Bina Desa

Merintis Kelembagaan Pelaksana Pembaruan Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia

[anti-both]

[ezcol_2third id=”” class=”” style=””]

Oleh Usep Setiawan (2)

Abstrak

Konflik agraria masih jadi problem bangsa Indonesia yang belum kunjung terselesaikan. Berlanjutnya konflik agraria menyebabkan rakyat menjadi korban sehingga kehilangan hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya sekaligus. Masyarakat yang diwarnai konflik agraria ibarat masyarakat yang sakit sehingga perlu disembuhkan dengan cara menemukan, menangani dan menyelesaikan akar penyakitnya secara mendasar dan menyeluruh. Reforma agraria dipercaya dapat menjawab penyebab utama konflik agraria yang dimaksud.

Sementara itu, dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014 tercantum Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Keagrariaan sebagai salah satu rancangan legislasi yang hendak dibahas dan ditetapkan oleh pemerintahan untuk lima tahun ke depan. Dalam kerangka apakah RUU Peradilan Keagrariaan ini dimunculkan? Apakah dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria atau dalam konteks lain yang sama sekali berbeda atau bahkan bertentangan dengan agenda pembaruan agraria?

Tulisan ini memberikan catatan atas potret konflik agraria, pemaknaan dasar seputar konflik agraria dan kaitannya dengan pembaruan agraria. Penulis juga merekomendasikan kelembagaan pembaruan agraria dan penyelesaian konflik agraria di Indonesia, yakni Badan Otorita Reforma Agraria, Peradilan Agraria, Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria, dan Kementerian Agraria. Secara khusus, disajikan butir-butir gagasan menuju pengakuan hak asasi rakyat (petani) atas sumber-sumber agraria.

1. Potret Konflik Agraria

Realitas konflik agraria di Indonesia dapat dipotret dari data yang tersaji di sejumlah lembaga pemerintah maupun di kalangan gerakan reforma agraria.3 Mengacu data statistik permasalahan pertanahan yang saat ini ditangani Badan Pertanahan Nasional RI setelah validasi bulan Agustus 2007, diketahui terdapat 7.491 kasus, dengan rincian sengketa pertanahan 4.581 kasus, konflik pertanahan 858 kasus, dan perkaran pertanahan 2.052 kasus.4 Sementara itu, menurut catatan Mahkamah Agung, data empiris sengketa mengenai pertanahan di Indonesia cukup tinggi bila dibandingkan dengan sengketa lain dalam perkara perdata, baik di pengadilan tingat pertama maupun yang telah masuk ke MA. Rata-rata perkara perdata bidang pertanahan yang ditangani MA dalam kurun waktu 2001-2005 tercatat 63% dari perkara perdata yang masuk ke MA (Muchsin; 2007).5

Realitasnya konflik agraria di Indonesia merupakan soal super serius, namun penyelenggara negara tak pernah serius menanganinya. Dampaknya, pemenuhan rasa keadilan bagi korban kian mengawang-awang. Absennya keadilan agraria menjadi kisah berulang.6 Pembentukan pemerintahan baru melalui Pemilu 2004 menghadirkan peluang untuk mendesakkan penyelesaian konflik agraria ke tubuh negara. Hasil Pemilu 2004 layak menjadi pembuka jalan penyelesaian konflik agraria sebagai bagian pembaruan agraria. Untuk itu diperlukan keutuhan gagasan bagaimana konflik agraria diselesaikan, sekaligus strategi jitu pelibatan seluruh komponen bangsa yang terkait di dalamnya.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil “melawan” dua kekuatan lain di masyarakat, yakni: sektor bisnis dan/atau negara.

Sejak 1970-2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus).

Posisi negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah, badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer) kerap muncul sebagai “lawan” rakyat. Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada berbagai jenis sengketa: pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, areal kehutanan produksi, dan sarana militer. Perusahaan swasta juga kerap menjadi lawan sengketa rakyat pada kasus perkebunan besar, perumahan dan kota-kota baru, kawasan kehutanan (untuk tujuan produksi maupun konservasi), pengembangan kawasan industri dan pabrik.

Jenis sengketa tanah semasa Orde Baru, kategorisasinya dapat mengacu Memorandum KPA tentang Sengketa Tanah (24 September 1994).7 Pertama, sengketa tanah karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber-sumber yang akan dikeruk keuntungannya (diekspliotasi) secara massal. Contohnya kebijakan kontrak karya pertambangan dan HPH untuk ekploitasi hutan. Kedua, sengketa tanah akibat program swasembada beras (revolusi hijau) yang pada prakteknya mengakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan membengkakkan jumlah petani tak bertanah serta sengketa-sengketa yang bersumber pada keharusan petani untuk menggunakan bibit-bibit unggul maupun masukan-masukan non-organik seperti pestisida, pupuk urea dan sebagainya.

Ketiga, sengketa tanah di areal perkebunan, baik karena pengalihan dan penerbitan HGU maupun karena PIR dan sejenisnya. Orde Baru mewariskan banyak kasus perkebunan, seperti sengketa tanah Jaluran Sumut, Jenggawah Jatim, Badega dan Gunung Batu Jabar, Bengkunan Lampung, Paguyaman Gorontalo, Rindang Allo Toraja, PT Mitra Ogan Sumsel, PIR Arso di Papua, PIR Sei Lepan Sumut, PIR Cimerak dan Cikaso Jabar, dan masih banyak lagi. Keempat, sengketa akibat penggusuran tanah untuk industri pariwisata, perumahan kaum kaya (real estate) kawasan industri, pergudangan, pembangunan pabrik dan sebagainya. Contohnya, kasus Lomanis akibat pembangunan pabrik Olefin di Cilacap Jateng, kasus pariwisata di Gilitrawangan dan Pemengkong Lombok NTB dan Parang Trisitis Yogyakarta, kasus Rancamaya di Jabar untuk perumahan mewah, kasus lapangan golf di Rarahan Cimacan Jabar, dan seterusnya.

