Bina Desa

Sekolah Kepemimpinan Feminis dan Perempuan Desa

Dialog berjalan dinamis peserta dan fasilitator banyak merumuskan terkait strategi dan pengalaman yang ternyata begitu kaya yang perlu diperkuat  secara bersama. (Foto : Gina Nurohmah/Bina Desa)

JAKARTA, BINADESA.ORG – Pada akhir Agustus lalu, Solidaritas Perempuan (SP) melakukan kunjungan ke Bina Desa dalam rangkaian kegiatan Sekolah Kepemimpinan Feminis (SKF). Para peserta diskusi terdiri dari peserta SKF yang terdiri dari 13 wilayah kerja SP berjumlah 32 orang dan peserta diskusi dari Bina Desa yaitu koordinator Bina Desa : Mardiah Basuni, Achmad Yakub, serta staf Bina Desa : Affan Firmansyah, John Pluto Sinulingga, dan Gina Nurohmah.

Solidaritas Perempuan menggagas Sekolah Kepemimpinan Feminis sebagai sebuah sistem kaderisasi gerakan untuk mendorong lahirnya kader-kader pemimpin feminis yang solid dan militan, serta berdaulat atas keputusan politiknya. Salah satu rangkaian dalam SKF ialah melakukan kunjungan ke berbagai organisasi untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan tentang strategi dan praktik perlawanan gerakan rakyat dalam merebut kedaulatan ekonomi dan politik. Demikian disampaikan oleh Dinda Nuur Anisa Yura, Koordinator Program Solidaritas Perempuan dalam pembukaan diskusi.

Koordinator Bina Desa yang juga Kepala Sekolah Pedesaan (SEPEDA), Mardiah Basuni menyampaikan tentang sejarah lahirnya Bina Desa tahun 1974 serta dinamika perjalanan hingga hari ini. Catatan pentingnya ialah musyawarah menjadi ruh dalam pendidikan yang dilakukan oleh Bina Desa. Lebih lanjut, Koordinator Bina Desa menyampaikan bahwa di Bina Desa ada SEPEDA (Sekolah Pedesaan) sebagai wadah pendidikan musyawarah yaitu pendidikan membangun kesadaran kritis. “Karena temuan-temuan di desa, sekarang kita lebih intensif pemberdayaan pada perempuan. Mereka sebagai sosok manusia harus mempunyai kesempatan yang sama” tegasnya.

Berbagai respon dari pesertapun beragam, misalnya Nurjannah, perwakilan dari SP Anging Mammiri (Makassar) menyampaikan bahwa sangat menarik dengan apa yang dipaparkan oleh Bina Desa, sebenarnya tujuan SP dan Bina Desa sama. Novia Etina, perwakilan SP Sebay Lampung bertanya terkait bagaimana menumbuhkan inisiatif di wilayah pengorganisasian?.

John Pluto Sinulingga menjelaskan terkait pengalaman pelaksanaan NLKnya SPPB. (Foto : Gina Nurohmah/Bina Desa)

Sebagai bentuk jawaban untuk menumbuhkan inisiatif perorganisasian, John Pluto Sinulingga berbagi pengalaman tentang perjalanan SPPB (Sauyunan Perempuan Petani Binangkit) dari proses awal terbentuk hingga mampu berproses mengadvokasi dirinya sendiri ke kepala desa dan kecamatan, dengan mempresentasikan hasil karya SPPB, yaitu NLK. Nalungtik Lembur Kuring atau NLK sendiri bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia kurang lebih artinya meneliti kampung sendiri (saya). Dalam penggorganisasian setidaknya ada tiga strategi : (1) Berawal dari sendiri, bahwa kita tidak memposisikan diri yang lebih tinggi dari mereka, (2) Persoalan mindset atau pola pikir, (3) Menjawab pertanyaan ‘untuk apa kita berorganisasi?’ ‘mau apa kita berorganisasi?’. “Proses tersebut didiskusikan berulang-ulang, bagaimana organisasi harus bermanfaat untuk mereka dan bagaimana organisasi itu juga mampu membawa kepercayaan diri mereka” tegas John Pluto Sinulingga.

Achmad Yakub, Koordinator Bina Desa menambahkan bahwa dalam prosesnya terdapat tahapan-tahapan untuk perempuan dapat mengadvokasi dirinya sendiri. Sebagai langkah awalnya ialah menumbuhkan kepercayaan diri. Dalam pertemuan perempuan dapat berbicara (memperkenalkan dirinya sendiri dengan baik) itu sudah menjadi sebuah keberhasilan di awal. “Hal penting yang perlu disadari bersama ialah kita tidak datang ke desa membawa masalah, tetapi kita merumuskan masalah di desa dan menemukannya di sana. Advokasi bukan memberikan solusi, Bina Desa hanya sebagai pelancar musyawarah” tegas Yakub.

Penutup diskusi disampaikan oleh Mardiah Basuni bahwa, “Landasan dalam melakukan penguatan di wilayah komunitas harus berangkat dari realitas masalah desa. Musyawarah menjadi jalan untuk menemukan secara bersama-sama realitas masalah di desa, lalu terbentuklah kesadaran transformatif dan humanisasi. Penting juga memperkenalkan kebijakan-kebijakan, terutama tentang petani dan masyarakat, misalnya UU Desa, BUMDES, tata kelola desa, peran perempuan, kebijakan perlintandayan, dan lain halnya”. (bd031)

Scroll to Top