[anti-both]
[ezcol_2third id=”” class=”” style=””]
Membaca Buku Masalah Agraria M Tauchid
“Masalah Agraria” yang belum (akan) berakhir…
Oleh: Sabiq Carebesth
[quote]“Masalah agraria, sepanjang jaman, pada hakekatnya adalah masalah politik (Lihat, Christodoulu, 1990; juga Moch, Tauchid, 1952) Siapa menguasai tanah, ia menguasai pangan, atau, ia menguasai sarana-sarana kehidupan! Siapa menguasai sarana kehidupan, ia menguasai manusia! Tanpa memahami hal ini, orang akan terjebak ke dalam masalah-masalah parsial, teknis-administratif, legalistik, tidak sosiologis, apolitis dan ahistoris.” (Gunawan Wiradi, 2004)[/quote]
Masalah agraria adalah soal yang kompleks dan rumit, terutama dalam konteks Indonesia masa kini. Untuk memahami secara lebih baik, tidak bias tidak orang perlu memahami sejarah, baik sejarah Indonesia maupun dunia. Dan buku “Masalah Agraria” karya Alm. Moch. Tauchid ini adalah sumbangsih besar untuk pemahaman yang lebih baik pada soal “Masalah Agraria.”
“Soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup, manusia. Untuk ini orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya.” (Moch. Tauchid, 1952)
Oleh karenanya wajar jika kemudian Alm. Mochammad Tauchid dalam buku “Masalah Agraria” ini menyatakan “Siapa Menguasai Tanah, Ia Menguasai Makanan.” Lalu pertanyaan kita adalah siapa yang menguasai tanah kita, Tanah Indonesia selama ini sejak jaman purba kolonial sampai pada perkembangan kapitalime global?
Kapitalisme Global? Apakah lalu buku ini membicarakan dan membahas perkembangan kapitalisme global seperti pada pola penguasaan tanah dan sumber agrarian lain oleh korporasi baik TNC/MNCs seperti hari ini? Tidak banyak dan tidak spessifik memang, tapi membaca buku ini akan memberi gambaran historis yang lebih mendalam tentang perkembangan kapitalisme modern—yang sesungguhnya adalah kelanjutan dari upaya penguasaan sumber-sumber daya agraria. Dan hal tentu saja sebagaimna dalam perkembangan teoritik-filosfis menyangkut perkembangan paradigmatic kapitalisme global adalah fase dialektis dari feodalisme, buku ini memberi konstribusi luar biasa dalam beberapa tema bahasannya untuk mengejewantahkan fase tersebut. Benarkah feodalisme di Indonesia berpola sama dengan feodalisme di Eropa? Bagaimana hubungan orang dengan tanah? Raja dengan rakyat?
“Sebelum penjajahan, pada zaman kekuasaan raja-raja, hukum tanah berdasar sistem feodalisme, yang dasarnya: Tanah adalah milik raja. Rakyat adalah milik raja juga. Di kerajaan Mataram, sekarang Surakarta dan Yogyakarta, tanah adalah kepunyaan Sultan dan Sunan (kagungan dalem) Rakyat hanya pemaro dan statusnya peminjam (wewenang anggaduh). Masyarkat feodalisme merupakan perbudakan dalam ekonomi, politik, dan sosial.” [Masalah Agraria: hlm.13-14]
Parakitri T. Simbolon dalam usaha luar biasanya mendedah jelaskan Buku Moch. Tauchid ini, mengajukan sebuah pertanyaan kritis: Berdasarkan sistem feodalisme? Ini mencengangkan karena negeri-negeri maju sekarang ini, seperti Eropa, juga Jepang, bertolak dari feodalisme, di mana penguasa tanah berusaha keras mengelola tanah dan penghuninya seproduktif mungkin. Kalau betul dulu punya feodalisme, mengapa negeri kita terpuruk hingga sekarang?
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cornelis van Vollenhoven (1874-1933), dedengkot penelitian ilmiah hukum adat itu, secara tak langsung telah menyanggah pendapat bahwa sistem hukum tanah di negeri kita berdasarkan feodalisme. Begitu kurang terikatnya hukum adat dengan tanah daripada dengan orang sehingga Vollenhoven menegaskan bahwa hukum adat itu rechtsstam, jadi semacam keluarga hukum yang melampaui batas-batas Indonesia ke kawasan yang jauh lebih luas sejak dari Formosa (Taiwan) hingga Madagaskar.