Kelima, sengketa tanah akibat penggusuran dan pengambilalihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum maupun keamanan. Misalnya penggusuran ribuan keluarga karena pembangunan Bendungan Kedung Ombo Jateng, pembangunan Waduk Nipah Madura, Koto Panjang Sumbar, Jatigede Sumedang Jabar, dst. Banyak juga kasus tanah instansi militer, kasus jaringan listrik SUTET, dan sebagainya. Keenam, sengketa tanah akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan taman nasional atau hutan lindung yang mengatasnamakan kelestarian lingkungan. Contohnya pembangunan Taman Nasional Kerinci Seblat Jambi, Taman Nasional Lorenz di tanah suku Amungme Papua, Pulo Panggung Lampung yang menyebabkan rakyat tersingkir karena lahan-lahan produktif mereka dinyatakan sebagai hutan lindung dan suaka marga satwa.

Terkait peran militer dalam konflik agraria kita bisa merujuk naskah akademik Usulan Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang dirumuskan Tim Kerja Menggagas KNuPKA yang dibentuk Komnas HAM. Militer sebagai sebuah institusi ternyata tidak hanya terlibat sebagai pihak lawan langsung dari rakyat setempat dalam kasus-kasus sengketa agraria. Dari data-data yang dapat terkumpul, pihak militer – termasuk kepolisian – ternyata juga aktif berperan sebagai penyokong pihak-pihak lain yang menjadi lawan utama (main opponents) dari rakyat. Dalam hal ini, sebanyak 29% dari 1.753 kasus sengketa ternyata aparat militer dan kepolisian berdiri dalam posisi terlibat atau jadi alat dari penggusuran tanah rakyat.

Di dalam sengketa-sengketa tanah yang terjadi ada banyak contoh penaklukan dan penindasan yang dilakukan oleh negara dan aparat-aparatnya terhadap kaum tani.8 Beberapa potret penaklukan yang kerap menimpa petani adalah: (1) Tidak diakuinya bukti-bukti hak kaum tani atas tanah, (2) Penetapan ganti rugi secara sepihak, (3) Manipulasi tanda tangan rakyat tani, (4) Tuduhan sebagai pembangkang, pengacau atau anti pembangunan, (5) Manipulasi makna agar petani menyerahkan tanahnya, dan (6) Menghambat laporan petani mengenai tindak pidana “musuh petani”. Adapun potret penindasan yang sering dialami petani meliputi; (1) Intimidasi, teror, dan kekerasan fisik terhadap rakyat tani, (2) Pemancangan plang, pematokan dan pembuldozeran tanah garapan petani, (3) Pencegatan rombongan petani yang akan protes, (4) Penangkapan hingga pemenjaraan tokoh-tokoh petani, (5) Pemindahan penduduk secara massal dan paksa (bedol desa), (6) Isolasi lokasi petani terhadap dunia luar, (7) Penggunaan senjata hingga menghasilkan korban.

2. Kaitannya dengan Pembaruan Agraria

Ketimpangan struktur agraria, konflik agraria dan pembaruan agraria itu ibarat telur dengan ayam. Ketimpangan dan konflik adalah ”telur” yang melahirkan ”ayam” berupa kebutuhan penyelesaian melalui pembaruan agraria. Pelaksanaan pembaruan agraria dimaksudkan untuk menyelesaikan ketimpangan struktur dan konflik agraria secara mendasar dan menyeluruh agar tercipta keadilan agraria. Akan tetapi, pembaruan agraria juga berpotensi memicu konflik agraria baru. Oleh karena itu, perlu dipikirkan strategi antisipasi bagi penanganan dan penyelesaian konflik agraria di masa lalu (ketika pembaruan agraria belum dijalankan), maupun yang mungkin muncul di masa depan, termasuk karena pembaruan agraria.

Merujuk Setiawan dan Arsyad (2007), sebab kekusutan persoalan agraria kita, salah satunya karena tidak terdapat instrumen mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik agraria. Dulu, di masa Soekarno kita punya pengadilan landreform, tetapi dihapuskan di masa Soeharto tahun 1970. Sejak saat itu, seluruh konflik agraria dilarikan ke peradilan umum. Peradilan umum tak bisa menyelesaikannya, bukan hanya karena kewenangan dan kecakapan hakim, tetapi karakter konflik agraria kita yang berubah seiring dengan tidak dijalankannya reforma agraria selama 30 tahun lebih.9

Konflik agraria adalah konflik struktural, yakni yang timbul karena kebijakan pemerintah. Yang berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pemodal besar, dan/atau rakyat versus pemerintah termasuk BUMN. Umumnya konflik agraria berawal dari proses “negaraisasi” tanah-tanah yang sudah lama dikuasai dan didiami rakyat. Atas nama hak menguasai dari negara, pemerintah kemudian memberikan alas klaim atau hak pemanfaatan baru bagi badan-badan usaha swasta atau pemerintah. Jadi, konflik agraria ini warisan dari kebijakan masa lalu, yang belum kunjung ditangani serius oleh pemerintah produk reformasi.

Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan yang bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi warga, dsb. Sedang pola penaklukannya sering dilakukan delegitimasi hak rakyat, penetapan ganti rugi sepihak, manipulasi kehendak rakyat, dicap PKI atau anti pembangunan, dsb. Memahami karakter konflik agraria ini, maka proses hukum yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik agraria (termasuk sengketa tanah) tidak pernah bisa mampu menyelesaikannya secara tuntas. Proses yang ada menjauhkan rasa kemanusiaan dan keadilan sosial rakyat korban.

Perspektif baru yang penting dijadikan dasar penyelesaian konflik agraria adalah bagaimana hukum mampu menjawab dan memenuhi kebutuhan keadilan substantif bagi rakyat yang selama ini menjadi korban konflik agraria. Pendekatan pembuktian legal-formal atas pemilikan tanah yang dipersengketakan terbukti gagal menghadirkan keadilan bagi korban. Kenapa pemenuhan rasa keadilan ini harus didahulukan? Karena proses perampasan dan penggusuran tanah-tanah rakyat untuk berbagai kepentingan pengusaha maupun penguasa pada umumnya menempatkan pihak rakyat sebagai korban yang nyaris tanpa perlindungan.

Dalam banyak kasus sengketa tanah struktural sejak Orde Baru konsep hak menguasai dari negara atas tanah dan sumber agraria lainnya telah secara salah dimaknai dan dipraktikkan selaiknya asas domeinverklaring yang menempatkan pemerintah seolah-olah pemilik tanah. Konsepsi barat ini padahal telah dikubur UUPA No.5/1960, kemudian diteguhkan bahwa bangsa Indonesialah pemilik tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Perlu diingatkan, negara tidaklah “memiliki” melainkan “menguasai” tanah untuk kemakmuran rakyat. Konsep memiliki dan menguasai jelas beda. Penguasaan negara pun telah diberi rambu-rambu yang tegas. Pasal 2 (3) UUPA menggariskan: “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur”. Inilah keadilan substantif politik agraria yang diamanatkan. Ketika kita mendorong lahirnya mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik agraria, ini sebenarnya pengembalian posisi negara ke sebagai pelayan kepentingan rakyat.

Beberapa hal strategis yang harus bisa dicapai kelembagaan penyelesaian konflik agraria ini meliputi: (1) memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas pada masa lalu, (2) menguatkan posisi rakyat dalam hal pemilikan tanah, (3) memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan, penggantian terhadap kerugian dan hak-haknya yang dirampas oleh proses masa lalu, dan (4) memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk untuk mendekontruksi sistem hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat (lihat: Kertas Posisi KPA No.10/2001). Konflik agraria yang banyak mengorbankan rakyat, hendaknya membuka mata hati dan pikiran semua pihak yang berwenang untuk menyelesaikannya secara tuntas. Karena instrumen hukum yang ada tak lagi memadai, maka pembentukan lembaga Negara yang khusus bertugas menangani dan menuntaskan konflik agraria menemukan relevansi dan urgensinya (Sinar Harapan, 25/06/07).

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pernah merumuskan Kertas Posisi No. 002/1998 tentang ”Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakkan Lembaga Peradilan yang Independen”. Pada intinya, situasi agraria yang diwariskan pemerintahan masa lalu, dan konflik agraria akibat dijalankannya landreform, serta ketiadaan kelembagaan yang bertugas menyelesaikannya, maka menghidupkan kembali peradilan agraria yang independen jadi suatu keharusan.

3. Usulan Kelembagaan Agraria

Mekanisme dan kelembagaan untuk menangani dan menyelesaikan konflik agraria, dapat diletakkan dalam konteks pembaruan agraria, tapi juga tidak. Penulis mendorong pembentukan RUU Peradilan Keagrariaan dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria sejati. Harus dicegah penyusunan agenda legislasi, termasuk dengan dalih menyelesaikan konflik agraria, tapi sesungguhnya memuluskan kepentingan masuknya investasi raksasa di lapangan agraria. Harus dihindari penyusunan legislasi yang terlalu ramah terhadap modal besar (termasuk dan terutama modal asing) yang kelak hanya akan banyak menuai masalah kebangsaan yang berat dan berkepanjangan, seperti ketergantungan pada bangsa asing, tendensi masuknya berbagai bentuk penjajahan baru, menajamkan ketimpangan struktur agraria, mengeraskan konflik agraria, dan memperdahsyat kerusakan lingkungan hidup. Singkatnya, RUU Peradilan Keagrariaan jangan terpeleset jadi instrumen yang memuluskan gurita kapitalisme agraria di negeri tercinta.

Mengacu Naskah Akademik KNuPKA (2004), penyelesaian sengketa/konflik agraria selama ini dikenal melalui dua cara, yakni: [1] melalui pengadilan; dan [2] di luar pengadilan. Tentang tugas, azas, jenis-jenis dan kompetensi peradilan telah diatur dalam UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU ini membagi peradilan ke dalam peradilan umum dan peradilan khusus. Peradilan umum meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Peradilan umum dan khusus berada dalam pengawasan Mahkamah Agung. Mahkamah Konsitusi sebagai badan peradilan yang berwenang menguji UU dengan Konstitusi. Peradilan khusus yang kita kenal ialah peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama. Belakangan didirikan peradilan anak, peradilan niaga, peradilan HAM, peradilan pajak, dan peradilan tindak pidana korupsi. Bahkan dibentuk pula peradilan ad-hoc HAM dan (rencana) peradilan ad-hoc illegal logging.

Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam telah memberikan mandat kepada DPR maupun Presiden, yakni: (1) menjalankan pembaruan agraria, dan (2) menegakan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Sebagai arahan kebijakan, TAP ini menghendaki: (1) Peninjauan kembali segala perundangan-undangan dan peraturan di bidang agraria yang selama ini sifatnya sektoral, tumpang tindih, dan tidak mengandung semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak; (2) Penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan atau land reform, sekaligus pendataan dan inventarisasi tanah untuk kepentingan land reform; (3) diselesaikannya konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan berpegang pada prinsip menjunjung tinggi hak azasi manusia, termasuk memperkuat kelembagaan yang akan bertugas menyelesaikan sengketa-sengketa ini; dan (4) mengupayakan pembiayaan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik agraria maupun dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Berdasarkan Ketetapan MPR No.V/2003 tentang Saran kepada Lembaga-lembaga Negara, dapat dirumuskan kerangka besar kelembagaan pembaruan agraria dan penyelesaian konflik agraria. Pada bagian saran bagi pelaksanaan pembaruan agraria Tap MPR ini, ditegaskan bahwa: “menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil mulai dari persoalan hukumnya sampai dengan implementasinya di lapangan…”. Pada bagian saran di bidang lingkungan hidup, Tap MPR No.V/2003 menyarankan: “Membentuk lembaga atau institusi independen lainnya untuk menyusun kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dan sumberdaya alam, agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat pada umumnya sehingga berbagai konflik dan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi; Mempercepat pembahasan RUU pelaksanaan pembaruan agraria,…. RUU penataan struktur agraria serta RUU penyelesaian konflik agraria dan sumberdaya alam”.10

Dengan demikian, jika diletakkan dalam konteks pembaruan agraria, maka tujuan penyelesaian konflik agraria adalah “agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat pada umumnya”. Sedangkan produk legislasi yang harus disegerakan adalah “RUU pelaksanaan pembaruan agraria,…. RUU penataan struktur agraria serta RUU penyelesaian konflik agraria dan sumberdaya alam”. Pertanyaannya, kenapa Prolegnas 2010-2014 tidak memuat “RUU pelaksanaan pembaruan agraria” maupun “RUU penataan struktur agraria”? Yang tercantum adalah RUU Peradilan Keagrariaan, bersama sejumlah RUU yang belum jelas kaitannya dengan agenda pembaruan agraria.

Hasil pemantauan penulis atas Prolegnas 2010-2014 di bidang pertanahan dan keagrariaan, tercatat setidaknya 32 RUU terkait langsung maupun tak langsung dengan bidang ini. Dalam konteks keagrariaan ada 8 RUU yang patut dikawal ketat, yakni: (1) RUU pengelolaan sumberdaya alam; (2) RUU pertanahan; (3) RUU pengambilan tanah untuk kepentingan pembangunan; (4) RUU hak atas tanah; (5) RUU pengadilan keagrariaan; (6) RUU perlindungan dan pemberdayaan nelayan; (7) RUU perlindungan dan pemberdayaan petani, dan; (8) RUU perubahan atas UU penetapan luas tanah pertanian.

Penulis menyesalkan Prolegnas 2010-2014, karena RUU pelaksanaan reforma agraria tidak masuk, dan adanya sejumlah RUU yang potensial kontra reform. Sejumlah RUU yang sejalan dengan agenda legislasi nasional yang pro-reforma agraria perlu pengawalan berupa input substansi dan strategi advokasi secara optimal, serta dukungan politik dan massa juga penting dirancang dan digencarkan. Tetapi, terhadap RUU yang potensial bertentangan dengan semangat dan agenda reform, maka perlawanan terhadapnya juga tak kalah pentingnya. Hemat penulis, penyusunan prolegnas idealnya dialirkan dari mandat TAP MPR No. IX/2001, yang menghendaki penerapan arah dan prinsip baru yang lebih adil dan berkelanjutan. TAP MPR inilah konsensus nasional terkini sekaligus panduan bagi pemerintah dan DPR untuk menjalankan pembaruan agraria di Tanah Air.

Secara spesifik, penulis merekomendasikan untuk secara paralel menyiapkan empat kelembagaan bagi pelaksanaan pembaruan agraria sejati, yakni: (1) Komite Nasional Pembaruan Agraria, (2) Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria, (3) Peradilan Agraria, dan; (4) Kementerian Agraria. Prinsip keempat kelembagaan ini adalah terkoneksi satu sama lain dan dibingkai utuh dalam konsep, strategi dan program pembaruan agraria sejati (lihat diagram).

Kebutuhan utama ialah Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) atau Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). Dibayangkan, BORA atau KNPA inilah yang jadi kelembagaan khusus untuk melaksanakan pembaruan agraria. Tugas utama dari badan/komite ini adalah memimpin dan menjalankan penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah serta kekayaan alam lain, mempercepat proses pelaksanaan pembaruan agraria dan mengkoordinasikan semua sektor terkait, serta menangani dan menyelesaikan konflik agraria akibat dijalankannya pembaruan agraria. Badan/komite ini bersifat sementara (ad-hoc), bekerja dengan kekuatan penuh, cepat dan efektif, serta dipimpin langsung Presiden. Selain itu, BORA juga berkewajiban mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan terkait agraria dan pengelolaan kekayaan alam, serta merumuskan kerangka politik hukum yang baru agar tercipta harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan agraria. Struktur BORA/KNPA hendaknya dibentuk di tingkat pusat atau nasional, yang dibantu komite-komite kerja di tingkat provinsi, sampai kabupaten/kota, dengan sub-struktur pendukung sampai tingkat desa atau yang setingkat dengannya. Semua pejabat pusat dan daerah, termasuk para gubernur dan bupati mesti memiliki komitmen yang sama dan terlibat aktif sesuai dengan cakupan tugas dan kewenangannya, serta kekhasan wilayahnya. Yang menyatukan pemerintahan dalam reforma agraria adalah kerangka umum dan tujuan yang ditetapkan di tingkat nasional melalui UU Pelaksanaan Pembaruan Agraria. Parlemen pusat dan daerah mesti mendukung kuat, baik dari sisi legislasi, pendanaan (budgeting), maupun pengawasan terhadap pelaksanaan pembaruan agraria sejati untuk rakyat.

