Sebagai negara yang ikut mendirikan WTO (World Trade Organization) Indonesia hari ini justeru menjadi negara dengan kemiskinan parah, ketimpangan yang melampaui ambang batas, ancaman krisis pangan dan kelaparan yang terus menghantui, juga korupsi yang merugikan negara dan rakyat. Jadi apa keuntungan yang kita peroleh selama ini dari WTO?
“Paket Bali” yang akhirnya disepekati (07/12)—berisi proposal fasilitas perdagangan, paket LDCs (paket proposal negara-negara kurang berkembang) dan kepentingan pertanian serta klausul damai (Peace Clause)—begitu kuat merefleksikan kepentingan negara maju dengan pada saat yang sama mengabaikan kepentingan jutaan petani di negara berkembang dan miskin.
Fasilitas perdagangan hanya akan menguntungkan negara maju sebab indonesia, walau melimpah sumber pangan di lautan dan di daratan, tapi tak memiliki index daya saing agraris yang kompetitif kecuali ekspor sumber daya alam mentahan, sedang kebutuhan pangan nasionalnya hampir 70% malah impor. Paket Bali juga tak memberi kesempatan bagi negara berkembang untuk menyelamatkan kedaulatan pangannya melalui subsidi pertanian di atas 15 persen dari output nasional. Singkatnya WTO akan segera menggerus negara berkembang seperti Indonesia ke dasar krisis terutama dimulai dari krisis pangan, kenapa? karena ekspansi bisnis melalui paket fasilitasi perdangan WTO tak akan punya ampun pada daya saing negara yang lemah seperti Indoensia. Apalagi kalau pemerintahnya tak punya ‘selera’ politik pada pembaruan sektor agraria (agraria reform).
Disepakatinya Paket Bali sama artinya dengan dimulainya penghapusan subsidi negara berkembang untuk pertanian dan pangan di atas 10-15 persen dari output nasional. Pada saat yang sama juga tak akan ada solusi permanen subsidi pertanian sebagaimana yang di desakkan India pada awal perundingan WTO, karena Amerika hanya menyepakati masa interim selama 4 tahun saja—dan hal itu akhirnya disetujui semua negara anggora WTO.
Liberalisme ekonomi yang di desakkan negara maju dalam perundingan WTO itu pula yang jadi alasan kuat kenapa kelompok negara-negara berkembang yang tergabung dalam G-33, dimana Indonesia menjadi ketuanya, menyodorkan proposal terkait kemandiran pertanian dan ketahanan pangan bagi negara berkembang—dalam konteks reformasi sektor pertanian secara umum, negara G-33 menekankan perlunya kesepakatan perihal special products (SPs) dan special safeguards mechanism (SSM) yang secara efektif memungkinkan negara-negara berkembang memperhitungkan kebutuhan mereka. Singkatnya, sektor agraria bagi negera berkembang adalah fundamental yang tak bisa diganggu gugat oleh kepentingan negara maju. Bagaimana dengan Indonesia?
****
Indonesia sejatinya berada dalam kondisi nasional seperti India, terlebih kapasitas Indonesia sebagai ketua G-33. Sayangnya suara Indonesia justru merefleksikan hal yang berbeda. Indonesia malah mengkonfirmasi sikap India sebagai egois dan sarat kepentingan politik menjelang pemilu di India pada 2014. Ya, Indonesia akhirnya lebih ingin India menyetujui paket Bali. Alih-alih mendukung sikap India, Indonesia justru terkesan ikut menekan posisi India ke titik dimana tak ada pilihan selain mensepakati paket liberalisasi pertanian yang diinginkan negara maju terutama Amerika dan Uni Eropa. Gita Wirjawan bahkan mengklaim liberalisasi perdagangan pangan dan pertanian melalui “paket Bali” akan menghasilkan keuntungan US$ 400 miliar hingga US$ 1 triliun (Rp 4.750.-11.884 triliun) bagi ekonomi dunia dengan asumsi berkurangnya biaya perdagangan hingga 15 persen. Persoalannya adalah, siapa yang di untungkan?
