pangan dengan janji upeti, meski kedaulatan pangan bangsa semakin tergadaikan Maksum (2007a). Pesimisme tersebut muncul dan bersambut dengan sikap para petinggi yang sangat tawadlu’, sami’na wa atho’na, mengimani ’firman-firman’ Bank Dunia yang telah lama dipertuhankan oleh bangsa ini, padahal senantiasa mengamanatkan romantisme pangan murah dengan konsekuensi marjinalisasi pedesaan, pertanian dan rakyat tani.
Tekanan global yang bermuara pada sekurang-kurangnya empat kelompok persoalan yang telah disebutkan memang betul-betul merupakan ancaman ketika tidak disadari bahwa negara ini sebetulnya sudah sekian lama ’bunuh diri’ dengan menggantungkan kebutuhan pangan dan pertaniannya terhadap importasi (Maksum 2008; 2009). Dalam kondisi yang demikian segala gejolak global yang berimplikasi semakin sulitnya importasi tentu adalah sebuah ancaman. Berbeda sekali kiranya ketika pola pikir dan perspektifnya dirubah dari posisi raja import beras menjadi perspektif agraris. Dalam posisi kodrati yang agraris inilah seharusnya NKRI memandang beberapa tekanan dunia yang disebutkan sebagai sebuah optimisme baru, bukan lagi sebagai ancaman tetapi sebagai tantangan dan peluang, seperti optimisme tekad keswasembadaan dan anti importasi Presiden SBY dalam Pembukaan Hari Pangan se-Dunia di Pusat Kebudayaan dan Olahraga Way Halim, Bandar Lampung, 5 Desember 2007. Target swasembada lima komoditas strategis, pada tahun 2014 juga merupakan optimisme agraris Presiden sebagai unggulan pembangunan pertanian. Hal ini terakhir diulang Presiden dalam memberikan pengarahan RAKORNAS Dewan Ketahanan Pangan di Jakarta, 24 Mei 2010, meski dalam banyak hal masih penuh dengan problematika pembangunan (Maksum, 2010b).
Importasi dan eksportasi sesungguhnya merupakan hal yang teramat wajar dan bahkan saling menguntungkan dalam perdagangan internasional. Begitulah dogma konvensional global trading. Akan tetapi, nalar kemutlakan keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh Heckscher-Ohlin tahun 1933 dan didasarkan pada format pikir profit maximizing ala neoklasis itu, sudah teramat kadaluwarsa. Sejak lama pula, berdasarkan data empiris Amerika, 1947 dan 1951, Leontief telah menganulir kemutlakan teorisasi tersebut dengan argumen empiriknya yang terkenal sebagai Leonthief’s Paradox yang melihat persoalan ini tidak sekedar persoalan finansial. Tidak cukup pula membatasi diri sekedar dengan perspektif ekonomis. Tetapi seharusnya lebih luas lagi, meliputi pula perspektif ekonomi politik, polytical ecology, welfare economics dan justice issues (Robbins, 2004; Maksum, 2006).
Ilusi finansial masyarakat luas, terutama konsumen, yang dibangun oleh banyak pihak dalam mengukur nilai produk pertanian antar negara dengan price discrepancy yang teramat lebar merupakan legitimasi importasi terutama bagi kalangan pengambil keputusan dan dalam banyak hal memperoleh pembenaran para akademisi bayaran, walaupun sebenarnya memiliki implikasi terorisme sektoral yang sangat luas bagi pertanian. Apa yang terjadi dalam industri pangan nasional memberikan ilustrasi yang lengkap bagaimana ilusi publik itu dibangun sedemikian rupa untuk menghasilkan sekumpulan keputusan negara yang memurahkan pangan tetapi justru merugikan keberlanjutan sektor pertanian dalam negerinya sendiri.
Romantisme Beras Murah
Pertengahan Nopember 2005, pengumuman BPS tentang besarnya inflasi bulanan untuk Oktober 2005 yang mencapai 8,7 persen menyusul kenaikan harga BBM sebesar 162% sangat mengejutkan publik. Lebih jauh lagi, para petinggi negara yang mengkhawatirkan terjadinya inflasi dua digit dalam tahun 2005 mengalami gagap kolektif dan kemudian sederhana sekali, paduan suara pengendalian harga pangan, terutama beras dikumandangkan sebagai satu-satunya solusi. Dalihnya sangat sederhana, daya beli publik yang terbatas. Importasipun dilaksanakan semakin bertubi-tubi dengan segala kontroversi. Amanat Presiden untuk pengendalian inflasi dalam kesempatan pelantikan reshuffle kabinet, Desember 2005, diterjemahkan oleh jajaran pejabat perekonomian sebagai restu terhadap modus operandi importasi yang telah diputuskan.
Penghujung 2006 kembali diwarnai oleh firman Bank Dunia akan perlu segera diturunkannya harga beras. Menurut sinyalemen lembaga pelepas uang ini, tingginya harga beras telah menyebabkan tambahan warga miskin hampir 4 juta orang dan pembengkakan angka kemiskinan nasional dari 15,97% menjadi 17,75% antara Maret 2005-Februari 2006. Amanat akhirus sanah, akhir tahun 2006 tersebut masih pula ditunjang dramatisasi Bank Dunia tentang angka kemiskinan nasional sebesar 49% kalau dipakai garis kemiskinan US$ 2,-. Itupun masih dibumbui dengan firman akademik BD awal 2007 yang mangamanatkan angka harga eceran tertinggi (HET) beras sebesar Rp 4.000,- per kilogram, dengan tanpa perlu menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) menurut Inpres 13/2005 (Anonim, 2007). Sekilas, fakta kecil ini telah mampu menggambarkan dirinya sebagai penentu utama kebijakan sistem pangan nasional sekaligus bisa dimaknai sebagai ashbaabul mushibah, biang kemandegan sektor pangan.
