Judul Buku : Liberalisasi Pertanian dan Pangan: Potensi Dampak FTA Uni Eropa dengan Indonesia, Ancaman Bagi Pembangunan Pertanian dan Kedaulatan Pangan
Penulis: Achmad Yakub, Elisha Kartini T. Samon, Indah Sukmaningsih dkk
Penerbit : Serikat Petani Indonesia (SPI)
Tebal: 16,5×22,5cm; viii + 92hlm
Sejak ditanda ditanganinya Letter of Intent (LoI) Indonesia dengan IMF tahun 1998-an, Indonesia semakin ramah pasar bebas. Kekinian adalah perjanjian dagang dengan Uni Eropa (UE). Pada tahun 2006, UE datang dengan strategi perdagangan baru yang disebut Agresif Global Eropa. Rancangan ini mendorong agar pemerintahan di Asia membuka pasar sektor swasta dan pelayanan publik termasuk kontrak pemerintah, investasi, juga deregulasi keuangan. Khusus untuk pertanian European Commision (EC) menyebutkan bahwa agar berhasil Free Trade Agreement (FTA) haruslah kompehensif dan menyentuh secara substansial serta melampaui semua prinsip-prinsip World Trade Organisation (WTO). Komisi Eropa memutuskan bahwa ini berate penurunan bea masuk minimal 90% bagi seluruh perdagangan antar negara. Perlu dicatat UE adalah salah satu investor terbesar di Indonesia, ada sekitar 700 perusahaan. Menarik bukan?
Buku ini merupakan hasil penelitian oleh beberapa penulis, yang berlatar belakang organisasi tani, akademisi dan non-government organization internasional. Tentu pengalaman mereka dalam praktik kerjasama global dan berbagai kajian terkait liberalisasi pertanian dan pangan menjadi utama. Beberapa potensi dampak yang diutarakan sedikit banyak mulai terbukti. Korbannya petani dan nelayan kecil. Buku ini mengulas beberapa komoditas utama dalam skema perjanjian Indonesia-UE yaitu kelapa sawit, daging sapi, susu, serelia (biji-bijian) dan perikanan.
Menurut WTO, produk pertanian dan makanan yang diekspor oleh UE dikenai bea masuk 150%. JIka FTA UE dan Indonesia (Comprehensive Economic Partnership Agreement-CEPA) berlaku efektif, sebagian besar bea masuk yang diterapkan oleh Indonesia pada produk pertanian UE akan ditekan. Tidak diragukan lagi prodyk UE akan kompetitif dipasar Indonesia, tentunya akan terjadi peningkatan ekspor UE untuk produk susu, sereal, daging, gula, dan pangan olahan. Pastinya semua akan berimbas pada produsen beras, jagung, kedelai, susu atau daging di Indonesia.
Bila kita cermati sekarang ini yang terjadi pada komoditas beras, membuka keran impor, selain faktor politik ekonomi juga menjadi contoh betapa pangan dalam ini beras menjadi sangat riskan bila diserahkan kepada mekanisme pasar bebas.
Kebijakan baru UE secara sadar mendorong FTA mengesampingkan dimensi pembangunan yang berlaku dalam sistem preferensi umum. Secara jelas studi dampak FTA ASEAN yang dilakukan oleh Komisi Eropa, menyimpulkan bahwa, “dalam jangka panjang ekspor gandum Uni Eropa ke negara-negara ASEAN akan meningkat “;”… sebagian besar negara ASEAN akan mengalami penurunan dalam output [sereal & biji-bijian] akibat FTA”; “Namun, mengingat pentingnya sektor ini bagi negara-negara ASEAN hal ini bisa diartikan sebagai dampak yang substansial “; “…harga dan output yang lebih rendah berarti pendapatan riil yang lebih rendah bagi para produsen”; “…pertanian kecil akan tersingkir, untuk kepentingan perusahaan pertanian besar “;” di negara-negara ASEAN hal ini akan mempengaruhi tenaga kerja tidak terampil dan terampil “, dan” ini berarti bahwa daerah pedesaan akan mengalami peningkatan level kemiskinan “(Penilaian Keberlanjutan Dampak Perdagangan FTA Uni Eropa dan ASEAN, Lampiran, 2009).
Jelas dan lugas paparan dari hasil studi buku ini, demikian juga cuplikan penilaian keberlanjutan dampak FTA Uni Eropa dan ASEAN yang dilakukan oleh Komisi Eropa. Jadi perlu ada alternatif bagi kita sebagai bangsa atau tetap ikut dalam skema FTA UE tersebut yang jelas dampaknya merugikan dan menjerumuskan kekubangan kesusahan di masa depan. Para penulis buku mengajak kita mengupas kembali semangat Konferensi Asia-Afrika 1955. Didalamnya terdapat solidaritas antar bangsa, kerjasama budaya, perdagangan dalam skema pembangunan yang pada akhirnya memerdekakan bangsa-bangsa Asia Afrika.
Demikian juga para penulis buku memberikan alat indikator dari perjanjian FTA UE-Indonesia, yaitu kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan sebagai konsep dan praktik mengalami dinamika yang hebat dalam sepuluh tahun terakhir ini. Beberapa prinsipnya yaitu Pangan adalah Hak Asasi Manusia, mensyaratkan pembaruan agraria, perdagangan pangan dalam skema solidaritas dan pembangunan antar bangsa, mengakhiri kelaparan dunia, perdamaian dan solidaritas sosial serta prinsip-prinsip demokrasi ekonomi. Di Indonesia kita punya PANCASILA. Selamat membaca. (Tita Riana Zen)