Adapun keberadaan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) kita butuhkan dengan maksud untuk menangani dan menyelesaikan ribuan konflik agraria struktural yang terjadi di masa lalu dengan menggunakan pendekatan keadilan transisi (transitional justice). Gagasan mengenai KNuPKA ini berangkat dari situasi dimana tidak ada mekanisme dan kelembagaan alternatif yang dapat secara independen menyelesaikan konflik agraria yang disebabkan oleh penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan Negara di masa lalu. Tidak sedikit konflik yang terjadi dengan korban yang begitu banyak dan meluas, serta terjadi di hampir semua sektor kehidupan. Pada intinya, konflik agraria yang ditangani dan diselesaikan oleh KNuPKA mesti mengutamakan pengakuan dan pemulihan hak-hak rakyat sebagai korban. Tata cara yang digunakan adalah di luar pengadilan tetapi memiliki kekuatan hukum tetap yang mengikat semua pihak. Konsepsi mengenai KNuPKA ini telah dirumuskan oleh tim yang dibentuk Komnas HAM (2004) dan telah secara resmi disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri (2004), dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2006). Gagasan dan usulan mengenai pembentukan KNuPKA ini, masih relevan dan perlu ditindaklanjuti.

Kelembagaan Peradilan Agraria dibutuhkan dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria sejati, khususnya guna menyelesaikan konflik agraria yang tidak dapat dituntaskan oleh KNuPKA. Konflik agraria yang ditangani Peradilan Agraria haruslah kasus-kasus yang terlebih dahulu telah menempuh jalur non-pengadilan di dalam KNuPKA. Setelah cara-cara mediasi, negosiasi, kompensasi, restitusi, atau musyawarah-mufakat –serta metoda penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution) tidak dapat putus di KNuPKA, maka kasus-kasus semacam inilah yang kemudian dimasukkan, ditangani dan diselesaikan oleh Peradilan Agraria. Sebagaimana KNuPKA, Peradilan Agraria juga bersifat sementara (ad-hoc) sampai seluruh konflik agraria di masa lalu tuntas, dan konflik-konflik agraria yang mungkin timbul akibat pelaksanaan reforma agraria juga dapat ditangani dan diselesaikan dengan baik secara berkeadilan bagi rakyat banyak.

Adapun Kementerian Agraria dibutuhkan untuk memastikan seluruh mandat dan amanat UU Pokok Agraria No.5/1960 dapat dijalankan dengan baik oleh suatu kementerian yang kuat dan berwibawa. Dengan adanya Kementerian Agraria, maka koordinasi lintas sektor dengan kementerian terkait agraria dan kekayaan alam dapat berjalan dengan sinergis dan efektif. Ketiadaan Kementerian Agraria membawa dampak pada pengabaian semangat populisme yang dikandung UUPA, nihilnya koordinasi antar sektor karena tingginya ego-sektoralisme, dan tiadanya simpul pengikat komitmen politik pembaruan agraria. Dipahami, selain komitmen politik penuh Presiden, pelaksanaan pembaruan agraria juga menghendaki keterlibatan semua sektor, seperti pertanahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan, dst. Pembentukan Kementerian Agraria, atau idealnya Kementerian Kompartemen Agraria yang mengkoordinasikan sektor-sektor terkait untuk reforma agraria jadi wujud nyata komitmen politik siapa pun Presidennya.

Sedikit banyak, rekomendasi pembentukan kelembagaan ini terinspirasi model kelembagaan keagrariaan Afrika Selatan yang memiliki Departemen Urusan Pertanahan (Departemen of Land Affair); Komisi Restitusi Hak atas Tanah (Commission for Restitution of Land Right), dan; Pengadilan Klaim atas Tanah (Land Claim Court). Kelembagaan ini mengembangkan mekanisme komprehensif dalam rangka penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah (landreform) sekaligus penyelesaian sengketa tanah di masa kekuasaan Rezim Apartheid kulit putih menguasai Afrika Selatan. Walaupun disadari terdapat perbedaan, baik ideologi, politik, hukum, sosial-budaya maupun historis, namun pengalaman Afrika Selatan ini penulis pandang sebagai kebutuhan logis ketika kita ingin memastikan pembaruan agraria sejati berjalan efektif, sinergis dan sampai pada tujuannya.

Pada gilirannya, terbentuk atau tidaknya kelembagaan pelaksana reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria ini akan sangat tergantung pada kemauan politik Presiden RI sebagai kepala pemerintahan dan kepala Negara yang memiliki kewenangan untuk membentuk kelembagaan Negara/pemerintah yang diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan penting dan genting dari bangsa agraris ini. Bersamaan dengan itu, dibutuhkan dukungan politik dari parlemen dalam bentuk penyusunan peraturan perundang-undangan (legislasi), penganggaran (budgeting), dan pengawasan proses pembentukan dan operasional pelaksanaannya kelak.

