Deklarasi Rembug Rakyat Laut: Rakyat Berdaulat Menjaga Laut Bersama

Peserta rembug rakyat laut dalam menyampaikan penolakan terhadap pertemuan OOC. Ini disampaikan di depan istana negara pada siang tadi. Pada hal ini disampaikan deklarasi rembug rakyat laut. (Foto : Rembug Rakyat Laut)

JAKARTA, BINADESA.ORG – Nelayan tradisional dan rakyat di pesisir dan pulau kecil mendapat ancaman global berupa upaya menjual lautan sebagai finansialisasi dan privatisasi lautan dengan selubung menjaga laut. Upaya tersebut secara campur aduk disebut sebagai ekonomi biru yang hari ini mulai didiskusikan tanpa partisipasi penuh rakyat nelayan dalam “Our Ocean Conference.” Acara tersebut dihadiri oleh pemerintah Indonesia, negara – negara lain, serta dengan perusahaan swasta yang mencemari lautan untuk memprivatisasi dan menjual sumber daya laut dengan dalih menyelamatkan laut. Tetapi, melihat bahasan tematik dan dengan mendiskusikannya sangat ironis karena melarikan tanggung jawab dari masalah yang disebabkan oleh berbagai korporasi swasta yang mengeruk keuntungan.

Pengelolaan pencemaran laut dibicarakan tanpa menyelesaikan akar masalah pencemaran lautan sebagai akibat di darat dan buta atas sumber pencemar lain seperti industri ekstraktif seperti batubara, limbah cair maupun rumah tangga. Konferensi Our Ocean Conference bahkan dengan sangat naif membahas masalah pencemaran bersama dengan korporasi pencemar laut. Kebijakan pencemaran laut tidak dapat diselesaikan jika tidak dikerjakan secara bersama-sama masyarakat yang terhubung langsung dengan laut, yaitu nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau kecil sebagai korban dari pencemaran tersebut. Pencemaran laut dapat diselesaikan dengan menarik tanggung jawab korporasi pelaku pencemar laut dari perusahaan produsen plastik, hingga industri ekstraktif dan industri lain yang secara sembarangan membuang sampah. Di titik lain, perlu ada pengelolaan air yang benar tanpa privatisasi.

Masalah perubahan iklim hanya berkutat dengan membicarakan karbon biru yang tidak lain adalah pengalihan tanggung jawab pencemar karbon dari kewajibannya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Sebagai solusi palsu, karbon biru mengkomodifikasi mangrove dan meminggirkan nelayan dan masyarakat pesisir dengan ancaman kriminalisasi. Sementara, berbagai masyarakat pesisir telah berupaya membangun kedaulatan pangan dari mangrove akan terancam karenanya. Penyebab utama persoalan krisis iklim disebabkan oleh pencemaran oleh energi fosil yang masih terus melanggeng bahkan akan tetap dijaga oleh ekonomi biru. Sementara perikanan skala kecil adalah korban dari dampak krisis iklim yang tidak pernah masuk dalam arena pengambilan keputusan mengenai upaya menjawab keadilan iklim.

Pengaturan tata ruang laut melalui Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil harusnya dapat melindungi wilayah perikanan tangkap nelayan serta menjamin keberlanjutan ruang penghidupan dan akses nelayan terhadap sumber daya perikanan maupun tanah tempat tinggalnya. Namun sebaliknya, temuan-temuan yang ada di lapangan mendorong adanya banyak penutupan ruang laut dan di sisi lain akan tetap menjaga industri ekstraktif seperti tambang dan migas tetap langgeng dengan 9710 ijin tambang. Jika RZWP3K tidak dapat melindungi wilayah tangkap nelayan, maka rakyat nelayan akan membangun gerakan dan pengetahuan untuk melawan model perampasan ruang laut.

Kebijakan pemerintah terhadap pencurian ikan dan pengaturan alat tangkap tidak serta merta menjadi keberhasilan. Upacara penenggelaman kapal akan menjadi sia-sia jika tidak dibarengi dengan dukungan kuat nelayan untuk dapat mengelola sumber daya lautnya. Pengaturan alat tangkap tanpa upaya lanjutan mendorong adanya konflik horizontal meningkat tajam di laut. Sementara Pemerintah tidak belajar untuk menyelesaikan akar masalah: lemahnya pengawasan sumber daya kelautan yang berkutat antara 13 lembaga memboroskan anggaran untuk pengawasan laut.

