Makassar, sebagai kota metropolitan besar di ujung selatan Pulau Sulawesi, menjadi sibuk Mei lalu. Sebanyak 40 orang, laki-laki dan perempuan dari 7 negara berbeda di Asia (India, Sri Lanka, Nepal, Philipina, Vietnam, Cambodia dan Indonesia) berkumpul untuk berdiskusi tentang masalah, tantangan, dan hambatan yang hingga hari ini membelenggu perempuan dan anak muda dalam perjuangannya untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Selama 5 hari, sejak 15 hingga 19 Mei 2023, para peserta yang tergabung dalam jaringan belajar APEX – Asian People’s Exchange for Food Sovereignty & Agroecology, berdiskusi dan saling berbagi tentang pengalaman dari negara masing-masing. Kegiatan dibagi menjadi 2 metode; (1) belajar dalam kelas; dan (2) belajar melalui kunjungan lapangan. Dimana sepanjang 5 hari partisipan melakukan diskusi per grup dengan topik seputar upaya perwujudan kedaulatan pangan dan agroekologi melalui partisipasi bermakna perempuan dan anak muda yang juga menjadi partisipan dalam lokakarya ini.
Sebagai pembuka, Dwi Astuti, Ketua Pengurus Bina Desa melalui presentasinya menyampaikan, “berdasarkan fakta bahwa selama ini perempuan memiliki peran ganda seperti peran rumah tangga, produksi dan pengumpulan pangan, mengamankan ekonomi keluarga, serta pelestarian alam. Ditambah perempuan di desa juga dituntut untuk menghormati hukum-hukum adat dan budaya namun tetap kritis terhadap sisi patriarkinya.”
Lebih lanjut menurutnya, kebijakan pemerintah tidak jalan. Sementara kapitalisme, neoliberalisme, imperialisme tetap eksis seiring dengan dampak negatif Revolusi Hijau. Aktor non-negara seperti perusahaan pupuk dan benih transnasional memiliki peran yang kuat di bidang pertanian. Pasar bebas, liberalisasi, dan perampasan tanah sering terjadi.
Di Kalimantan misalnya, lahan dikonversi dari hutan menjadi pertambangan. Privatisasi air memungkinkan pantai digunakan untuk pariwisata. Dampaknya tidak hanya perempuan yang tidak lagi memiliki akses untuk sumber penghidupan mereka tapi juga anak-anak muda yang dituntut bekerja tidak lagi di desa-desa. Tantangan lain juga termasuk pelecehan, diskriminasi, dan pengucilan akibat jenis kelamin atau usia yang dianggap “tidak cukup pengalaman”.
Dalam lokakarya juga ditemukan adanya kesamaan tantangan yang dihadapi oleh para perempuan dan anak muda, yaitu ketergantungan pada input-input pertanian kimia, kebijakan-kebijakan pro kapitalis, dan tentu saja, patriarki yang masih hidup subur hingga hari ini.
Untuk itu, pesan Dwi, penting bagi perempuan untuk memulai kolaborasi dengan anak muda. Juga memanfaatkan jaringan-jaringan belajar termasuk APEX agar dapat memfasilitasi pertemuan untuk memperluas jaringan yang penting untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta advokasi mereka, baik di negara masing-masing maupun di Asia. Hingga pada akhirnya kita akan memiliki hak kita untuk mengkonsumsi apa yang kita inginkan, bukan ditentukan oleh korporasi. [*/RF]
- Mengenal Komunitas Perempuan Nelayan Sipitangaari (KPNS): Kelompok Perempuan Pesisir Berbudidaya Rumput Laut
Selain belajar dikelas, partisipan diajak mengunjungi 2 lokasi komunitas, Jeneponto dan Bantaeng. Rabu pagi hari, peserta Women and Youth Leadership Workshop bergegas menuju Jeneponto dari Makassar. Partisipan yang terlibat adalah perwakilan dari 4 negara Asia seperti Indonesia, Filipina, Kamboja, dan Nepal. Kunjungan melalui bis ini disambut didepan sekretariat Kelompok Perempuan Nelayan Sipitangari (KPNS) dengan tarian selamat datang adat Bugis. lalu partisipan digiring untuk duduk ditenda yang telah disediakan. Kegiatan dibuka dengan sambutan dari perwakilan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jeneponto, Kepala Kecamatan arungkeke serta seluruh pengurus dan anggota KPNS. Setelah itu, peserta memulai diskusi terkait aksi kolektif KPNS dalam menuju kedaulatan untuk perempuan pesisir.
Komunitas Perempuan Nelayan Sipitangaari (KPNS) juga bercerita sejarah singkat bahwa awalnya tidak ada komunitas perempuan nelayan sehingga hal ini mendorong perempuan mendirikan kelompok. Perjuangan mereka sangat berat, dimulai dari pertentangan dari keluarga, lingkungan dan pemerintah. Diskusi ini menimbulkan sisi lain tentang bagaimana perempuan menginisiasi gerakan di pesisir. Seiring waktu, KPNS menghadapi zona pertanian budidaya rumput laut kian terancam akibat limbah industri pesisir (tambak udang, dan lain-lain). Inilah yang kemudian diperjuangkan, hingga isu-isu strategis KPNS yang dipilih adalah perempuan pesisir dan ekonomi, sumber daya agraria, dan pertanian alami. KPNS mengadvokasi pencemaran laut, jaminan sosial, pelayanan kesehatan, pengakuan hak dari pemerintah, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak. Mereka juga memperkuat komunitas dan mengembangkan jaringan mereka ke desa-desa lain.
