Hiburan kota besar dalam semalam,
Sama dengan pembangunan sepuluh desa!
Peradaban apakah yang kita pertahankan?
Mengapa kita membangun kota metropolitan,
Dan alpa terhadap peradaban di desa?
Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,
Dan tidak pada pengedaran?
(WS. Rendra, 1977)
Bukan dongeng semata, di negara yang korupsi pejabatnya milyaran bahkan triliunan ini, nenek-nenek sekarat menahan lapar, makan sega aking, petani kurang air, krisis pupuk dan benih, dikemplang oleh endemik yang diciptakan sendiri oleh sistem pertanian yang rente dan tak berdaulat.
Maka bukannya kebebasan sebagai personifikasi kebudayaan bercocok tanam—yang sudah mereka warisi sebagai “amanat hati nurani”—digenggam, melainkan petani malah kian dipaksa jadi “pelayan” yang bayarannya tak pernah setimpal dengan keringatnya. Petani dipaksa menjadi gurem dalam pergulatan ekonomi politik yang terus bergerak maju, dan karena keguremannya mereka lantas “seolah-olah” ditakdirkan jadi pelayan kehendak politik negara yang tak jelas ujung hilirnya; mereka dikalahkan sebagai semata “pelayan” bagi kemauan negara yang di dalamnya berisi pasar yang korup dan sarat praktik monopoli. Tak jarang malah petani jadi korban centeng-centeng ekonomi yang juga dibayar tak seberapa oleh tipu daya sistem rente ekonomi kapital yang tak adil dan cenderung merampok.
***
Negara memang hadir, negara memang terlibat, negara memang berpihak; tapi pada siapa keberpihakan negara? Di situ kita bertanya!
Praktek rente monetokrasi dalam sistem yang menempatkan petani sebagai kelas terendah dari komunitas paling bawah dalam skema ekonomi neo-liberalisme, membuat petani dan sektor pertanian kalang kabut tak punya arah. Kata tinggal kata, jargon kosong belaka. Katanya menganut “Kedaulatan Pangan” tapi kebijakannya sengaja atau tidak malah membuat petani kian terbuang dari ladangnya, terasing dari desanya sekaligus terbuang dalam kemodernan urban yang dipaksakan. Kebebasannya terenggut dan kebudayaan agrarianya menjadi mandek bahkan dekadensi.
Perempuan sebagai pengelola pangan rumah tangga dan memiliki peran reproduksi generasi justeru terasingkan dalam sistem monetokrasi ini. Mereka mengalienasi dalam migrasi buruh ke luar negeri, angka kematian ibu, dan merupakan penderita anemia yang payah.
Kita harus katakan bahwa kebijakan apa pun yang mengabaikan penderitaan kaum kecil dan perempuan, di situ stagnasi sesungguhnya tengah terjadi. Di dalam stagnasi yang kabur, involusi (perumitan ke dalam) lantas menggantikan transformasi (memajukan atau jika harus, melompat ke fajar baru yang lebih adil dan merata). Dalam involusi, korupsi dalam sejarah kehidupan modern selalu kian menjadi-jadi. Hukum disusun dan diamini sebagai pelayan kepentingan mereka yang modalnya padat; yang modalnya cekak bahkan nir, tak dianggap ada, ia terpaksa menyingkir, disingkirkan dan masuk dalam kotak pengabaian, diabaikan (Political Ignorance).
Dalam kekalutan di mana politik tak punya arah dan keberpihakan negara menjauh dari tanggung jawab sosial dan nasionalnya, di situ pula anomi (condition in which society provides little moral guidance to individuals) sosial merajalela. Kriminal, pemogokan, etos sosial yang buruk, bahkan perbanditan primitif bisa berlangsung masif dan “tidak” sistematis—mengancam siapa saja yang ironisnya, kebanyakan, sesama rakyat juga yang jadi korban.
***
Ada harapan, ada waktu, ada masa, ada ada saja untuk membuat rakyat bahkan kian terasing dari penderitaanya sendiri. Memang selalu akan ada harapan, kita berharap periode ini pemerintah akan berpihak pada petani, jika tidak tahun ini tahun berikutnya, esok, lusa, atau entah kapan, tapi kita tak bisa terus menerus dalam drama sampai 5 tahun mendatang.
Atau kita kembali pada inspirasi: jika negara negara tak memberikan jalan bagi rakyat untuk mandiri maka rakyat akan menentukkan jalannya sendiri.
Kita mesti yakini kehidupan kita sendiri sebagai petani, sebagai rakyat, dan sebagaimana Tuhan berkata: “tak berubah nasib suatu kaum sampai ia sendiri merubahnya!” Anda masih paham artinya perubahan? Kita tentu sama percaya, satu-satunya yang pasti terjadi adalah perubahan itu sendiri.
Jangan sampai seperti drama Menunggu Godot, orang-orang berdebat tentang harapan dan pemecahan masalah, meyakinkan diri akan datangnya jawaban dari Sang Godot, tapi sudah sembari bunuh diri, Godot yang ditunggu tak pernah muncul sampai akhir drama. Salam perubahan. (SC)