Nampak sekali bagi subsektor pertanian pangan dengan ilustrasi ini, bahwa ada dua fungsi pilar yang dipikul oleh sektor pangan nasional: sebagai produsen pangan murah, dan sebagai pengendali inflasi, meskipun pada hakekatnya persoalan harga dan inflationary-nya perekonomian nasional dipicu oleh kenaikan harga BBM. Sementara itu, pada sisi permintaan, rendahnya daya beli rakyat tani yang dijadikan kambing hitam, sebenarnya adalah akibat kegagalan menciptakan lapangan kerja sehingga pertanian hanya menjadi bemper tenaga kerja. Fungsi bemper ini adalah pilar ketiga. Hobi memurah-murahkan harga beras inipun terdokumentasikan secara legal dan nampak sekali dari proporsionalitas yang tidak sepadan antara HPP beras dengan HPP GKG, Gabah Kering Giling, semenjak diterbitkannya Inpres 13/2005 sampai dengan Inpres 7/2009 tentang Perberasan. Ketidaksepadanan proporsi HPP tersebut bisa dijabarkan dari implikasinya terhadap rendemen perberasan yang sangat tinggi dan mustahil kejadiannya bagi beras kualitas medium. Telaah teknis tentang disproporsionalitas perberasan Inpres bisa disimak dari Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 1. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) menurut berbagai Inpres tentang Perberasan (dalam Rupiah/kilogram)
Bersarkan Tabel 1, implikasi teknis, utamanya mengenai rendemen penggilingan gabah bisa diperhitungkan dengan sangat mudah, baik dalam kondisi dengan atau tanpa beaya penggilingan dan penanganan. Untuk kasus dengan biaya, nilai netto HPP Beras bisa diperhitungkan dengan mengurangkan besaran biaya terhadap HPP beras menurut Inpres yang bersangkutan yang bisa bervariasi antar waktu dan lokalita. Sementara itu, perhitungan rendemen sebagai implikasi dari beragam Inpres dalam kondisi tidak ada biaya penggilingan dan penanganan disajikan oleh Table 2.
Tabel 2. HARGA BAHAN BAKU (GKG)/kg beras menurut Inpres tentang Perberasan, berdasarkan tingkat rendemen (dalam Rupiah)
Hasil kalkulasi proporsionalitas HPP menunjukkan dengan jelas bahwa dalam kondisi tanpa biaya penggilingan dan penanganan, Inpres 13/2005, 3/2007, 1/2008/ 8/2008, dan 7/2009, memiliki makna bahwa besaran rendemen penggilingan berturut-turut sekitar 64%, 65%, 66%, 65% dan 66%. Untuk berbagai Inpres tersebut nyata sekali bahwa angka rendemen jauh lebih besar dari angka kejamakan yang terjadi dalam realitas lapangan penggilingan. Angka-angka tersebut tidak hanya over optimistic, tetapi sekaligus mengandung impossibility berdasarkan kajian konfigurasi penggilingan yang dilakukan oleh Departemen Pertanian (2008). Selanjutnya, penyimpangan rendemen akan semakin jauh dan musykil manakala dimasukkan pula biaya penggilingan dan penanganan yang bisa berkisar Rp 200-Rp 400/kilogram. Kalkulasi rendemen pada akhirnya berimplikasi bahwa Inpres 13/2005 sampai Inpres 7/2009 yang harapannya memperbaiki nasib rakyat tani menjadi tidak jelas kemanfaatannya karena ’mengamanatkan’ harga beras harus lebih murah dari harga gabahnya, satu kondisi yang tidak pernah terjadi sejak Mahapatih Gadjah Mada masih sugeng.
Tabel 3: Pengaruh konfigurasi alsin penggilingan padi terhadap rendemen dan kualitas
Sofistikasi nalar romantisme beras murah ini dibangun dengan menyatakan bahwa rakyat tani itu net consumers (Anonim, 2007). Dalih net consumers-nya rakyat tani yang selama ini dibesar-besarkan ternyata dibantah oleh Bustanil Arifin (2007). Romantisme pangan murah itu dibangun over-populistik. Rendahnya daya beli adalah nalar dasar bahwa beras harus dimurah-murahkan. Akibatnya, rakyat tani padi yang umumnya sudah miskin harus ikhlas lebih miskin lagi, menerima harga buah karyanya tetap murah supaya masyarakat yang daya belinya terbatas bisa makan (termasuk dosen, guru besar, mahasiswa, orang kota, tentara, dll.). Sementara itu, sangat jelas bahwa lemahnya daya beli publik diakibatkan oleh kemiskinan rakyat yang menurut KIKIS (2000) dari hasil pemetaan nasionalnya di tujuh vocal points, termasuk pemetaan pada vocal point petani sawah yang dilakukan PSPK-UGM bekerjasama dengan PERCIK (Maksum and Sigit, 2001; Maksum, 2004b), bersifat sangat struktural akibat gagalnya program pengentasan kemiskinan.
Adalah sebuah tanda tanya besar, mengapa lemahnya daya beli karena kemiskinan struktural ini tidak diselesaikan melalui pragmatisme fiskal dan special policy oleh Negara, tetapi diselesaikan melalui common policy yang memurah-murahkan harga beras sehingga accessible bagi siapa saja untuk mewujudkan ketahanan pangannya. Bahaya sekali dogma Bank Dunia yang konsep penanggulangan kemiskinannya tidak didasarkan perbaikan pendapatan, tetapi diwujudkan melalui memurah-murahkan pangan dan melanggar prinsip indivisibility of human right yang selama ini disuarakan UNDP (2005).
