Salah satu hasil dari perencanaan strategi (Renstra) Bina Desa 2016-2021 yang dilaksanakan di Kaliurang, Yogyakarta pada Januari 2016 mengamanatkan membangun Sekolah Pedesaan (SEPEDA) untuk memperkuat Komunitas Swabina Pedesaan (KSP). Secara normatif SEPEDA memfasilitasi pendidikan, antara lain karakter swabina, pendidikan pembaharu, kemandirian, pertanian alami, kesetaraan dan keadilan gender dalam reforma agraria dan kedaulatan pangan. Demikian juga soal kebijakan nasional yang terkait desa, pangan, agraria, pertanian, pengorganisasian komunitas pedesaan dan fasilitator. Materinya dari pengalaman komunitas. Sehingga dalam 5 tahun kedepan KSP-KSP yang telah tumbuh menjadi tempat pembelajaran pihak lain, muncul para pembaharu dan KSP-KSP baru di berbagai wilayah.
Mandat membangun SEPEDA diurai dari pengalaman panjang Bina Desa yang berdiri sejak 42 tahun lalu (1975). Saat itu Bina Desa menyaksikan petani dan masyarakat desa selalu dipinggirkan oleh kebijakan sehingga tidak dapat hidup sejahtera; secara sosial budaya disingkirkan dari budaya tani yang lekat dengan alam hingga kehilangan pengalaman dan pengetahuannya. Secara sosial ekonomi dibuat tergantung pada industri input pertanian. Secara sosial politik ditinggalkan dalam proses pengambilan keputusan.
Pengalaman dan kesaksian atas realitas pedesaan di Indonesia, memperkaya dan mepertajam pandangan bahwa telah terjadi ketidakdilan sosial yang menciptakan strata (kelas) sosial ketimpangan struktur agraria. Ditemukan juga ketidakadilan hubungan antar manusia di setiap kelas sosial atau ketidakadilan gender. Keadilan sosial dan keadilan gender hal tak terpisahkan untuk mencapai tatanan masyarakat yang berkeadilan dalam segala lini
Untuk itu, Bina Desa mempunyai kesadaran bahwa melakukan pengorganisasian atau mendampingi petani dan masyarakat marginal pedesaan lainnya sebagai subyek dan inti perubahan, mewujudkan masyarakat desa yang setara, adil, multikultural, interfaith dan mandiri melalui rangkaian pendidikan kritis demokratis atau disebut dengan pendidikan musyawarah (DIKMUS). Dalam perkembangannya masyarakat desa seperti ini disebut sebagai Komunitas Swabina Pedesaan (KSP) (catatan rencana strategi, 2016).
Roh dari SEPEDA adalah dikmus. Merupakan proses penemuan masalah, pemecahan masalah, aksi dan refleksi, yang berjalan secara terus menerus. Materi dikmus ditentukan oleh masyarakat, mulai dari penilaian kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, dan refleksinya. Sehingga dikmus berperan penting dalam proses demokratisasi kaum marginal. Menimbulkan rasa aman, peneguhan, bebas dari perasaan tertekan, sikap lebih terbuka, berani menyampaikan pendapat, serta memahami realitas diri dan lingkungannya.
Jadi tepat sekali kalau ada istilah bahwa, “Semua Orang Guru dan Alam Raya Sekolahku” (bd018)