Selain diskriminatif terhadap petani kecil, UU ini pun dijadikan celah perusahaan untuk melakukan pembakaran hutan
Bina Desa, Jakarta – Pada Selasa (27/10), sekitar jam 11.00 WIB koalisi Tim Advokasi Keadilan Perkebunan secara resmi mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi. Tergabung dalam advokasi ini Bina Desa bersama Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Serikat Petani Kelapa Sawit, Sawit Watch, Aliansi Petani Indonesia, Serikat Petani Indonesia, dan FIELD menilai undang-undang tersebut inkonstitusional atau tidak berjiwa UUD 1945.
Di antara pasal-pasal di dalam UU tersebut ialah penggunaan frasa ketentuan peraturan perundangan yang diatur pada Pasal 12 Ayat (2) UU Perkebunan dengan jelas merujuk pada legislasi dan regulasi, bukan Hukum Masyarakat Adat yang seharusnya negara memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Adat beserta hukum adat mereka. “Ini berarti beberapa pasal tersebut menghilangan hak-hak masyarakat adat atas penguasaan tanah atau pendiskriminasian terhadap pranata hukum adat,” ujar Achmad Yakub, pegiat Sekretariat Bina Desa.
Menurut Yakub, pelaksanaan musyawarah dengan Masyarakat Adat seharusnya tidak diatur dalam peraturan perundangan, karena Hukum Masyarakat Adat telah mengaturnya di dalam hukum mereka sendiri. Merupakan pelanggaran terhadap konstitusi, jika penetapan masyarakat adat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada Pasal 13 UU Perkebunan tersebut.
Selain itu, menurutnya, UU ini juga tentunya bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebelumnya. Keberadaan Masyarakat Adat tidak melalui penetapan oleh negara atau Pemerintah/Pemda, dan peraturan perundangan tidak seharusnya menetapkan Masyarakat Adat tetapi memberi pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
Di dalam pengajuan uji materi 12 pasal itu pun juga terkait dengan hak petani kecil dalam budidaya pemuliaan tanaman yang tidak diakomodir. Menurut Yakub, dalam UU ini petani tidak diberikan hak untuk melakukan pemuliaan tanaman dalam rangka memperoleh varietas atau benih unggul. Selain pula menjadi senjata untuk mengkriminalkan petani jika terjadi konflik lahan. “Hal tersebut jelas pelanggaran/bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945,” tegasnya. Yakub pun menunjukkan beberapa potensi pelanggaran itu seperti dalam Pasal 27 Ayat (3), Pasal 29 dan Pasal 30 Ayat (1).
“Titik Api dan Asap” dalam UU Perkebunan
UU No 39 Tahun 2014 merupakan produk undang-undang yang disetujui DPR menjelang pergantian anggota legislatif periode 2009-2014. Ini mirip dengan kondisi UU No 18 Tahun 2004 disahkan, yakni di tahun pemilu untuk pemilihan anggota DPR 2004-2009.
UU No 39 Tahun 2014 menggantikan UU No 18 Tahun 2004 yang diujimaterikan di MK. Pemohon adalah para petani tradisional yang melihat UU No 18 pasal 21 dan pasal 47 sangat sewenang-wenang, karena petani akan memperoleh sanksi apabila mempertahankan tanah adat dan hak kelola saat konflik dengan perusahaan sawit.
Menurut Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto, UU Perkebunan ini pun tidak memberikan kepastian hukum terkait legalitas perusahaan dalam menjalankan usaha perkebunan. Seperti ketentuan pada Pasal 42 yang intinya mengatur bahwa perkebunan dapat mulai melakukan usaha dan/atau saha pengelolaan hasil perkebunan, dengan alasan hak atas tanah/HGU atau hanya dengan sekedar memperoleh Izin Usaha perkebunan. “Hal ini akan menimbulkan celah multi tafsir hingga diinterpretasikan berbeda karena adanya kontradiksi beberapa Pasal dalam UU tersebut,” ucap Darto saat temu media di Jakarta (27/10).
Menurutnya, hal tersebut berbeda substansi pengaturannya dengan ketentuan Pasal 16 yang intinya legalitas perusahaan berhak melakukan usaha perkebunan pasca mendapatkan hak atas tanah (HGU). Hal ini yang seharusnya, bukan hanya salah satu dari keduanya. Pasalnya, berlakunya ketentuan itu akan memberi peluang perusahaan tidak perlu mendapatkan HGU dalam menjalankan usahanya.
“pemerintah sulit dan lalai dalam mengawasi perusahaan yang secara sengaja melakukan pembakaran hutan, karena merasa bebas dari ancaman pencabutan atau pembatalan hak atas tanah, serta adanya kecendrungan untuk mengantisipasi kerugian akibat dikenakan pajak untuk negara,” jelas Darto. Ia mencontohkan 800.000 hektar lahan perkebunan sawit di Kalimantan Barat belum dilengkapi HGU, tetapi perkebunan tetap beroperasi. Menurutnya, pembakaran hutan banyak dilakukan perusahaan tanpa HGU.
Oleh karena itu, perusahaan yang menjalankan usaha perkebunan dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan yang hanya memiliki izin usaha perkebunan (IUP) tanpa memiliki hak atas tanah, potensial menimbulkan konflik pertanahan dan kerugian negara, serta tidak ada jaminan keamanan investasi.
Maka, dengan berlakunya Pasal 42 tersebut, telah menimbulkan ketidakpastian hukum hak atas tanah dan berpotensi menimbulkan kerugian negara. Sehingga, sebesar – besar Kemakmuran Rakyat tidak bisa terwujud, oleh karena itu bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. “Dengan pasal sebanyak itu, roh dan jantung UU No 39 Tahun 2014 sebenarnya sudah menyalahi konstitusi sehingga semua pasal di UU itu harus dibatalkan, tak hanya pasal-pasal yang diujikan,” tegas Darto. (*)