Pembenaran lain terhadap import dependency ini adalah pertimbangan harga dan efisiensi produksi padi yang mengakibatkan importasi lebih murah. Untuk hal ini tentu harus komprehensif dan komparatif mencermatinya karena erat terkait dengan insentif produksi, penekanan bea produksi dan menggairahkannya harga produk. Bahwa importasi lebih murah tentu tidak netral adanya, dan berkait erat dengan beragam persoalan yang menentukan kemurahan tersebut, mulai tingkat mikro di lahan dengan produk teknologinya, sampai tingkat supra makro berhubungan dengan capital cost, export subsidy, kebijakan perdagangan, kebijakan moneter dan fiskal (Maksum, 2007). Seandainya saja rupiah tidak ditahan dengan dana stabilisasi yang berkisar sekitar tiga kali dana Departemen Pertanian 2005-2007, nilai tukar yang terjadi boleh jadi akan membalik posisi importer menjadi exporter. Stabilisasi nilai tukar ini memang nekad dan mengebiri daya saing pangan lokal. Mengatasi krisis finansial global, 2008, Republik ini secara khusus hutang ke Jepang sejumlah US$ 6 milyar. Stabilisasi Rupiah bulan Mei 2010 saja, bahkan telah menyedot devisa US$ 4 Milyar (Antara, 2010). Komparasi komprehensif seperti ini, baik pada tingkat internal maupun external antar-negara, belum pernah dilakukan kecuali komparasi-komparasi instan dan sulapan.
Marjinalisasi Pangan Non-Beras
Itu yang terjadi pada perberasan nasional. Melalui tinjauan beberapa kasus empiris berikutnya (Maksum, 2006) akan bisa disimpulkan bahwa kesemrawutan subsektor pangan, termasuk peternakan, perikanan, dan keagrariaan. Dampak nilai tukar rupiah yang ditahan semurah-murahnya dengan segala cara misalnya, berakibat semakin mahalnya beaya produksi dan melemahnya daya saing sektor pertanian yang sarat dengan domestic contents.
Pengalaman sangat berharga bisa diambil dari industri MOCAF, Modified Cassava Fluor. Ketika harga terigu merangkak naik menjelang eskalasi harga pangan dunia, secara ekonomis MOCAF sangat layak diproduksi, 2007. Kelayakan itulah yang mendorong beberapa daerah, seperti Kabupaten Trenggalek dan lainnya, berusaha investasi demi nilai tambah dan kesejahteraan petani singkong. Harapan yang lebih luas, pemakaian MOCAF akan menjadi substitusi sebagian dari konsumsi tepung terigu yang sangat membebani neraca pangan. Sayangnya Kabinet KIB I melihatnya berbeda. Februari 2008, terigu dinilai KIB terlalu mahal dan dihapuslah BM, bea masuk. Karena dinilai masih kurang memadai untuk penurunan harga terigu, maka dihapuslah pula PPN, dimasukkan dalam kategori DTP, ditanggung pemerintah. Sempurnalah pembunuhan terhadap industri MOCAF nasional. Lebih jauh lagi, paket kebijakan Februari 2008 inipun dilakukan bagi kemudahan BM dan PPN importasi kedele.
Marjinalisasi bidang peternakan juga telah lama terjadi. Penghapusan BUSEP, bukti serap, yaitu kewajiban pabrik susu menampung bahan-baku lokal, telah menyebabkan hancurnya usahatani susu perah (Maksum, 2004c). Dalam kurun waktu reformasi pula telah terjadi importasi daging sapi gendheng, import telur busuk dan paha ayam, yang kesemuanya adalah pembunuhan terhadap peternak. Persoalan flu burung yang berkepanjangan telah diantisipasi dengan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak populer. Siapa pula yang harus dipersalahkan kalau banyaknya sarjana peternakan dan kedokteran hewan ternyata tidak mampu membendung laju kepunahan plasma nuthfah, terutama ketika menghadapi importasi daging sapi 2009 yang mencapai 36% (Tabel 1), dalam bentuk sapi bakalan dan daging beku. Tercatat bahwa importasi sapi bakalan pada tahun ini mencapai 650.000 ekor.
Importasi bukanlah satu-satunya malapetaka pertanian dan pedesaan. Meskipun demikian, mengingat luasan dampak dan intensitas implikasinya terhadap akses keadilan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di negeri agraris melalui pengaruh negatifnya terhadap kemerosotan akses pembangunan pedesaan dan pertanian, maka telaah intensif terhadap importasi pertanian yang gambaran umumnya diwakili oleh beberapa komoditas dalam Tabel 4, perlu memperoleh perhatian seksama. Yang manarik di sebalik angka-angka prosentase importasi tersebut dalam Tabel 4 bukanlah sekedar besaran angkanya yang teramat potensial merusak daya saing produk domestik, akan tetapi krisisnya rasionalitas importasilah yang lebih penting menjadi peringatan bersama.
Tabel 4. Angka Importasi beberapa komoditas strategis, 2009
Kecuali mensiratkan krisis tata niaga dan jebakan pangan import, krisis intelektual merupakan fakta yang lebih memprihatinkan. Jagung misalnya, pada tingkat produksi sungguh sangat menggembirakan karena posisi budidayanya yang telah dekat sekali dengan idealisasi swasembada. Namun demikian, perlu diingat, bahwa posisi hampir swasembada tersebut ternyata memiliki ketergantungan benih, seed dependency, yang nyaris 100 persen benih korporasi multinasional. Ketergantungan intelektual berkenaan dengan HAKI perbenihan seperti ini sudah barang tentu merupakan keprihatinan lebih serius dibandingkan dengan sekedar importasi barang konsumsi. Nasib jagung ternyata terjadi pula pada importasi sapi bakalan, importasi bibit ayam ras, dan importasi entah apa lagi.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa importasi adalah aktifitas tata-niaga biasa yang menguntungkan baik bagi importir dan eksportir. Persoalannya menjadi tanda tanya besar ketika keputusan importasi tersebut berkenaan dengan komoditas strategis yang berkenaan dengan urusan keadilan dan kesejahteraan, dan hanya didasarkan pada sekedar pertimbangan ekonomis, dan apalagi finansial. Ketersesatan pikir akan menjadi-jadi dan melahirkan moral hazard yang bukan main bahayanya dalam perekonomian nasional. Guna menguji kepantasan dan ketidakpantasan importasi yang berkenaan dengan banyak komoditas, ada baiknya dijawab dulu beberapa pertanyaan yang dilontarkan dalam tabel 5.