 4. Menuju Hak Asasi Petani (11)

Setelah mengurai kemungkinan kelembagaan pelaksana reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria, penting kiranya kita mengangkat topik eksistensi dari subjek utama reforma agraria dan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Dalam hal ini, kaum tani di pedesaan harus dipastikan sebagai penerima manfaat utama dari pelaksanaan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Untuk itu, hak asasi petani perlu dipahami dan diakui secara kuat.

Hak asasi rakyat (petani) atas tanah dan sumber-sumber agraria merupakan kewajiban Negara untuk memenuhinya. Amanat Pasal 33 (Ayat 3) Konstitusi UUD 1945 amat jelas, bahwa “Bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Inilah amanat para pendiri Republik yang wajib diwujudkan sampai kapan pun. Dalam konteks usaha untuk mendapatkan pengakuan, penegakan dan perlindungan terhadap HAM bagi kelompok petani (kemudian disebut hak asasi petani), terlebih dahulu kita mesti menyadari bahwa “bertani” atau “menjadi petani” merupakan suatu pekerjaan yang menyangkut usaha seorang atau sekelompok manusia yang mengolah tanah dan air serta kekayaan alam lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan lebih dari itu bertani telah menjadi jati-diri sebagian besar anak bangsa yang erat kaitannya dengan soal identitas, harga diri dan kebudayaan bangsa secara keseluruhan. Dengan demikian, hemat penulis, amat sangat masuk akal jika hak asasi petani merupakan usaha menterjemahkan lebih lanjut wacana HAM, khususnya dalam segi hak ekonomi, sosial dan budaya ke dalam praktek yang lebih mendekati kebutuhan nyata sebagian besar rakyat Indonesia.

Dengan mengacu kepada naskah Deklarasi Hak-hak Asasi Petani Indonesia yang dihasilkan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani (17-20 April 2001 di Cibubur, Jakarta) kita dapat secara jelas dan rinci memahami peta situasi permasalahan dan argumen-argumen pokok sebagai dasar pikiran mengenai pentingnya penegakan hak asasi petani.12

Pada mukadimah deklarasi, diantaranya dinyatakan bahwa: “… sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Negara wajib mengakui hak-hak petani untuk mencapai taraf penghidupan yang layak bagi diri dan keluarganya, dan hak untuk bebas dari kelaparan, melalui tindakan pembaruan agraria”. Hal ini dengan mempertimbangkan pula, bahwa: “…. petani telah dikhianati oleh penyelenggara pemerintahan dengan menghentikan dan kemudian menyelewengkan pelaksanaan UUPA 1960, memproduksi hukum-hukum baru yang bertentangan dengan UUPA tersebut dan menjalankan program-program anti-pembaruan agrarian …. kondisi agraria yang berkembang dewasa ini telah mengancam keselamatan hidup petani, memperburuk layanan alam terhadap petani, merendahkan kemampuan produktivitas petani dan semakin menurunkan kesejahteraan hidup petani”.

Bahkan ditimbang pula: “….. kondisi agraria tersebut diperburuk oleh penyelenggara pemerintahan yang menyingkirkan petani dalam pembuatan-pembuatan keputusan, oleh aparat bersenjata Negara yang memaksa petani dengan kekerasan, dan oleh badan-badan usaha raksasa yang menghisap kekayaan petani .… globalisasi kapitalisme telah bekerja melalui perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan internasional yang menjerat petani”.

Berangkat dari kenyatan-kenyataan inilah muncul kesadaran: ”… petani telah dan akan terus berusaha mengatasi ancaman keselamatan hidup, kerusakan layanan alam, pelemahan produktivitas, dan penurunan kemakmuran baik dengan daya upayanya sendiri maupun bersama-sama dengan para pendukungnya”, dan diyakini bahwa; “… perbaikan nasib petani hanya bisa diwujudkan dengan pembaruan agraria secara menyeluruh, yang dimulai dengan pemerataan penguasaan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang menyertainya, lalu dilanjutkan dengan memajukan susunan produksi dan perdagangan hasil produksi petani”. Dan diyakini: “… pelaksanaan program pembaruan agraria yang menyeluruh itu adalah kewajiban penyelenggara pemerintahan”, dan “… pembaruan agraria yang menyeluruh itu hanya bisa berhasil bila didorong oleh organsasi petani sejati yang kuat dan didukung oleh kalangan pro-petani”.

Setelah mukadimah, Deklarasi Hak Asasi Petani Indonesia ini mencakup 8 bagian dan 67 butir. Bagian I Hak-hak petani atas hidup (butir 1 sampai 15); Bagian II Hak-hak penguasaan dan pemakaian sumber daya alam dan kemampuan pribadinya (butir 16 sampai 25); Bagian III Hak-hak petani atas produksi (butir 26 sampai 35); Bagian IV Hak-hak petani atas konsumsi (butir 36 sampai 43); Bagian V Hak-hak petani akan pemasaran produk, pengadaan asupan, dan jaminan mutu akan produknya (butir 44 sampai 49); Bagian VI Hak-hak petani akan keberorganisasian (butir 50 sampai 61); Bagian VII Hak-hak petani akan pelanjutan keturunannya serta makhluk hidup lainnya yang menjamin kelangsungan hidupnya (butir 62 sampai 65), dan Bagian VIII Hak-hak petani akan pengungkapan (butir 66 sampai 67) –uraian lengkap lihat lampiran.