Oleh karenanya agenda WTO di Bali kali ini layak dikritisi lantaran pemerintah Indonesia tampak tidak punya agenda nasional khususnya terkait pembangunan pertanian dan pedesaan—karena sejatinya tanpa agenda nasional yang jelas terkait pembangunan pertanian dan pedesaan, Indonesia hanya menjadi fasiltator kepentingan asing dan negara-negara maju. Atau yang lebih parah, perundingan WTO Bali hanya dijadikan agenda politis untuk mencari dukungan asing menjelang pemilu 2014.
Lalu apa sebenarnya kepentingan nasional kita hari ini? Melihat fakta bahwa kita masih merupakan negera berkembang agraris dengan sebagian besar penduduknya mengandalkan sektor agraria sebagai pilihan hidup, pemenuhan kebutuhan pangan dan ekonomi sehari-hari, tentu kepentingan nasional dimana hajat hidup orang banyak itu nyata—adalah pembangunan pedesaan dan pertanian pangan. Tujuannya jelas, memenangi perang dari kemiskinan dan ketimpangan, serta menjamin kedaulatan pangan. Keduanya merupakan pondasi utama bagi pembangunan bangsa ini sebelum memimpikan sejajar dengan dunia modern yang lebih maju.
***
Posisi Indonesia adalah pasar potensial Asia bahkan dunia, sekaligus produsen pangan strategis. Kalau saja negaranya populis, Indonesia mungkin menjadi pemimpin baru bagi keadilan ekonomi dunia. Dengan atau tanpa WTO.
Hanya untuk hal itu kita butuh rezim politik yang populis dan punya sedikit nyali melawan domoniasi asing terutama negara-negara maju. Logiskah? Dengan produksi pangan nasional yang tinggi—69 juta ton gabah pada 2012, tanah terlantar yang luasnya mencapai 7,3 juta ha atau 133 kali luas negera Singapura, Indonesia mestinya tak perlu menggantungkan diri pada perundingan seperti forum WTO. Syaratnya, bereskan agenda pembaruan agraria nasional dan jaminana kedaulatan pangan berkelanjutan sebagai pondasi pembangunan. Kalau hal itu terwujud mestinya tidak ada lagi kekhawatiran. Kecuali jika posisi negara terus-terusan menjadi birokrasi dan juru bicara kepentingan asing yang entah karena soal politik yang mana, begitu menghegemoni para pemangku kebijakan nasional kita.
Bukankah menegosiasikan kepentingan hampir dua ratus juta rakyat di meja runding tanpa agenda yang jelas memihak pada rakyat adalah gambaran nyata betapa tergantungnya kita pada sistem ekonomi dunia?
Kita tampak tak belajar bagaimana kebijakan WTO sejauh ini telah membuat 5.231 petani gurem ‘tamat riwayat’ lantaran menjual tanah garapannya ke invstor properti hampir tiap tahuannya. Selain itu WTO juga telah memfasilitasi negara maju untuk merampok aset negara miskin dan negara berkembang 50 miliar dollar AS tiap tahunnya.
Kalau saja kita mengingat konferensi PBB di Roma Juli 1979 yang dihadiri 145 pemerintahan termasuk Indoneisa, tentang agenda perjuangan melawan kemiskinan dengan program “pembaruan agraria” dan pembangunan pedesaan, salah satunya merekomendasikan agar struktur dan pola perdagangan internasional serta investasi harus mengarah pada pelaksanaan strategi pembangunan pedesaan dan kedaulatan pangan, bukan malah sebaliknya.
Dalam konteks itulah pertemuan WTO tak ubahnya seperti forum para “pedagang”—ketimbang pertemuan “negarawan” yang dengan gigih memikirkan kepentingan rakyatnya. Nasib rakyat diletakkan di meja runding para pedagang, anda tentu sudah bisa mengira hasilnya. (*)
* Twitter @sabiqcarebesth.