Untuk apa mencinta kalau hanya berdusta, lyric lagu lawas itu sekiranya cocok untuk parodi ekonomi politik bangsa terkini—untuk apa bikin undang-undang kalau hanya untuk di gugat? Untuk apa mencintai kalau tak pernah berbalas dicinta? Kata Iwan Fals dalam lagunya: “Untuk apa punya pemerintah kalau hidup terus-terusan susah..”
Ibarat asmaradana, baru seumur jagung di sahkan sudah dirundung gugatan. Tapi itulah fenomena laku politik dari interaksi simbolik antara Pemerintah dan DPR sebagai perumus dan pengesah rancangan Undang-Undang dengan masyarakat yang dijadikan objek hukum perundangan. Konon semua perundangan itu demi rakyat dan demi kesejahteraan rakyat, tapi nyatanya rakyat malah disengsarakan dengan diseragamkan karakter dan naluri kritisnya; sehingga menjadi seperti snack di mini market, diseragamkan dalam bungkus tunggal. Loh kok bisa?
Ya itu lah yang sekiranya bisa ditafsirkan dari undang-undang yang baru DPR-RI sahkan pada 09 Juli 2013, yang konon katanya untuk melindungi petani–UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Hak Asasi Petani. Bukannya melindungi, memperhatikan Pasal 59, Pasal 70 Ayat (1), dan Pasal 71 Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2013 indikasi upaya menyeragamkan dan memberi potensi pertarungan bebas (tapi tak seimbang) antara petani dan “asosiasi modal” besar justeru tampak terskema dengan baik untuk melemahkan petani kecil.
Apa tujuannya? Percepatan pembangunan ekonomi lewat master plan yang dikenal dengan risalah MP3EI, kitab pertumbuhan pembangunan sektor jasa, investasi dan padat modal yang justeru, terkesan sama sekali tak berusaha melindungi petani dan rakyat gurem lainnya. Alih-alih mengagendakan pembaruan agraia utamanya melalui land reform, yang terjadi malah arogansi tafsir dari praktek Hak Menguasai Negara (HMN) atas tanah-tanah; sehingga rakyat hanya boleh nyewa sisanya kuli. Jadi salahkah bila rakyat menggugat?
DOMINASI ASING DAN KEHENDAK POLITIK
Kita seperti tengah menghadapi kondisi super kapitalisme di lapangan agraria yang dalam istilah Harrison dan Henry George, dinyatakan dengan: perbanditan ekonomi oleh kuasa modal yang dilindungi hukum perundang-undangan. “This is the economics of the bandit sanctified by law.” (Harrison 1983:19)
Sensus pertanian 2013 menunjukan bagaimana keluarga tani selama sepuluh tahun terakhir kian susut, jumlahnya mencapai 5,04 juta keluarga. Sementara pada saat yang sama jumlah perusahaan pertanian bertambah 1.475 perusahaan sejurus dengan kian meningkatnya jumlah petani gurem yang salah satunya bisa dilihat dari index ketimpangan yang mencapai batas rentan 0,4.
Dilain pihak peningkatan jumlah korporasi/perusahaan menampilkan profile betapa dominannya modal asing khususnya di lapangan agraria. Sumber dari European Banks and palm oil and pulp & paper in Indonesia (Jan Willem 2002) seperti dikutip dari RACA Institute (2003) misalnya menunjukan gambaran jelas dominasi asing dalam sektor perkebunan Indonesia.
Modal asing dari sedikitnya enam perusahaan seperti: (1) Johor Group (Malaysia) (2) CDC Group (Inggris) (3) Carson Cumberbatch Group (Srilangka) (4) Anglo Eastern Group (Inggris) (5) Rowe Evans Group (Inggris) (6) Kumpulan Guthrie Berhard (Malaysia), memiliki modal “dominan” dalam pengusahaan lahan perkebunan sawit di Indonesia, mereka memiliki 30,4% – 100% pemilikan berbagai perusahaan perkebunan sawit di Indonesia.
Belum lagi melihat dominasi modal asing di Indonesia pada sektor pangan, benih dan agrokimia. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina. Apa yang bisa kita katakan untuk kita banggakan? Keadilan? Tanah surga? Mungkin Indonesia memang bukan kolam susu (lagi).
***
Korporasi akan terus membeli dan mengekspolitasi sumberdaya di pedesaan hampir di seluruh dunia dari lahan pertanian, pangan, adat, hutan belantara dan juga sistem saluran air—dan baru akan berpindah setelah sumberdayanya habis. Seperti kata Barlow dan Clarke dalam Who Owns Water, ”In rural communities all over the world, corporate interests are buying up farmlands, indigenous lands, wilderness tracts and whole water systems, then moving on when sources are depleted”. Jadi apa kita akan menunggu sampai mereka mengahabiskan semua kekayaan kita?
Tentu masih ada sisa, kan Indonesia kaya raya—bukan lautan tapi kolam susu, kail dan jala cukup menghidupi, batu saja tumbuh jadi tanaman?? Kita yang putuskan sekarang masa depan bagi generasi berikutnya, karena sumberdaya yang melimpah ruah itu kini dihadapi oleh intelektual elitis dan aparatus idiologis negara yang meminjam istilah Robison, “..committed to neo-classical growth economics, to the importance of foreign capital investment and market forces.” (1986).
Singkatnya, kalau pembaruan agraria tidak segera dijadikan agenda politik nasional oleh negara, kita mungkin tidak hanya akan mengalami perampokan atas tanah dan sumber pangan (land grab), tapi juga hilangnya budaya dan tradisi sebagai sebuah masyarakat-bangsa dengan segenap imajinasi nasionalnya. Dalam imaji semacam itulah soal agraria sejatinya juga adalah soal budaya dan kehormatan bangsa.
Kita menunggu kehendak politik rezim kedepan. Sebab tanpa kehendak politik yang kuat dari negara pembaruan agraria dengan daya dongkrak yang kuat pun (by levrige) tetap rentan gagal. Padahal pembaruan agraria sesungguhnya memungkinkan menjadi jalan untuk membereskan ketimpangan pemilikan khususnya tanah; sehingga kemiskinan mungkin memiliki jalan keluar dan kedaulatan pangan punya masa depan. Satu hal yang pasti, pembaruan agraria membutuhkan campur tangan negara dan hal itu sekarang nyaris nihil.[SC*]