“Apa hubungan pertanian alami dengan perubahan iklim? Ada yang punya pendapat?” Tanya Lily N. Batara dalam kelas.
Kelas yang dimaksud adalah TOT Kajian Pertanian Alami yang merupakan kegiatan lanjutan dari TOT Kajian Kerentanan Iklim yang telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2022 lalu di Kabupaten Lumajang. Dalam kelas, kembali hadir 16 orang peserta yang berasal dari 4 Kabupaten di Jawa dan Sulawesi. Mereka juga merupakan calon peneliti utama dari kegiatan Riset Aksi Partisipatoris Ketahanan Iklim Melalui Pertanian Alami yang akan dilaksanakan secara serentak di Desa Pasrujambe, Lumajang; Desa Sumber, Klaten; Desa Rappoa, Bantaeng; dan Desa Salassae, Bulukumba.
Lalu apa sebetulnya hubungan antara pertanian alami dengan perubahan iklim?!
Pertanian Alami adalah praktek budidaya melalui menanam yang berpegang teguh pada prinsip untuk menjaga keselarasan alam. Dimana dalam bertani, semua yang dibutuhkan tanaman sejatinya sudah disediakan oleh alam. Sehingga kita, manusia, tak lagi membutuhkan input-input pertanian dari luar yang dipatok pasar dengan harga selangit. Sementara, perubahan iklim mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. Pergeseran ini mungkin bersifat alami, tetapi sejak periode 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama dengan pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak, dan gas) yang menghasilkan gas yang memerangkap panas.
Dalam pertanian alami, ada nilai tentang menjaga keseimbangan alam agar bumi tetap sehat. Nilai inilah yang digunakan sebagai ajakan untuk orang berlomba-lomba beralih untuk mempratikkan pertanian alami. Namun seberapa baik, kita sebagai petani dan pelaku utama pendorong perubahan iklim, mengenal dan mempratikkan pertanian alami?
Untuk menjadi seorang #PetaniAlami yang baik, tugas kita tidak hanya memastikan bahwa “saya tidak memakai input-input pertanian dari luar” tapi juga Asah-Asih-Asuh terhadap komoditi pertanian yang kita tanam. Seorang #PetaniAlami harus (1) Mengasah pengetahuan pertanian yang terus berkembang dengan tidak meninggalkan pengetahuan-pengetahuan lokal warisan nenek moyang untuk mengembangkan ilmu-ilmu bertani; (2) Menyayangi tanaman-tanaman yang kita tanam. Seperti manusia, tanaman juga memiliki perasaan yang harus kita jaga. Bagaimana ia bisa tumbuh dengan baik jika kita mengacuhkannya. Tanaman juga harus dibelai, dicek satu per satu kondisinya; (3) Mengasuh tanaman layaknya membesarkan anak sendiri. Apakah tanah tempatnya tinggal adalah tanah yang layak? Apakah pertumbuhannya baik? Apakah ia punya daya tahan tubuh yang baik saat diterpa cuaca yang tidak bersahabat? Dan lain sebagainya.
Sepanjang kegiatan yang berlangsung sejak tanggal 12 hingga 15 November 2022 ini, 16 peserta diajak untuk melakukan pendekatan dan merefleksikan praktik-praktik pertanian alami yang selama ini telah mereka lakukan. Peserta juga turun ke lahan (padi dan jagung) untuk melakukan uji coba pengamatan tanaman yang akan mereka lakukan sepanjang proses riset nanti. Terakhir 16 peserta turut serta merumuskan desain metodelogi penelitian yang akan mereka lakukan di masing-masing tempat. Dari menyepakati lahan percobaan, petakan perlakuan, hal apa saja yang akan diamati, merancang budidaya tani sehat, dan membuat respon rekomendasi.
Meski berlangsung padat, sesi dimulai pukul 08.00 WITA dan berakhir pukul 22.00 WITA, 16 peserta mengaku puas, gembira, dan tertantang.
“Setelah pengakuan dosa atas ketidak sempurnaan saya praktek #PertanianAlami , saya banyak sekali bertukar pengetahuan dengan kawan-kawan yang lain selama 4 hari full. Ini seperti penyegaran diri dan menyuntik semangat baru untuk memperbaiki diri, merawat ekologi, dan menyajikan pangan sehat.” Timpal Wahid, Petani Alami asal Salassae.
/[RF]