Tabel 5. Daftar pertanyaan untuk menguji derajat efektifitas proteksi domestik dan kelayakan pengambilan keputusan untuk importasi
NO
ISU UTAMA
PERTANYAAN: BAGAIMANA SEANDAINYA:
1
Pajak Import
cukai import terigu, kedele, dsb, kembali dikenakan
2
PPN Importasi
PPN import tidak lagi DTP, ditanggung Pemerintah
3
PPN Bahan Baku
PPN bahan baku domestik dihapus
4
Stimulus Fiskal
Stimulus fiskal 2010: Rp 75.3 trilyun dibatalkan
5
Proteksi Luar Negeri
Proteksi kedele, sapi, susu dsb. Amerika, Australi dll. dihapus
6
Proteksi Domestik
Subsidi petani dan peternak Indonesia ditingkatkan
7
Proteksi Rupiah
Dolar mahal dan rupiah tidak diproteksi berlebihan
8
Teknologi
peningkatan teknologi pertanian dianggarkan sangat besar
9
Bunga Modal
Negara menyediakan kredit murah bagi usaha tani rakyat
Pertanyaan yang berkenaan dengan kelayakan importasi dan eksportasi yang beberapa diantaranya tertera dalam Tabel 5 menuntut dengan tegas bahwa keputusan importasi menjadi berkeadilan ketika didasarkan atas penilaian komparatif seadil-adilnya terhadap tingkat proteksi efektif, baik di Indonesia maupun negara pengekspor. Tanpa nalar komparatif, bangsa ini akan senantiasa terjebak untuk ke sekian kalinya dalam ulah importasi yang secara finansial menguntungkan karena boleh jadi berkenaan dengan dumping dan residual products, tetapi pada saat yang sama membunuh daya saing, semangat usahatani dan keberlanjutan sistem produksi pertanian dan pedesaan pada tingkat domestik.
Apa yang dialami oleh sektor perikanan dan kelautan jauh lebih memprihatinkan. Sektor yang telah lama dianak-tirikan dalam pembangunan bangsa bahari ini, sampai sekarang belum diupayakan akses pengembangannya yang berarti, terutama dalam menyehatkan rohani dan jasmani masyarakat. Persoalan-persoalan over-fishing, proteksi pas-pasan terhadap nelayan kecil, maraknya trawlers dan kapal ikan asing, lambatnya kapitalisasi, kacaunya distribusi BBM bersubsidi yang tarik-ulur, dsb., menunjukkan betapa lambannya Negara menggenjot kesejahteraan para nelayan negeri bahari untuk memperoleh keadilan dan kesejahteraan. Kerentanan proteksi pulau-pulau kecil atas penjarahan internasional oleh bangsa asing telah pula berdampak pada rawannya kedaulatan terhadap okupasi asing.
Banyak lagi agricultural injustice terpetakan dalam kajian Access to Justice (A2J) yang dilakukan oleh PSPK-UGM (2006) bekerjasama dengan UNDP, yang bisa menambah fakta ketidakadilan pertanian. Dalam kajian A2J di propinsi Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Barat, persoalan agricultural injustice paling menonjol adalah kasus-kasus land dispute yang bisa dikelompokkan dalam: (i) konflik horizontal antar individu petani kecil; (ii) konflik horizontal antar komunitas petani; (iii) konflik pemilikan lahan antara petani setempat dengan pemilik modal; dan (iv) konflik pemilikan lahan yang sifatnya vertikal antara petani, individu atau kelompok, dengan Negara yang kenerja keagrariaannya masih sangat jauh dari harapan UUPA.
Reforma Akses Pedesaan
Beberapa ilustrasi empiris yang disampaikan cukup sahih untuk menyimpulkan bahwa itu semua terjadi karena kebijakan pembangunan yang teramat dikotomis, yang menempatkan pedesaan, dalam pengertian seluasnya, dengan perhatian yang minimal dan bahkan sekedar menjadi tumbal pembangunan guna memanjakan sektor industri non-pedesaan. Fungsionalisasi sektor ini yang bisa disarikan sebagai, antara lain: (i) pengenadali inflasi ketika para Pemimpin takut inflasi dua digit, (ii) penyedia bahan baku murah untuk menopang industri, (iii) produsen pangan murah sehingga fakir miskin bisa makan; (iv) penyangga keberlanjutan sistem ketahanan pangan nasional; dan (v) bemper ketenaga-kerjaan ketika Negara tidak mampu menyediakan lapangan kerja memadai, merupakan beberapa fungsi yang secara pragmatis menempatkan pertanian sekedar sebagai sektor pinggiran vis a vis sektor industri dengan beragam proteksinya.
