Jokowi-JK dinilai telah memunggungi Nawa Cita Kedaulatan Pangan dan Visi Kemaritiman yang digagasnya sendiri. Apa pasalnya? Menteri yang ditempatkan di dua pos tersebut dinilai hanya akan mengurusi bisnis dan tidak memahami batin petani kecil dan nelayan tradisonal. Petani kecil dan nelayan tradisional pun terancam dipinggirkan korporasi.
Bina Desa—Jakarta: Aliansi untuk Kedaulatan Pangan menyatakan penunjukan Menteri Pertanian dan Menteri Kelautan Perikanan dari kalangan korporasi dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK telah memunggungi bahkan mengkhianati petani dan Nelayan.
“Hal ini akan semakin meminggirkan hak petani, nelayan dan perempuan dalam menentukan arah kebijakan pangan yang mampu memakmurkan masyarakat Indonesia.” Jelas Achmad Yaqub selaku koordinator Advokasi dan Jaringan Bina Desa dalam konferensi pers bersama Aliansi Untuk Kedaulatan Pangan yang di gelar di Kantor IGJ (Indonesia for Global Justice) Tebet Barat 17 Jakarta (28/10).
Aliansi Untuk Kedaulatan Pangan menyebut menteri pertanian yang kemarin ditunjuk oleh JKW-JK, Amran Sulaiman merupakan sosok pengusaha dan pemilik perusahaan pestisida yang dianggap sukses. Dia juga terkenal memiliki kedekatan dengan pebisnis disektor pertanian.
Sementara petani kecil sendiri selama ini, terang Yaqub, berjuang untuk keluar dari lingkaran racun pestisida (insektisida, herbisida, herbisida, rodhentisida, fungisida dan akarisida). Teknologi penggunaan racun pestisida bukan mengatasi masalah tetapi justru menimbulkan masalah ledakan hama dan masalah-masalah baru meliputi lingkungan hidup, sosial, ekonomi, sumberdaya manusia.
“Upaya-upaya petani kecil keluar dari lingkaran racun dalam pengelolaan proses produksi sedang giat-giatnya mengembangkan teknologi pengelolaan yang mendayagunakan sumber-sumber daya hayati, teknologi yang melepas ketergantungan berbasis keseimbangan agroekosistem.” Imbuh Aditiajaya dari Field (Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy -Indonesia) Indonesia.
Tak hanya rancu dengan Nawa Cita Kedaulatan Pangan yang digagasanya sendiri, semangat dan Visi Kemaritiman Jokowi demi mensejahterakan rakyat juga diragukan konsistensinya. Pasalnya Menteri Kelautan dan Perikanan rupanya berasal dari pengusaha eksportir perikanan yang akan berpotensi memunculkan konflik kepentingan antara kepentingan bisnis dan misi utama pemerintahan dalam menyelesaikan problem kemiskinan di pesisir.
“Kekhawatiran eksploitasi perikanan berlebih akan mengakibatkan nelayan tradisional akan kesulitan mendapatkan ikan dan menambah beban perikanan selain adanya pencurian ikan oleh asing.” Ujar Direktur IGJ (Indonesia for Global Justice), Riza Damanik dalam kesempatan konferensi pers yang sama.
Oleh karena itu, masih menurut Riza, menteri pertanian dan perikanan yang ditunjuk oleh Jokowi-JK berpotensi akan memajukan kalangan korporasi dibandingkan petani kecil dan nelayan tradisional.
Menghkhawatirkan
Kekhawatiran Aliansi Untuk Kedaulatan Pangan baik dalam inkonsistensi semangat Nawa Cita Kedaulatan Pangan Jokowi-JK mau pun Visi Kemaritiman mereka rangkum dalam 7 catatan kritis yakni:
Pertama: Agenda liberalisasi pangan akan semakin masif, berbagai perjanjian perdagangan yang sudah dilakukan Indonesia diantaranya: WTO, BIT, Asean Economic Community akan memfasilitasi masuknya perusahaan di Indonesia. Termasuk di antaranya perusahaan di bidang pangan.
Kedua: Pembangunan pertanian dan peningkatan kesejahteraan akan dilakukan dengan pendekatan pasar. Pendekatan pasar yang berorientasi pada tingginya produksi telah meminggirkan peran perempuan dalam pertanian dan menghancurkan sistem pengelolaan pangan. Perempuan petani kehilangan sumber kehidupannya dan terpaksa bermigrasi tanpa perlindungan Negara. Hadirnya pemimpin yang berlatar belakang pengusaha diyakini akan memperberat jeratan pasar/korporasi pada sendi kehidupan petani. Korporasi pangan telah terbukti mengontrol produksi benih. Akibatnya petani kehilangan kedaulatan akan benih. 10 perusahaan benih multinasional saat ini mengontrol 73% pasar benih komersial dunia, meningkat dari hanya 37% di tahun 1995. Seperti, Monsanto, East west seed, Dupont, Syngenta, dan lain sebagainya.
Ketiga: Menteri pertanian dari kalangan pengusaha akan semakin mendorong lebarnya jarak antara kepentingan pemimpin dan petani. Hal ini karena ketidakhadiran pemimpin disektor pertanian yang mampu memahami kebutuhan dan budaya petani. Begitupula pengusaha perikanan yang akan dikhawatirkan akan tetap menciptakan rantai nilai yang panjang sehingga tidak menyejahterakan nelayan tradisional.