Pemerintah seakan-akan lupa dengan kerangka perlindungan hak asasi manusia yang harus didahulukan daripada pembangunan infrastruktur di laut seperti pelabuhan, pariwisata, reklamasi dan lainnya. Indonesia telah dengan sadar mendorong adanya Pedoman Perlindungan Perikanan Skala Kecil di Tahun 2014 di tingkat internasional sebagai satu-satunya instrument khusus perlindungan nelayan tradisional dan perikanan skala-kecil yang komprehensif. Komitmen pedoman tersebut telah diturunkan dalam ketentuan Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam namun pemerintah seakan-akan tidak sungguh mengimplementasikan. Hanya berkutat dalam asuransi, yang telah gagal mencapai seluruh kepada konstituen utama kelautan yaitu nelayan dan petambak di Nusantara. Minimnya implementasi perlindungan terhadap pekerja perikanan menyebabkan masih mengorbankan rakyat.

Perempuan nelayan perlu perhatian khusus yang seringkali luput dari narasi besar kelautan termasuk Our Ocean Conference yang sama sekali tidak mendiskusikan masalah perempuan di sektor perikanan. Kebijakan kelautan perlu untuk secara jelas merekognisi dan melindungi perempuan dalam berbagai kebijakan termasuk dalam Undang – Undang No. 7 Tahun 2016 Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dan turunannya. Perlu ada kesungguhan pemerintah untuk melindungi perempuan di sektor perikanan dengan menggali situasi nyata, mengkaji kembali termasuk memfasilitasi partisipasi perempuan di sektor perikanan dalam kebijakan perikanan dan ruang laut.

Nelayan tradisional dan perikanan skala kecil secara umum adalah solusi dari masalah yang menghancurkan lautan. Persoalan pencemaran laut tidak akan selesai jika hanya berkutat pada apa yang terjadi di laut tanpa menyelesaikan sampah di daratan serta bekerja bersama-sama masyarakat pesisir yang menjadi korban. Nelayan dan rakyat di pesisir pulau-pulau kecil berperan penting dalam menjawab krisis iklim dengan menjaga mangrove. Sebagai penyedia pangan, nelayan dan petambak mendorong kedaulatan pangan yang menjadi solusi menjaga lautan dengan kepastian akses dan kontrol nelayan terhadap lautan dan sumber dayanya, upaya kegiatan perikanan yang sejalan dengan alam dapat menjadi jalan untuk menegakkan kedaulatan pangan.

Berangkat dari masalah tersebut, kami menyatakan bahwa:

  1. Pemerintah Republik Indonesia untuk segera memprioritaskan perlindungan terhadap nelayan tradisional, rakyat di pesisir dan pulau-pulau kecil dan pekerja perikanan;
  2. Memastikan pengakuan dan perlindungan perempuan nelayan dalam kebijakan kelautan nasional dengan standar tinggi hak asasi perempuan;
  3. Tidak melanjutkan pembahasan mengenai model – model finansialisasi sumber daya laut dalam bentuk ekonomi biru;
  4. Gerakan nelayan dunia dan masyarakat sipil progresif segera membangun gerakan dan pengetahuan rakyat untuk melakukan perlawanan di tingkat global terhadap finansialisasi dan privatisasi kelautan;

Atas nama penyelenggara Rembug Rakyat Laut:
KNTI, Bina Desa, Jatam, IGJ, IHCS, KIARA, KRuHA, Kontras, SNI, Solidaritas Perempuan, Gerak Lawan

ARTIKEL TERKAIT

Menilik Hilangnya Kontrol Perempuan Petani Atas Benih

Perjuangan Panjang Melestarikan Benih Pangan Lokal

HTNM Gelar Pendidikan Advokasi Bagi Petani

Podcast Pangan dan Gizi

Buletin 148

Regional Conference APEX: Memperkuat Gerakan Kedaulatan Pangan, Mengubah Sistem Pangan, Menegaskan Keadilan Iklim