Mengingat fungsi lahan sebagai alat ekonomi utama pedesaan dalam produksi pangan, Land Reform tentu merupakan keharusan. Tidak dipungkiri bahwa lahan adalah alat ekonomi utama bagi masyarakat agraris. Meskipun begitu, fakta pembangunan yang tidak adil dan lebih bermakna teror sektoral bagi pertanian dan pedesaan, sebenarnya merupakan kritik tajam terhadap Land Reform ketika advokasinya tidak disertai secara simultan dengan Access Reform. Realitasnya, lahan sebagai alat ekonomi yang sebenarnya memiliki keunggulan komparatif menjadi nyaris mubadzir dan nyaris tidak menjadi alat ekonomi berarti manakala akses pengembangannya untuk merebut daya saing perekonomian berbasis sumberdaya alam domestik justru dipasung oleh pemanjaan Negara yang berlebihan terhadap industrialisasi sektor non-agro yang pada umumnya berbasis: teknologi tinggi, modal besar, tenaga terdidik, dan bahan baku asing, yang semuanya harus diimport. Untuk penegakan keadilan dan kesejahteraan rakyat ini pula signifikansi reforma akses bagi pengembangan pedesaan.
Kebijakan pembangunan yang hanya meletakkan sektor pertanian sebagai prioritas utama dan leading sector dalam berbagai dokumen legal selama ini, seperti Repelita, GBHN-GBHN, Propenas-Propeda, sampai RPPK, sudah barang tentu merupakan structural injustice yang tidak bisa dipahami ketika tidak didukung oleh seperangkat realisasi. Oleh karenanya, cermat sekali kiranya bagi kepemimpinan nasional yang dimulai dari desa dengan janji-janji lapangan kepada rakyat tani, jikalau kembali ke desa, membangun konsistensi antara janji-janji legal dan provokasi dengan kesungguhan realisasi, kalau tidak diinginkan terjadinya pencemaran kinerja kepemimpinan nasional oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab sehingga kinerja tersebut akan memenuhi sindiran Suswono (2007) dari Fraksi PKS-DPR RI, bahwa revitalisasi pertanian menjadi tidak pernah maksimal dan sekedar retorika.
Beberapa fungsionalisasi yang mengindikasikan dikotomi ekonomis dan memperhadapkan secara diametral sektor pertanian-pedesaan-tradisional yang berbasis domestik pada satu sisi dengan sektor industri-perkotaan-moderen yang berbasis import pada sisi yang lain, pada akhirnya menempatkan industri non-pertanian sebagai pihak yang paling diuntung karena pangan murah, tenaga kerja murah, dan dimungkinkannya UMR murah bagi pabrikan sehingga profitabilitas artifisial bisa dibangun semena-mena (Maksum, 2007b), dengan rakyat tani sebagai the most disadvantaged people (PSPK, 2006). Itupun masih agak memadai kalau saja protected business ini kemudian berubah dari posisi awalnya sebagai infant industry menjadi dewasa dan mampu bersaing ketika disapih. Sayangnya kenyataan berbicara berbeda. Dengan segala proteksi, moneter-fiskal dan sebagainya, industri kedirgantaraan malah mundur banyak langkah, telekomunikasi dijarah Tamasek dan menempatkan Indonesia sebagai users only, pertambangan dan enersi yang main lego konsesi kawasan saja, serta industri elektronika yang menurut Masykur Wiratmo (2003), didominasi oleh kemajuan teknologi adopsi dan jangkrik-an belaka.
Kembali ke Desa
Dengan keniscayaan kelambanan industri non-pertanian yang tidak kunjung dewasa, serta melihat prospek berkembangnya sektor pertanian yang tumbuh spektakuler, dengan sumbangan tertinggi sepanjang sejarah, 1,3% terhadap total pertumbuhan 6,5% dalam kwartal ketiga 2007 (Kompas, 2007b), kendati dihempas dalam euphoria eskalasi harga BBM, dan dalam kondisi sektor ini masih banyak terkekang oleh berbagai kendala struktural yang anti-pertanian, seharusnya para pemimpin bangsa ini dari dahulu menyadari, dan segera melakukan taubatan nashuha, tersadar akan salah kiblatnya, setelah bertahun-tahun menganak-tirikan pertanian, dan kemudian menebus dosa dengan membangun kesepakatan baru untuk kembali ke desa, pro-pertanian dan rakyat tani, meyakini kodrat agraris bangsa sebagai anugerah Ilahiyah melalui beragama reforma aksess pembangunan pertanian, bukan justru memasung.
Dua tahun lalu, pertanian telah menyelamatkan bangsa ini tidak hanya dalam mendukung pertumbuhan dan ketenagakerjaan sesaat, tetapi pertumbuhan tahunan yang harapannya bisa mencapai 6,3% untuk 2007 dan secara nyata didukung oleh kemantapan produksi pangan domestik. Tercapainya produksi padi 2007 sebesar 57 juta ton Gabah Kering Giling dengan pertumbuhan 4,76% (Departemen Pertanian, 2007) menunjukkan dengan jelas bahwa swasembada dan anti importasi yang dicanangkan Presiden awal Desember 2007 bukanlah mimpi di siang bolong, walaupun menuntut konsekuensi berat: pupusnya rente-rente importasi bagi petinggi. Keswasembadaan tersebut telah monumental menempatkan bangsa ini dalam swasembada beras sebagai bahan pangan utama, untuk dua tahun terakhir 2008 dan 2009 yang mencapai lebih dari 60 juta ton (Deptan, 2008).
Climate changes yang di Indonesia telah berdampak pada morat-maritnya musim, ternyata membawa berkah bagi bangsa ini dengan peningkatan produksi pangan melalui inisiatif masyarakat lokal di luar Jawa. Ini perlu ditegaskan karena pusat pertumbuhan pangan kali ini ternyata terjadi di luar kawasan pembangunan yang terkonsentrasi di daerah-daerah irigasi di Jawa. Pertumbuhan produksi sebesar 7,8% ditunjukkan oleh daerah-daerah di luar Jawa pada tahun 2007, sementara, Jawa hanya memiliki pertumbuhan 2,24% (Departemen Pertanian, 2007) dengan segala kepiluan lapangan yang didominasi oleh menghilangnya pupuk subsidi, benih subsidi sulapan, dan segala kelambatan. Besar dugaan bahwa kreatifitas lokal masyarakat dalam memanfaatkan musim kemarau yang basah merupakan penyelamat produktifitas pangan bangsa ini.