Keempat: Kedaulatan pangan yang menekankan pada kedaulatan petani dan nelayan tidak akan tercapai karena subyek pembangunan pertanian Indonesia akan diarahkan pada korporasi yang memasifkan industrialisasi pangan. Korporasi yang berorientasi kepada pencarian keuntungan sebesar-besarnya sangat bertentangan dengan konsep petani sebagai subjek pembangunan yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari-hari, pelestarian benih dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan.
Kelima: Sebagai landasan utama pencapaian demokrasi ekonomi, kemakmuran petani dan kedaulatan pangan adalah dilaksanakannya reforma agraria. Sesuai visi misi JKW-JK bahwa berkomitmen melaksanakan Reformasi Agraria melalui akses dan asset reform, terkait menyerahkan 9 juta ha tanah kepada petani tak bertanah, buruh tani dan kepemilikan tanah petani yang gurem menjadi 2 ha per keluarga. Dengan latar belakang menteri sebagai pengusaha pertambangan dan kelapa sawit yang membutuhkan lahan luas, maka program ini niscaya akan sulit dilaksanakan.
Keenam: Terulangnya kembali kegagalan pembangunan pertanian akibat revolusi hijau yang mengakibatkan hancurnya agroekosistem mandegnya produksi pangan, rendahnya kesejahteraan petani. Pembangunan model korporasi sarat input luar dan racun nampaknya akan dilakukan jika kementerian tetap diisi oleh pengusaha. Petani Indonesia tidak bisa terus menerus menjadi buruh penghasil bahan mentah bagi keuntungan para pemilik modal. Petani perlu mengambil kembali posisinya yang sangat penting dengan mengubah ekonomi berbasis modal dan persaingan (capital driven economy) menjadi ekonomi berbasis solidaritas masyarakat (people driven economy). Menghidupkan koperasi-koperasi tani untuk meningkatkan posisi tawar petani, serta membangun industri pengolahan pasca produksi yang dimiliki petani yang juga memiliki peranan penting dalam proses pembangunan pedesaan.
Ketujuh: Akan muncul konflik kepentingan dengan latar belakang dan posisi Amran Sulaiman sebagai pengusaha di berbagai bidang, termasuk di dalamnya: tambang, perkebunan sawit, tebu, distributor pestisida dan rodentisida. 10 Perusahaan yang masuk dalam unit bisnis di bawah tiran Group yang dimiliki oleh Amran Sulaiman adalah: 1. PT. TIRAN INDONESIA : TAMBANG EMAS 2. PT. TIRAN SULAWESI: PERKEBUNAN TEBU, SAWIT 3. PT. TIRAN MAKASSAR: DISTRIBUTOR UNILEVER 4. PT. TIRAN BOMBANA: EMAS, TIMA HITAM, ANTIMONY 5. PT. TIRAN MINERALS: TAMBANG NIKEL 6. PT. AMRUL NADIN : SPBU PERCONTOHAN MAROS. 7. CV. EMPOS TIRAN : PRODUSEN RODENTISIDA, 8. CV. PROFITA LESTARI : DISTRIBUTOR PESTISIDA, 9. CV. EMPOS : DISTRIBUTOR SEMEN TONASA, 10. PT. BAHTERAMAS: Sementara Membangun Pabrik Gula di Konawe Selatan. (lihat http://tirangroup.indonetwork.co.id/profile/tiran-group.htm
http://finance.detik.com/read/2012/10/03/074407/2053146/1036/tiran-ajak-timur-tengah-bangun-pabrik-gula-di-sultra-rp-5-triliun)
Oleh karena itu Aliansi untuk Kedaulatan Pangan yang diwakili Said Abdullah, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Achmad Yakub (Bina Desa), Ferry Widodo, Aliansi Petani Indonesia (API), Riza Damanik, Indonesia for Global Justice (IGJ) Arieska (Solidaritas Perempuan) Aditiajaya, (Field Indonesia), Martin Hadiwinata, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Maeda Yoppy, Asosiasi, Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Ai Nurhidayat (Komunitas SABALAD Pangandaran), Dayat (FPPRLP) dengan tegas Menolak keputusan Presiden Jokowi-JK beserta koalisi pendukungnya untuk menempatkan pemimpin petani, menteri pertanian dari kalangan pengusaha, politisi yang bukan dan tidak sesuai dengan keinginan petani karena hanya akan menempatkan petani sebagai obyek dan alat produksi yang tak berdaulat dan tak mulia.
Selain itu mereka juga menilai Jokowi-JK telah memunggungi dan meninggalkan petani yang menjadi kelompok terbesar memilihnya ketika pemilu presiden lalu. Hal itu lantaran Jokowi-JK telah membuat keputusan menempatkan menteri pertanian bukan dari wakil petani dan sesuai kriteria petani maka Presiden telah mengambil sikap memunggungi petani.
Aliansi untuk Kedaulatan Pangan mengharpakan agar Presiden Jokowi-JK memilih pemimpin di sektor pertanian yang mampu memuliakan, mengerti keinginan dan budaya petani. Pemimpin yang sensitif dan responsif gender karena perempuan merupakan penopang kedaulatan pangan.
“Pemimpin yang sakti budi bhakti. Kuat, cerdas dan berilmu; budi berarti jujur, berkepribadian dan bijaksana; kemauan berkorban untuk kepentingan rakyat di atas ambisi pribadi dan kelompok.” Pungkas Riza Damanik. (SC)