Secara mudah feodalisme yang pernah ada di Eropa atau Jepang itu adalah sistem di mana orang ikut tanah, sedang di negeri kita tanah ikut orang. Penguasa memiliki tanah, dan karena itu ia menguasai orang yang hidup di sana. Di negeri kita penguasa memiliki orang, lalu orang itu diberi tanah untuk sumber hidupnya. The social tie was strictly personal and in no way based on land. Dalam sistem feodal, penguasa mengembangkan tanahnya agar makin banyak orang mau tinggal di sana. Di negeri kita dulu, penguasa menelantarkan tanahnya sehingga ia terpaksa bergantung pada orang-orang yang dikuasainya. [J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy(Cambridge: The University Press, 1944), hlm. 13-4]
Dalam buku “Masalah Agraria” ini, Moch. Tauhid menjelaskan bahwa struktur feodal dalam coloni monopoli sumberdaya tanah di Indonesia adalah feodalisme yang berbeda dengan feodalisme lama di Eropa. “Untuk membedakannya dari feodalisme di Eropa, kita katakan saja˜feodalisme lama, sedang yang kemudian coba diterapkan oleh penjajah, ya feodalisme baru. [v, 18] Jadi benarkah The land went with the people, tanah ikut orang, bukan the people went with the land, orang ikut tanah. Kira-kira mengapa di negeri kita yang berlaku adalah the land went with the people, tanah ikut orang?
Dalam kasus ini mencatat bahwa raja, khususnya di Jawa, membagi-bagi tanah kepada pegawainya, lalu pegawai itu memberi upeti atau bakti atau bulu bekti kepada raja, dan juga harus bekerja-bakti atau janggolan, kuduran kepada raja. Untuk meringankan beban upeti, pegawai raja sering menambah orang sebanyak-banyaknya di tanah-jabatannya dengan memilah-milah tanah dalam kapling lebi kecil untuk setiap orang. Dan hal ini berakibat pengecilan (versnippering) tanah garapan rakyat.Semua ini berakibat penindasan pengawai raja dari yang paling atas sampai yang paling bawah atas nama raja. Penggarap pun makin menderita.
Buku “Masalah Agraria” ini juga menyebut bahwa pada dasarnya sikap pemerintah jajahan, kecuali Jepang, sangat ragu, mendua, sehingga penguasaan tanah sering berdasarkan vested interest]. Penaklukan raja-raja oleh Belanda, sejak zaman Kumpeni (VOC) berarti perampasan kekuasaan raja. Kekuasaan raja itu ditafsirkan menurut kepentingan dan tujuan politiknya di sini. Tiap kali VOC menguasai suatu wilayah, pola penguasaan raja atas tanah praktis dilanjutkan. Tatkala pemerintah jajahan setelah VOC bubar terdesak kebutuhan uang, tanah dijual kepada seseorang lengkap dengan kekuasaan atas penduduk yang ada di dalamnya. Timbullah apa yang dikenal dengan tanah partikelir. Tatkala Inggris merebut negeri kita dari Belanda, pola penguasaan raja atas tanah diganti dengan pemberlakuan sewa tanah (landrente) yang harus dibayar oleh petaninya. Sesudah Inggris menyerahkan negeri kita kembali kepada Belanda, pola sewa tanah (landrente) diganti dengan Cultuurstelsel yang terkenal sebagai malapetaka bagi rakyat Indonesia. Tatkala Belanda memasuki zaman liberalisme, penguasaan tanah di negeri kita ditata untuk kepentingan … modal partikelir, terutama modal pertikelir Belanda. Penataan itu terkenal sebagai Agrarische Wet [yang dicanangkan pada] 9 April 1870. Landasannya terkenal sebagai Domeinverklaring [yang] berbunyi: Semua tanah yang tidak ternyata memiliki hak eigendom, adalah kepunyaan negeri. Maksudnya, semua tanah yang jelas tidak dikuasai berdasar hak pemilikan lain, merupakan tanah negara. [hlm. 15-19].
Demikian lah buku ini secara jeli telah berhasil menyingkapkan secara terang benderang bagaimana kerusakan struktural telah terjadi pada pondasi pokok kehidupan mayoritas rakyat (desa) akibat politik agraria yang ekspolitatif dalam rentang waktu yang panjang sejak masa colonial sampai dengan masa decade awal pasca proklamasi kemerdekaan. Komplikasi social yang lahir dari padanya sekarang kita kenal dalam istilah “kemiskinan agrarian yang akut dan kronis karena absesnnya kebijakan pembaharuan agraria yang berakibat kepada semakin intensnya konflik, sengketa,perkara agraria di negeri ini.