Lebih jauh lagi, optimisme ini tahun itu juga ditunjukkan oleh peran pertanian sebagai pemasok bahan baku terhadap subsektor pengolahan hasil pertanian yang eksportasinya mencapai nilai US$ 4.4 Milyar dan US$ 5.4 Milyar untuk 2005 dan 2006 (Idris, 2007). Berdasarkan statistika industri nasional, lebih lanjut Fahmi Idris (2007) menjelaskan bahwa dari kontribusi industri pengolahan non-migas sebesar 27,6% terhadap PDB pada tahun 2006, 7,16% dipersembahkan oleh subsektor industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau. Secara berturut-turut, kontribusi paling signifikan dalam pembentukan PDB untuk tahun 2006 dari sektor pengolahan non migas ini didominasi berturut-turut oleh cabang industri makanan, minuman dan tembakau (27,9%), barang kayu dan hasil hutan lainnya (5,8%) dan kertas dan barang cetakan (5,2%). Pertumbuhan subsektor inipun meningkat tajam dari 2,75% pada tahun 2005 menjadi 7,22% untuk 2006. Berbagai gangguan prasarana industrial, diramalkan akan mengganggu pertumbuhan menjadi 7,12% pada tahun 2007.
Optimisme pertanian pangan dan signifikansi kontribusi subsektor pengolahan terhadap PDB dan eksportasi justru sangat meyakinkan dalam kondisi klimat yang tidak menguntungkan dan dalam euphoria melangitnya BBM dewasa ini. Berdasarkan fakta ini mestinya perilaku para introverts yang kelewat pesimistis menghadapi berbagai tekanan global dan melenceng dari optimisme Pimpinan Negara perlu segera dipermak. Terlebih, setelah menyadari bahwa potensi sektor agroindustri yang sangat besar selama ini terjadi dalam kondisi kurang memperoleh dukungan (Prabowo dan Hamzirwan, 2007). Structural adjustment yang sering dilontarkan oleh Maksum (2010a) dengan demikian bisa segera dirumuskan untuk membalik arah kiblat pembangunan Bangsa yang tadinya anti pertanian-pedesaan untuk menjadi kembali ke desa dengan kegiatan utama pertanian-pedesaan, sebagai basis optimisme menatap beragam tekanan global yang semakin ketat sebagai peluang. Sudah barang tentu, dalam kondisi makin ketatnya kompetisi global, pendekatan-pendekatan reforma akses melalui structural adjustment sangat diperlukan guna memacu perjalanan persada kembali ke desa.
Catatan Akhir: Pedesaan sebagai Kiblat
Untuk mengakhiri tulisan ini, kembali diingatkan bahwa keadilan dan kesejahteraan rakyat seharusnya merupakan Kiblat pembangunan perekonomian nasional di Republik Agraris Indonesia, terlebih mengingat bahwa rakyat pedesaan sebagai mayoritas warga bangsa selama ini adalah sumber utama aneka pangan nasional. Inilah hakekat ideologis yang selama ini nyaris dilupakan dalam berbangsa karena syahwat pembangunan para elite telah salah kiblat dan terperangkap oleh hingar-bingar perebutan kesempatan dan kekuasaan ekonomis. Untuk membangun kembali ideologisasi kebangsaan yang berkeadilan, tentu khitthah agraris bagi kesejahteraan rakyat mayoritas merupakan basis khidmad yang teramat menentukan bagi perjalanan Negara Pancasila ini ke depan.
Reforma Agraria yang meliputi Land Reform dan Access Reform, merupakan pendekatan yang sangat mendesak untuk dilaksanakan secara simultan oleh Negara, bukan secara parsial dan terpisah, ketika komitmen menempatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat negeri agraris ini sebagai prioritas utama adalah kesungguhan. Tanpa kemenyatuan gerak, maka reforma apapun yang dilakukan seperti selama ini terjadi akan sangat semu dengan efektifitas teramat terbatas.
Reforma akses bagi pengembangan pedesaan dan pertanian sudah waktunya dilakukan dengan serius setelah selama beberapa dekade sampai dengan dekade reformasi ini eksistensi sektor pedesaan dan pertanian dianaktirikan dalam peta perekonomian nasional vis-a-vis sektor industri non-pertanian berbasis import yang dimanjakan luar biasa oleh Negara. Uraian singkat yang dipaparkan telah menyimpulkan bahwa pemanjaan sektor industri tersebut ternyata telah gagal total mendewasakan industri non pertanian, kecuali semakin manja dan protektif serta kian tergantung pada stimulus fiskal dan moneter. Sementara itu, pembangunan pedesaan dan pertanian yang menyangga mayoritas warga bangsa justru dianaktirikan, dinafikan keberdaulatannya dan dijadikan tumbal stimulus industrialisasi.
Oleh karena itu, urusan pembangunan pedesaan dan pertanian bukanlah sekedar urusan teknis dan teknologis, melainkan urusan paradigmatik kaitannya dengan pilihan kiblat pembangunan. Untuk membangunnya sungguh diperlukan keberanian merubah kiblat pembangunan nasional dari perekonomian berbasis import ke perekonomian berkeadilan berbasis domestik. Dengan demikian, sungguh diperlukan rekonstruksi kebijakan ekonomi politik nasional melalui rekonstruksi struktural (structural reconstruction) dalam hal kebijakan: anggaran, moneter, fiskal, perdagangan dan kebijakan lainnya.
