Bina Desa

Dominasi Amerika dalam Konferensi Perubahan Iklim Paris

Hasil perundingan Paris dianggap sebagai keberhasilan besar oleh negara maju. Negara maju merasa berhasil bersolidaritas terhadap negara-negara berkembang yang menghadapi dampak buruk perubahan iklim. Tetapi, menurut Direktur Ekskutif Bina Desa, Dwi Astuti, sesungguhnya kesepakatan tersebut tidak lebih hanya menguntungkan korporasi (corporate capture) sekaligus mencerminkan gagalnya pemerintah dalam melakukan negosiasi.

Konferensi Perubahan Iklim atau Side Event COP 21 tahun ini diadakan pada 4-10 Desember di Paris, Perancis. Forum tersebut diselenggarakan oleh masyarakat sipil sedunia dalam advokasi “Climat Justice”. Bina Desa diminta mewakili APNFS memenuhi undangan CCFD-Terre Solidaere, Perancis tersebut.

Forum masyarakat sipil itu dihadiri oleh mitra CCFD dari seluruh dunia. Baik region Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa serta seluruh staf Program CCFD dan organisas-organisasi masyarakat sipil. Menurut Direktur Ekskutif Bina Desa, Dwi Astuti, forum tersebut berjalan dinamis karena dikelola secara interaktif/talk show dan mitra CCFD kaya pengalaman lapangan. “Banyak pertanyaan dan peneguhan melalui debat terbuka dalam setiap isu,” pungkas Dwi Astuti yang menghadiri acara tersebut.

Bina Desa sendiri mengisi 4 forum dan 1 Forum Grup Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh CCFD.  Diantaranya, pertama, REDD di Indonesia pada 5 Desember di Montreuil. Kedua, pertanian alami sebagai model pertanian mitigasi perubahan iklim pada 6 Desember di Montreuil. Ketiga, human library pada 7 Desember dan FGD tentang benih di kantor CCFD. Keempat, perempuan dan perubahan iklim pada 9 Desember di Metro Jussieu. Terakhir, Human library Forum pada 10 Desember di Cent Quatre.

Agenda Rutin

Pertemuan COP sendiri diselenggarakan setiap tahun untuk mencapai kesepakatan bersama dalam mengatasi perubahan iklim dan menjadi kerangka kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Pada pertemuan COP sebelumnya, COP 20 di Lima, tahun 2014, para ilmuwan mengatakan gas rumah kaca telah dipancarkan ke atmosfer sehingga perlu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 5% terutama dari negara penghasil emisi terbesar seperti Amerika Serikat dan China.

IMG_1349Tetapi menurut Dwi, forum tersebut sering menjadi ajang yang tidak sehat. Karena China dan Amerika kerap bermain mata untuk terbebas dari kewajiban mengurangi emisi. Contohnya saja, kedua negara tersebut menolak meratifikasi kesepakatan dalam konferensi PBB di Tokyo pada 2009 atau Kyoto Protocol untuk mengurangi emisi karbon.

“Karena ulahnya yang seringkali membuat blunder proses negosiasi maka Amerika Serikat dan China seringkali disebut sebagai penjahat iklim,” pungkas Dwi. Selain kedua negara itu, penyumbang gas rumah kaca atau poluter terbesar ialah Kanada dan India.

Oleh karena itu, COP 21 di Paris atau dikenal dengan 2015 Paris Climate Conference dihadiri oleh lebih dari 190 negara anggota PBB diselenggarakan. Tujuannya untuk menghasilkan kesepakatan baru yang mengikat secara hukum (legally binding). Pasalnya, kenaikan 1,5 derajad celcius saja dipandang relatif aman dari dampak buruk perubahan iklim. “Jika kesepakatan itu dapat dicapai pada akhir konperensi maka ini merupakan pertama kalinya dalam proses negosiasi UN selama lebih dari 20 tahun,” jelas Dwi.

Dominasi Amerika

Amerika Serikat mendorong agar pengurangan emisi bersifat sukarela dan tidak terikat secara hukum. Negeri Paman Sam, pun mengulur waktu mengenai kesepakatan pengurangan emisi sampai COP 22 tahun 2016 di Maroko. Tidak hanya dominasi dalam forum, AS dan negara maju pun menurut Dwi terlihat digdaya di luar arena nan janggal. “lokasi konferensi, dimana ruang ‘sekretariat’ Amerikat Serikat jauh lebih besar dengan delegasi sangat banyak sementara negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia memiliki ruang kecil dan sepi,” heran Dwi.

Selain itu menurut Dwi, proses perundingan berjalan sangat alot hingga konperensi molor satu hari. Tapi akhirnya pada 12 Desember 2015 lahir kesepakatan baru yang disebut sebagai Paris Agreement untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajad celcius. “Paris Agreement juga menyepakati pendanaan program bagi negara-negara berkembang dalam menangani perubahan iklim melalui adaptasi dan mitigasi yang dilakukan dengan dukungan dan kerjasama internasional dalam bentuk pendanaan langsung dan teknologi iklim modern yang aman,” jelasnya.

Perundingan Timpang

Hasil perundingan ini dianggap sebagai keberhasilan besar oleh negara maju. Negara maju merasa berhasil bersolidaritas terhadap negara-negara berkembang yang menghadapi dampak buruk perubahan iklim. Tetapi, menurut Dewi, sesungguhnya kesepakatan tersebut tidak lebih hanya menguntungkan korporasi (corporate capture) sekaligus mencerminkan gagalnya pemerintah dalam melakukan negosiasi.

IMG_1350

“Persoalan HAM dan keadilan gender luput menjadi bagian penting dalam kesepakatan Paris. Ini merupakan keberhasilan Amerika Serikat yang terus mengawal agar HAM dan keadilan gender tidak masuk menjadi bagian penting Kesepakatan Paris,” miris Dwi menyaksikan.

Selain tidak mengikat secara hukum dalam pengurangan emisi, beberapa kesepakatan pun jelas-jelas justru merugikan negara berkembang. Seperti tidak adanya niat untuk mengurangi penggunakan energi bahan bakar fosil. “Dengan kesepakatan ini proyek-proyek yang mengatasnamakan mengurangi dampak perubahan iklim melalui konservasi (privatisasi) hutan seperti REDD+ masih akan tetap berlangsung meskipun dengan nama lain,” pungkas Dewi. (*)

 

 

Scroll to Top