Kupasan dalam buku karya Mochammad Tauchid (1914-1981) yang merupakan seorang pendiri bangsa (kader PNI-Baru dan anggota kelompok bawah-tanah Syahrir), pejuang kemerdekaan (anggota BP-KNIP), pemimpin gerakan tani (pendiri BTI “ Barisan Tani Indonesia), pejabat negara (anggota DPR), dan pendidik (anggota Majelis Luhur Tamansiswa) merupakan cetusan jiwa penulisnya yang hendak memberi sumbangan pada upaya perubahan sistem politik agraria warisan kolonial yang membuat petaka bagi kaum tani Indonesia.
Dwi Astuti dalam pengantarnya untuk buku ini, menyebut buku ini sebagai karya klasik dari seorang pemikir dan sekaligus pejuang gerakan tani dan reforma agraria di Indonesia pada masa revolusi dan kemerdekaan Indonesia.
Mochammad Tauhid tidak hanya seorang penulis tentang agraria, tapi ia juga seorang perintis gerakan tani dari masa kolonial hingga masa kemerdekaan. Penulis adalah salah seorang pendiri Gerakan Tani Indonesia (GTI), organisasi massa tani yang berafiliasi pada Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir. GTI berdiri pada September 1954 setelah keluar dari Barisan Tani Indonesia (BTI) karena organisasi massa tani tersebut dikuasai oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). GTI mengklaim memiliki 1,5 juta anggota dan 100 cabang organisasi di berbagai daerah. Sebagai aktivis dan intelektual organik gerakan tani, sebagian besar hidup penulis dicurahkan untuk menyuarakan persoalan ketimpangan struktural penguasaan agraria di Indonesia sebagai warisan kolonial Belanda dan menyerukan segera dilaksanakannya reforma agraria oleh pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri. Penulis cukup aktif menyebarkan gagasan-gagasan tersebut melalui media umum dan koran organisasi milik GTI sendiri yang bernama “Masyarakat Tani”. Sirkulasi koran ini mencapai 15 ribu ekslempar, jumlah yang cukup besar pada saat itu dan mengesankan bahwa sebuah ormas tani yang anggotanya tersebar di pelosok pedesaan memiliki alat propaganda modern.
Buku yang diterbitkan pada Januari 1952 ini merupakan rangkaian pemikiran yang lebih sistematis dari tulisan-tulisan lepas beliau di berbagai media. Dikatakan lebih sistematis karena buku ini ditulis dengan pendekatan historis agraria Indonesia dan disertai data-data yang cukup baik menggambarkan ketimpangan struktural penguasaan agraria di masa kolonial. Sehingga buku ini bukanlah termasuk hukum agraria tetapi lebih tepat digolongkan ke dalam kajian “politik agraria”.
Dan melihat fenomena Agraria sekarang ini dimna ketimpangan dan kerusakan structural yang menyebabkan ribuan bahkan jutaan rakyat kini masih dalam jerat kemiskinan akut, menjadi alas an penting dari hadirnya buku “Masalah Agraria” ini untuk diterbitkan kembali oleh Yayasan Bina Desa yang hamper 36 tahun dengan konsisten dan penuh komitmen memperjuangkan agenda Reforma Agraria; kedailan penguasaan sumberdaya agrarian dan dorongan akan kemandirian rakyat khususnya rakyat desa demi kedaulatan bangsa agraris ini. Di sisi lain, kehdarian buku ini akan terasa sangat penting sebagai pengisi masih sedikitnya literatur atau kajian politik agrarian Indonesia, lebih-lebih yang ditulis oleh aktifis tani, pemikir dan inteletual organic yang selama hidupnya memperjuangkan hak-hak kaum tani seperti Mochamad Tauhid ini.
Di atas semua itu, meminjam bahasa Ir. Gunawan Wiradi, M.Soc. Sc., dalam bukunya Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa (Dari Ngandagan, Jawa Tengah sampai Porto Alegre, Brazil), sesungguhnyalah masalah agraria, khususnya Reforma Agraria, bukanlah masalah sederhana melainkan rumit, kompleks dan sukar karena menyangkut berbagai aspek kehidupan. Anda berani melanjutkan perjalanan Reforma Agraria yang belum (akan) berakhir ini? Saya harap anda berani! Selamat Membaca…
Sabiq Carebesth, 2011
[/ezcol_2third]
[ezcol_1third_end id=”” class=”” style=””][template id=”509″][/ezcol_1third_end]