Sudah waktunya Republik ini menyadari bahwa seharusnya pilihan ekonomisnya lebih terkonsentrasi pada sektor ekonomi berbasis domestik dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya, yaitu sektor ekonomi berbasis sumberdaya alam setempat, natural resource-based industry. Keunggulan kompetitif untuk kelompok sektor ini sudah pasti teramat mudah dikembangkan. Tidak demikian halnya dengan import-based industry yang sama sekali tidak didukung oleh keunggulan komparatif, dan semakin ketinggalan keunggulan kompetitifnya serta memasung Negara harus super protektif dan memanjakan bagi kelayakan ekonomisnya.
Memang diperlukan reforma akses melalui rekonstruksi struktural sangat segera bagi perubahan kiblat pembangunan perekonomian nasional yang berkeadilan. Tanpa upaya rekonstruksi total tersebut, niscaya impian membangun keadilan dan kesejahteraan pada khususnya, dan kedaulatan Bangsa Indonesia dalam kancah pergaulan dunia pada umumnya, hanyalah sebuah isapan jempol belaka… NA’UDZU BILLAH…
Daftar Pustaka
Anonim. 1941. Babad Tanah Djawi. Kaetjap Wonten ing Nederlan ing taoen Welandi 1941, M. Nijhoff – ’s’ – Gravenhage.
Anonim. 2007. Issues in Indonesian Rice Policy. WB Draft, Not for Circulation.
Antara. 2010. Cadangan Devisa Indonesia Turun. Situs Antara, 3 Juni 2010. 13:46 WIB.
Bell, Daniel. 1960. The End of Ideology. From the Conclusion. http://www.writing. upenn.edu/ -afilreis/50s/bell-chap13.html.
Blank, Steven C. 1998. The End of Agriculture in the American Portfolio. Quarum Books, 88 Post Road West, Westport, Connecticut, CT 06881.
Brown, Lester R. 2003. Food: A National Security Issue-Chapter 1. A Planet Under Stress. W.W. Norton & Co., NY: 2003. http://www.Earth-policy.org/Books/PB/PBch1 _ss5htm.
Departemen Pertanian. 2007. Produksi Padi dan Palajija: Angka Ramalan (ARAM( III) tahun 2007. Ditjen Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta, November 2007.
Departemen Pertanian. 2008. Peningkatan Produksi Padi Menuju 2020: MemperkuatKemandirian Pangan dan Peluang Ekdpor. Laporan disampaikan dalam Roundtable Discussion. Jakarta 25 September 2008.
Dreyfuss, Ira. 2004. Bush Orders Food Supply Protection. CBSNEWS, ©MMIV The Associated Press, Washington. http://www.cbsnews.com/stories/2004/02/04/ terror/main597948.shtml.
Fujita, Edmundo. 2007. Saat Bahan Pangan untuk Energi. Opini SKH Kompas. Edisi Selasa, 27 November 2007.
Fukuyama, Francis. 1989. The End of History?. The National Interest, Summer Edition, 1989.
————. 1992. The End of History and the Last Man. By Way of an Introduction. Penguin Publication. http:/www.leaderu.com/ftissues/ft9611/nuchterlein.html.
Harijono, Try dan Brigita Isworo. 2007. Perubahan Iklim: Sektor Pertanian Paling Terpukul. SKH Kompas, edisi Sabtu, 23 Juni 2007.
Harsono, Budi. 1968. Undang-Undang Pokok Agraria: Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya. Penerbit: Djambatan Djakarta. Cetakan kedua, Nopember 1968. Hal. 1-9.
Haryati, Eny. 2003. Pengembangan Masyarakat Desa dan Penanggulangan Kemiskinan. Disertasi Doktor, FISIPOL-UGM. Tidak dipublikasikan. Hal 507.
Idris, Fahmi. 2007. Peningkatan Sektor Industri Pangan sebagai Salah Satu Agenda Utama Departemen Perindustrian di Masa Mendatang. Disampaikan dalam Seminar Nasional Industri Pangan. FTP-UGM, Yogyakarta 15 Desember 2007. 11 hal.
Ikerd, J. 2001. 21st Century Agriculture: The End of American Farm or the New American Farm? Presented at Partnership for Sustaining Agriculture, Woodland. 27-28/3/01.
Ismoyowati, Dyah and Maksum, M. 2002. Civil Society Case Study for Indonesia: Cross Sectoral Partnership in Enhancing Human Security. Proceeding, Third Intellectual Dialogue on Building Asia’s Tomorrow. Bangkok. ISEAS and JCIE.
Joesoef, Daoed. 2007. Untuk Apa Reformasi? Opini dalam SKH Kompas, edisi Kamis, 27 Desember 2007. hal:6
Jung, Ku-Hyun; Anuchat P; M. Maksum; dan T Park. 2003. Civil Society Response to Asian Crisis-Thailand, Indonesia and Korea. IEWS, Yonsei University.
KIKIS. 2000. Agenda Keadilan dan Pemberdayaan Rakyat: Dialog Nasional tentang Kemiskinan Struktural. Laporan Akhir KIKIS,bekerjasama dengan AusAID. Jakarta. Seven focal points are: irrigated agriculture, urban poor, small scale industry, upland agriculture, forest community, labor community and fishery focal point.
Kompas. 2007a. Ekonomi Tumbuh di Luar Perkiraan: Untuk kali pertama, sektor pertanian memberi kontribusi terbesar. SKH Kompas, edisi Jumat, 16 Nopember 2007.
Kompas, 2007b. Bea Masuk Impor Beras Diturunkan. SKH Kompas Edisi Sabtu, 29 Desember 2007.
Kuswanto, Kapti R. and Maksum, M. 1999. The Implication of the Asian Financial Crisis: the Case of the Food and Agriculture Sector of Indonesia. Second Regional Experts’ Workshop on Food and Agriculture Policy. Bangkok, 17-19 Agustus 1999.