Setelah berdiskusi, peserta diajak berkeliling menuju tempat anggota KPNS melakukan budidaya rumput laut termasuk mengolah hasil panen rumput laut. Selain itu, mereka juga mengembangkan produk ekonomi seperti olahan minuman rumput laut, dan produk pesisir lainnya.
*tulisan ini ditulis oleh Lugita Nurhajar dan Realita Febiarti
- Mengenal Serikat Petani Alami (SPA) Butta Toa: Kelompok Anak Muda Bertani Alami
Hari masih gelap saat saya dan partisipan perempuan dan anak muda Asia, termasuk perwakilan 7 negara berbeda: Sri Lanka, India, Nepal, Kamboja, Vietnam, India, dan Indonesia meninggalkan kota Makassar untuk mengunjungi Desa Kaloling di Kabupaten Bantaeng. Menghabiskan 5 jam perjalanan, didalam bus yang melaju saya bisa melihat pemandangan pedesaan yang indah dengan hamparan sawah luas, yang beberapa diantaranya sudah mulai menguning. Dari kejauhan saya melihat ada pantai tak berujung dan bukit-bukit yang menarik. Hal lain, saya juga melihat rumah-rumah penduduk yang masih terbuat dari kayu dengan gaya rumah panggung. Letaknya bersebelahan dengan tanaman kayu, buah-buahan, tanaman industri, tanaman obat, dan lain-lain. Mengagumkan ketika tau mereka hidup selaras dengan alam.
Sepanjang perjalanan itu pula saya tenggelam dalam pemandangan puitis hingga pada akhirnya saya dan rombongan tiba di Bantaeng. Dengan disambut banyak anak-anak muda yang juga berprofesi sebagai petani, seperti saya, saya menyadari bahwa saya hampir seperti pulang ke rumah. Ini perasaan yang sangat menyenangkan, terlebih mereka sangat antusias dan ramah, dimana kami disuguhkan tari-tarian tradisional. Mereka juga memanjakan saya dengan sajian pangan lokal dari hasil pertanian, seperti minuman dari bahan dasar jahe bersama kue-kue berbahan dasar singkong.
Yang paling menarik, ketika saya mengetahui, SPA Butta Toa telah berhasil mendirikan rumah belajar yang kami gunakan saat itu. Dimana sekililing rumah belajar ada begitu banyak jenis tanaman yang berbeda sehingga menciptakan ruang yang sejuk dan segar. Ini prestasi hebat, karena masalah utama di tempat saya, partisipasi anak muda terutama di sektor pertanian adalah hal yang susah. Tapi dari diskusi yang kami lakukan bersama, SPA Butta Toa juga mengalami masalah yang sama.
Awalnya, di tahun 2016, kelompok anak muda ini memulainya dengan 1 atau 2 anak muda di desa dengan pandangan yang sama akan masalah pertanian yang muncul di desa. Lambat laun menarik lebih banyak anak muda untuk bergabung. Kini, SPA Butta Toa telah berhasil menjangkau 11 desa dengan anggota sekitar 90 orang yang mayoritas anak muda. Para anggota mempraktikkan agroekologi di rumah dan bercocok tanam bersama untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Saat ini, mereka banyak belajar untuk mengolah dan memasarkan produk panen pertanian mereka secara bersama-sama. Saya rasa ini hal yang penting, karena kedaulatan pangan berarti juga merdeka dalam sektor ekonomi dan menghilangkan ketergantungan pada pasar buatan korporasi.
Setelah istirahat makan siang sebentar, rombongan pindah ke lahan kolektif SPA Butta Toa. Lahan seluas 1 hektar itu ditanami dengan kurang lebih 100 jenis tanaman yang berbeda. Saat ini, lahan kolektif tersebut telah menghasilkan 40 spesies tanaman berbeda. Setiap anggota SPA Butta Toa bertanggung jawab untuk memelihara lahan kolektif ini agar dapat terus menjadi pusat pembelajaran organisasi. Dermawan yang menyerahkan tanah ini kepada organisasi berbagi metode lokal tentang cara memperbanyak dengan mencangkok di antara bibit yang tumbuh dari biji yang disematkan bersama dengan cabang dengan kulit kayu hidup yang dikupas dan tanah di pohon induk hingga berakar. Setelah itu, setiap orang bisa membawa bibit yang sudah berakar untuk ditanam di lahan sendiri.
Di pusat pembelajaran, semua tanaman dirawat secara organik, tanpa bahan kimia. Ada vanilli, salah satu produk rempah-rempah paling berharga di pasar dunia, yang tanahnya subur dengan bahan yang tersedia. Semua tanaman yang ditanam di kebun diperbanyak dengan metode okulasi dan tidak perlu membeli tanaman muda. Karena SPA Butta Toa memiliki pembibitan sendiri.
Hari sudah sore, saatnya mengakhiri hari yang indah bersama teman-teman dari Bantaeng. Kami memberikan kalung tuan rumah sebagai tradisi kami: “kami sekarang adalah keluarga”. Lalu kami juga berfoto bersama dengan warga. Terima kasih banyak SPA Butta Toa dan kawan-kawan dari Bantaeng, saya telah belajar banyak ilmu dan akan menerapkan pelajaran yang paling relevan untuk desa saya dan tim kami. Pengalaman luar biasa membawa saya ke cakrawala baru, kesadaran yang lebih dalam tentang dampak produksi pertanian ekologis terhadap perubahan iklim global.*
*Tulisan ini ditulis oleh K’Phap, komune Loc Tan, Lam Dong, Vietnam, dalam bahasa inggris; tulisan disunting dan diterjemahkan oleh Realita Febiarti/Bina Desa