NAY PYI TAW, BINADESA.ORG- Puluhan perwakilan petani dan nelayan jaringan AsiaDHRRA (the Development Human Resources in Rural Areas) yang terdiri dari 8 negara seperti Thailand, Laos, Philipina, Malaysia, Vietnam, Indonesia dan lainnya berkumpul di ibukota Myanmar yang baru, Nay Pyi Taw. Selama tiga hari tepatnya pada tanggal 15-17 September 2016 mereka melakukan pelatihan regional tentang Action Learning. Dari Indonesia di hadiri oleh perwakilan Bina Desa, Serikat Inong Meutani Aceh Barat (SIMAB) , Serikat Nelayan Indonesia (SNI). Aktivitas ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan AsiaDHRRA di Yogyakarta pada Mei 2016. Hadir menjadi narasumber dan fasilitator kegiatan adalah Dr. Kim Mijeong dari lembaga pengembangan sumberdaya manusia Multicampus, Korea Selatan.
Menurut Mardiyah, koordinator Pendidikan dan Organisasi/Sekolah Pedesaan (Sepeda) Bina Desa kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan metode action learning yang dapat digunakan dalam membangun kapasitas organisasi dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan di komunitasnya dan dalam menyelesaikan persoalan tersebut bersama dengan anggota komunitasnya. Metode ini merupakan bentuk pemberdayaan yang berkelanjutan di tengah zaman makin dinamis karena tanpa kemampuan untuk belajar, Komunitas akan mengalami kerugian yang besar dan tidak mampu bertahan dalam perubahan yang terjadi.
Dalam pengorganisasian Komunitas pedesaan, action learning dapat melengkapi metode Aksi-Refleksi-Aksi yang selama ini menjadi dasar dari proses pembelajaran yang konsisten dalam membangun organisasi Komunitas pedesaan. Salah satu implementasi action learning adalah gerakan Saemul Undong di Korea Selatan. “Saemul Undong mampu menjadi penggerak bagi perubahan Korea dari negara bekas jajahan menjadi negara maju yang tingkat pembangunannya mampu sejajar antara di perkotaan dan pedesaan” ujar Dr. Mijeong.
Terkait keberhasilan Saemul Undong di Korea, pengalaman Bina Desa selama empat puluh terakhir sebenarnya gerakan semacam ini ada dalam komunitas-komunitas di Indonesia terutama di wilayah pedesaan yaitu semangat gotong-royong. Namun demikian, sejak tahun 1970-an dan pasca krisis 1998 semakin kuatnya pendekatan pembangunanisme dan pertanian dengan revolusi hijau. Pendekatan itu berbasis pertumbuhan di kombinasi dengan liberalisasi mengakibatkan memudarnya semangat gotong-royong dan solidaritas di komunitas-komunitas di Indonesia.
Pada kesempatan ini, salah satu peserta dari Serikat perempuan Petani SIMAB, Cut Mala Dewi, menyampaikan bahwa materi yang dipaparkan pada pelatihan ini memperkuat kemampuannya dalam menganalisa persoalan dan mencari solusi-solusi dengan lebih sistematis dan mampu menjawab akar masalah. Hal senada juga disampaikan oleh Sekjen SNI yang juga menjadi salah satu peserta dari Indonesia, Budi Laksana “Kami menggunakan isu nelayan tradisional di wilayah SNI menjadi tema untuk mengidentifikasi masalah dan mencari pilihan-pilihan solusinya”. Persoalan nelayan tradisional di Indonesia, seperti halnya persoalan petani gurem, sangatlah kompleks terutama berkaitan dengan ketergantungannya terhadap tengkulak, penguasaan alat tangkap, dan persoalan wilayah tangkap.
Melihat potensinya dalam mendukung proses pengorganisasian di komunitas pedesaan, Bina Desa berharap bahwa metode ini dengan kesesuaiannya bisa diaplikasi di Indonesia, khususnya di tingkat komunitas petani kecil, perempuan petani dan nelayan tradisional. “Bina Desa telah menyusun tahapan dalam implementasi metode action learning di tingkat komunitas, salah satunya dengan menyesuaikan modul yang digunakan dengan kondisi aktual di Indonesia sehingga diperoleh dampak yang lebih besar” harap Mardiyah. (###)