Cilacap, Bina Desa – Lahan adalah luas tanah yang bisa dimanfaatkan untuk penunjang hidup atau kebutuhan mahluk hidup. Bagi sebagian besar orang, Lahan (atau Land) seringkali disamakan dengan tanah. Dalam kenyataannya, lahan tidak selalu berupa tanah, karena dapat mencakup rawa, danau, atau bahkan lautan.
Bagi masyarakat terutama para petani di Desa Rawaapu, Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap, lahan, merupakan sumber nafkah utama yang mereka gunakan untuk, tidak sekedar menyambung hidup, tetapi juga mewariskan sejarah bagi generasi mendatang. Pada bentang rumah-rumah jarang yang berdiri di Desa Rawaapu terdapat konflik agraria yang tengah diperjuangkan ratusan penduduk yang juga penggarap lahan pada lahan timbul Segara Anakan Patimuan. Secara serentak mereka menyerukan Reforma Agraria untuk pembebasan 750 Ha Lahan yang terdapat di Desa Rawaapu tersebut.
Ratusan penggarap lahan ini kemudian melaksanakan konsolidasi dan bincang aksi dalam bentuk kegiatan Seminar Reforma Agraria dengan tema Pencapaian Dalam Reforma Agraria yang dilaksanakan oleh Serikat Tani Mandiri (STAM) Cilacap yang juga jejaring Komunitas Swabina Pedesaan region Jawa Tengah Selatan dan Yogyakarta pada tanggal 16-17 Oktober 2021.
Seminar dihadiri oleh Dewi Kartika selaku Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria; Iwan Nurdin selaku Dewan Direksi Lokataru; Slamet Nurhadi selaku Kepala Bidang Advokasi Bina Desa; Romelan S.Sy. selaku perwakilan Anggota Legislatif; Drs. Heroe Harjanto, MM dan Akhmad Suharyo S.IP, M.Si selaku perwakilan dari Disperkimta Cilacap; Saqimin, A. PTNH selaku Kepala divisi Penataan dan Pemberdayaan ATR/BPN Cilacap; serta turut hadir juga 2 Kepala Desa dari Bantar Wanareja dan Rawaapu.
Melalui Petrus Sugeng selaku Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) STAM Cilacap, dibeberkan hasil peta pemetaan wilayah yang turut dikerjakan oleh kawan-kawan KPA atas lahan yang ada di Desa Rawaapu. Masih menurut Mbah Sugeng, Sedikitnya terdapat 12.000 Ha yang masih dalam status sengketa, dan baru sekitar 2500 Ha yang masuk prioritas di tahun 2021. Hal ini menjadikan Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten dengan konflik agraria terbanyak di Provinsi Jawa Tengah.
Pihak yang bersengketa dengan petani diataranya Perhutani, PTPN, TNI, dan perusahaan swasta. Mbah Sugeng menambahkan, lahan sengketa terluas berada di kawasan tanah timbul yang terletak di Kecamatan Patimuan, Gandungmangu, Kampung Laut, Kawunganten, dan Bantarsari.
“Di lima kecamatan tersebut, ada 4500 hektar lahan yang disengketan antara masyarakat dengan Perhutani. Mereka mengklaim secara sepihak, meski saat petugas Perhutani pusat datang ke lokasi dan melihat langsung, mereka bingung karena dimana hutannya.” Ucap Mbah Sugeng.
Padahal berdasarkan UUPA 1960 tentang Reforma Agraria, warga berhak mengajukan sertifikat tanah yang sudah dikelola selama 22 tahun. Sedangkan warga Desa Rawaapu yang berada pada wilayah sengketa telah tinggal dan menggarap lahan secara turun-temurun sejak tahun 1980an.
Senada dengan Mbah Sugeng, Iwan Nurdin menjelaskan bahwa keberhasilan dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 86 tahun 2018 adalah Penetapan tentang lokasi tanah obyek Reforma Agraria (SK Tora) oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) bukan menjadi Perhutanan Sosial (PS).
Dalam penyelesaian sengketa lahan Dewi Kartika, menyampaikan bahwa desa Rawaapu Kec. Patimuan akan dijadikan sebagai pilot project tahun 2022 untuk Penyelesaian Konflik Agraria di Jawa Tengah karena data yang dimiliki Kelompok Tani Berkah desa Rawaapu dinilai sudah lengkap secara administrasi.
Secara turun temurun, petani sudah mengelola lahan tersebut. Petani mengubah rawa laguna menjadi lahan pertanian produktif. Karenanya, masyarakat meyakini pengajuan reforma agraria kali ini akan dikabulkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). [RF]