Untuk perbandingan, hasil konsultasi publik RUU Sumberdaya Alam mengidentifikasi hak petani, yang meliputi jaminan: (1) untuk menjalankan penataan ulang penguasaan tanah sehingga lebih berkeadilan sosial dengan mengutamakan kebutuhan kaum tani tak bertanah dan petani kecil pada umumnya, (2) adanya perlindungan kepastian hak penguasaan dan pengelolaan tanah dan kekayaan alam lainnya bagi kaum tani, termasuk dalam setiap proses dan sarana produksi, pemasaran, serta penguatan kelembagaannya, (3) adanya bagi hasil yang adil bagi kaum tani yang di atas tanah yang dimilikinya dijalankan usaha pengelolaan sumberdaya alam bersama pihak lain, (4) peningkatan kesejahteraan bagi kaum tani yang berdasarkan kesepakatan bersama haknya atas tanahnya dialihkan kepada pihak lain untuk kepentingan publik, (5) adanya peningkatan kemampuan bagi petani dalam memanfaatakan tanah dan kekayaan alam lainnya sehingga dapat menjadi sumber penghidupan yang layak, (6) adanya kesamaan hak antara laki-laki petani dan perempuan petani dalam penguasaan dan pengelolaan tanah dan kekayaan alam lainnya, dan (7) keamanan berupa perlindungan dari segala tindakan kekerasan ketika terjadi konflik dalam penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam.13

Kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai “petani” namun bekerja di pesisir dan lautan ialah kaum nelayan. Hak-hak kaum nelayan pun terkait dengan hak-hak petani sebagaimana diuraikan di atas. Untuk nelayan terdapat hal-hal spesifik yang perlu dipikirkan dan dikembangkan lebih lanjut. Mengacu pada hasil konsultasi publik RUU tentang Sumberdaya Alam, beberapa hak nelayan yang sifatnya pokok meliputi: (1) Hak untuk melestarikan sumberdaya alam, (2) Hak untuk mengelola laut, (3) Hak untuk mengatur wilayah tangkapan, (4) Hak untuk menggunakan alat-alat tradisional dan alat-alat modern, (5) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, (6) Hak untuk mendapatkan asuransi, dan tunjangan pendidikan dan kesehatan, (7) Hak untuk menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (8) Hak untuk mendapatkan informasi, (9) Hak untuk mendapatkan akses pada modal, (10) Hak untuk membentuk organisasi nelayan, dan (11) Hak menjadikan adat sebagai aturan lokal.14

Keberadaan payung hukum yang mengakui dan melindungi hak asasi petani kini makin menjadi kebutuhan mendesak. Selain guna menjawab problem-problem lama, meruncingnya tantangan globalisasi kapitalisme yang terus mendunia dalam berbagai bentuknya kian mengancam eksistensi kaum tani Indonesia. Untuk itu, mempercepat kelahiran UU pelindungan petani yang paralel dengan UU pelaksanaan pembaruan agraria patut jadi kepedulian bersama.

5. Penutup

Setelah berupaya memahami realitas dan konteks konflik agraria serta gagasan kelembagaan penyelesaiannya –khususnya terkait pemenuhan hak asasi petani atas sumber-sumber agraria, maka sampailah kita pada kebutuhan untuk merintis konstruksi mekanisme dan kelembagaan pembaruan agraria dan penyelesaian konflik agraria, secara utuh dan komprehensif. Ketika komitmen melaksanaan pembaruan agraria ada, tentu saja harus ditunjukkan dengan arah dan kebijakan yang segaris dengan komitmen tersebut. Salah satu arah dan kebijakan yang harus dihadirkan sebagai perwujudan dari komitmen tersebut ialah pembentukan mekanisme dan kelembagaan pelaksana pembaruan agraria dan penyelesaian konflik agraria.

Bersamaan dengan itu, penulis menekankan pentingnya partisipasi, emansipasi dan peran serta aktif rakyat dalam pelaksanaan pembaruan agraria. Apapun nama dan bentuk kelembagaan yang akan dikembangkan Negara, pada akhirnya, untuk pembaruan agraria mutlak membutuhkan peran aktif rakyat melalui organisasinya yang kuat, rapi, berideologi kerakyatan kokoh, kepemimpinan amanah, kadernya luas dan terdidik baik, serta program nyata dalam menyadarkan, mengorganisir dan menyuburkan perjuangan rakyat untuk pembaruan agraria.

Yang dituju ialah terwujudnya keadilan agraria sebagai bagian dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ujung dari pelaksanaan pembaruan agraria sejati haruslah merombak struktur agraria dan menyelesaikan konflik agraria masa lalu, masa kini, dan masa depan. ***

Jakarta, 17 Mei 2010

 

Endnote

1 Dikembangkan dari: Usep Setiawan, (2010) Mekanisme dan Kelembagaan Penyelesaian Konflik Agraria dalam Rangka Pelaksanaan Pembaruan Agraria, makalah dalam Diskusi Publik Bersama Parlemen bertema “Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Keagrariaan dan Penyelesaian Konflik Pertanahan di Indonesia”, diselenggarkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dengan Fraksi Partai HANURA DPR RI, di Ruang Komisi X, Lt. Dasar Gedung Nusantara I – DPR RI, 30 April 2010, Jakarta.

2 Usep Setiawan adalah Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria. Alamat: Jl. Duren Tiga No. 64 Jakarta Selatan, Tlp (021) 79191703, Fax (021) 79190264. Email: usepsetia@yahoo.com, HP: 081317926383.