Maksum, Mochammad. 2004a. Mengkritisi Berbagai Kendala Struktural Sektor Pertanian. Bahan pembahasan dalam Presentasi Menteri Pertanian: Pembangunan Pertanian 2000-2003 sebagai Landasan Kebijakan Pembangunan Pertanian. UGM, 22 Juni 2004.
———-. 2004b. Paradigmatic Change in the Indonesian Irrigation Development Policy Reform in Dissarray. Presented at WWC International Conference on Water and Politics. Marseilles, 26-27 February 2004.
———–. 2004c. Pemberdayaan Pedesaan dan Prospek Pemberdayaan Rakyat: Terperangkap Marjinalisasi Struktural Sektor Pertanian. Makalah Lokakarya Nasional: ORNOP Dalam Transisi Politik dan Agenda Demokratisasi. Diselenggarakan Sekretariat Bina Desa. Yogyakarta, 4-6 Juni 2004.
———-. 2004d. Strategi Pengembangan Peternakan Indonesia: Menuju Keberdayaan Sektoral. Makalah Tunggal Seminar: Pembangunan Peternakan 2005-2009, dalam Peringatan Hari Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta, 27 September 2004.
———-. 2005. Pembelaan Negara Terhadap Petani:Utopia atau Dagelan Ekonomi Politik Sepanjang Masa? Makalah Diskusi Terbuka Pembelaan Negara Terhadap Petani. Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Alumni IPB. Bogor, 10 Desember 2005.
———-. 2006. Meluruskan Kiblat Pembangunan Pertanian Melalui Revitalisasi Peran Ideologis Ilmu Pengetahuan. Sarasehan dan Simposium: Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan pembangunan Bangsa. Diselenggarakan oleh UGM di Balai Senat UGM, Yogyakarta, 14-15 Agustus 2006.
———-. 2007. Ekonomi-Politik Pertanian: Dalam Menunjang Kesejahteraan Petani dan Kedaulatan Pangan. Makalah Semiloka Nasional Membangun Kelembagaan Pengelolaan Irigasi Masa Depan: Pengelolaan Irigasi dalam Menunjang Kesejahteraan Petani. Diselenggarakan JKI-Indonesia, Jakarta, 12 April 2007.
———-. 2007. Reformasi Struktural bagi pengembangan Industri Pangan Nasional. Makalah Seminar ”Pengembangan Industri Pangan Nasional”. Diselenggarakan oleh BEM FTP-UGM, Yogkayarta, 15 Desember 2007.
———-. 2008. Perangkap Pangan Global. SKH Kedaulatan Rakyat, 8 September.
———-. 2009a. Jebakan Impor Pangan. SKH Kedaulatan Rakyat, 29 Agustus 2009.
———- . 2009b. Doha dan Derita RTM. SKH Kedaulatan Rakyat, 1 Juni 2009.
———–. 2009c. RTM: Antara Moscow-Doha. SKH Kedaulatan Rakyat. 9 Juni 2009.
———–. 2010a. Bedah Desa Dalam AFCTA. SKH Kedaulatan Rakyat. 15 Februari 2010.
———–. 2010b. Mimpi Swasembada Pangan. SKH Kedaulatan Rakyat, 23 April 2010.
———-; Susetiawan; Dyah Ismoyowati; Moh. Syuhada; Abdullah Abbas Idjudin; dan Hano Hanafi. 1999. Transformasi Sosial-Budaya Masyarakat Pedesaan Menuju Masyarakat Agroindustri. Laporan ARM Project-II, No.: PL.420.808.1159/P2KP3.
———- and Sigit Supadmo Arief. 2002. Paradigmatic Change in the Indonesian Irrigation Development: from Rice-Based to People-Based Policy. In Hussain, I. and Eric Bitonen. Managing Water for the Poor. IWMI Publication.
Piliang, Yasraf Amir. 2007. Hantu-hantu Demokrasi. SKH Kompas, Rabu, 25 Juli 2007.
Prabowo, Hermas E dan Hamzirwan. 2007. Sektor Agroindustri: Potensi Besar, Dukungan Kurang. Opini, SKH Kompas, Selasa, 15 Mei 2007.
Sen, Amartya. 2003. The search for ways and means to guarantee security for every human. Presented at Tokyo Workshop on Human Security. UNC-HS. February 25-26, 2003.
Soekarno. 1952. Soal Hidup Atau Mati. Pidato Presiden dalam acara Peletakan Batu Pertama Gedung Fakultas Pertanian, Bogor. Digandakan oleh PSP3-IPB, 2005.
Suswono. 2007. Bangkitlah Petani-Nelayan Indonesia. Catatan Dakwah Dua Tahun di Parlemen. Bening Publisher, Jakarta: 95-96.
The White House. 2004. Homeland Security Presidential Directive HSPD-9. Issued by Office of the Press Secretary, February 3, 2004.
UNDP. 2005. Programming for Justice: Access for All. Published by UNDP Regional Office, Bangkok, Thailand.
Utomo, Warsito. 2005. Administrasi Publik Indonesia di Era Demokrasi Lokal: Bagaimana Semangat Kompatabilitas Menjiwai Budaya Birokrasi. Pidato Pengkuhan Guru Besar. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 26 Februari 2005.
Wiratmo, Masykur. 2002. Alih Teknologi dalam Proses Industrialisasi di Indonesia: Studi Kasus pada Industri Elektronika. Disertasi Doktor UGM. Tidak dipublikasikan.
———
Mochammad Maksum Machfoedz adalah Guru Besar Sosek Agroindustri TIP, FTP-UGM, Peneliti PSPK-UGM, dan Ketua PBNU 2010-2015.