3 Dicuplik dari: Usep Setiawan, Menangani Konflik Agraria Secara Holistik, makalah disajikan dalam Lokakarya Memperingati 50 Tahun Antropologi Universitas Indonesia, (2007), “Konflik dan Disharmoni Sosial pada Era Reformasi di Indonesia: Sumbangan Pemikiran Antropologi untuk Pembangunan Demokrasi”, 11-12 Desember 2007, di Kampus UI, Depok.

4 Dari 7.491 kasus tersebut, prosentase berdasarkan tipologi masalahnya adalah; (a) Penguasaan dan pemilikan 59,61%; (b) Penetapan hak dan pendaftaran hak 14,62%; (c) Batas dan letak bidang tanah 6,81%; (d) Ganti rugi ex-tanah partikelir 3,48%; (e) Tanah ulayat 1,78%; (f) Tanah objek landreform 2,27%; (g) Pembebasan dan pengadaan tanah 3,18%; (h) Pelaksanaan putusan pengadilan 8,20% (sumber: Pidato Kepala BPN RI dalam Pembukaan Workshop Strategi Penanganan dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan, diselenggarakan oleh Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan – BPN RI, di Denpasar Bali (14 November 2007) dan di Batam (20 November 2007).

5 Prof. DR. H. Muchsin, SH (Hakim Agung MA) yang berjudul “Aspek Hukum Sengketa Hak Atas Tanah”, makalah disajikan dalam workshop BPN RI, di Denpasar Bali (14 November 2007) dan di Batam (20 November 2007).

6 Lihat artikel opini penulis berjudul Pemerintah Baru dan Konflik Agraria, Harian Kompas, 24 September 2004, dan; makalah penulis yang berjudul ”Warisan Otoritarianisme di Lapangan Agraria: Praktik-praktik Penguasaan dan Pengelolaan Agraria di Indonesia”, disajikan dalam diskusi panel tentang paradigma penguasaan agraria di Indonesia, sebagai bagian dari Konferensi Warisan Otoritarianisme bertema “Mempertanyakan Transisi: Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia”, diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), PUSDEP Universitas Sanata Dharma, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Kamis-Sabtu, 17-19 November 2005, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

7 Erpan Faryadi, (1998), Seri Panduan Organisasi Tani-6: Kaum Tani di Bawah Penindasan Orba, Jakarta: KPA dan INPI-Pact.

8 Lihat: Erpan Faryadi, ibid, 1998: hlm 15-22.

9 Setiawan, Usep dan Idham Arsyad, (2007), “Kelembagaan Penuntas Konflik Agraria”, opini, Jakarta: Sinar Harapan.

10 Lihat: Perintah Hukum Pembentukan KNuPKA, sebagai bagian dari “Naskah Akademik KNuPKA: Penyelesain Konflik Agraria dan Usulan Pelembagaannya di Indonesia”, (2004), Jakarta: Tim Kerja Menggagas Pembentukan KNuPKA-Komnas HAM, Keterangan: cetak miring dan garis bawah pada alinea ini berasal dari penulis.

11 Dicuplik dari: Usep Setiawan, (2004), Menuju Pengakuan Hak Asasi Petani: Pemetaan Permasalahan dan Revitalisasi Perjuangan Penegakan dan Perlindungan Hak Asasi Petani di Indonesia, makalah ini disiapkan sebagai bahan diskusi dalam Semiloka bertema “Hak Asasi Manusia: Hak Asasi Bagi Kelompok Khusus” yang diselenggarakan Komnas HAM, di Hotel Raddison-Purwakarta, 9-12 Desember 2004. Beberapa bagian dari tulisan ini, khususnya bagian (A) sampai (D), telah disajikan dalam seminar sehari mengenai kondisi HAM di Indonesia selama 2004, Jakarta: diselenggarakan Tim Penyusun Laporan Tahunan Komnas HAM.

12 Telah terselenggara Konferensi Nasional bertema “Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Petani”, di Cibubur Jakarta pada tanggal 17 sampai 20 April 2001. Konferensi yang diorganisir Komnas HAM, FSPI, Bina Desa, ELSPPAT, CAPS, CNDS, Jaringan Advokasi Petani, TRK, IPPHTI, FAO/IPM, Akatiga, INFID, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini diikuti 110 petani dan 40 aktivis dari seantero Nusantara. Konferensi ini menjadi momentum strategis dalam upaya mewujudkan keadilan agraria dan pemenuhan hak-hak petani melalui jalan Reforma Agraria. Dengan tekun dan serius, peserta konferensi ini telah berhasil menyusun dan meletakan sebuah fondasi bagi penguatan pergerakan Kaum Tani di Indonesia, yakni dideklarasinya Hak-hak Asasi Petani Indonesia dan sejumlah resolusi.

13 Lihat: Box hak-hak jaminan bagi petani berdasarkan konsultasi publik region Jawa, dalam buku (2004), “Di Bawah Satu Payung: Hasil Konsultasi Publik RUU tentang Sumberdaya Alam”, Tim Konsultasi Publik RUU tentang Sumberdaya Alam, hlm. 78.

14 Lihat: Box hak-hak nelayan berdasarkan konsultasi dengan organisasi rakyat di Pontianak, (2004), “Di Bawah Satu Payung: Hasil Konsultasi Publik RUU tentang Sumberdaya Alam”, Tim Konsultasi Publik RUU tentang Sumberdaya Alam, hlm. 76.

[/ezcol_2third]

[ezcol_1third_end id=”” class=”” style=””][template id=”509″][/ezcol_1third_end]

Scroll to Top