Betapa luas perkebunan sawit di indonesia dan di dunia, namun seberapa besar kesejahteraan rakyat yang diberikan oleh sektor ini? Sangat sedikit kalau tak boleh dikatakan sebaliknya, bisnis industri minyak sawit kerap memperparah kemiskinan yang ada.
[dropcap]B[/dropcap]ina Desa—Jakarta: Industri sawit telah menghambat kemungkinan reforma agraria. Negara di mana ekspansi sawit memasuki wilayah mereka, di sana pula rencana dan kemungkinan pembaharuan agraria tesendat, bahkan tak jarang macet total. Bayangkan saja pemerintah indonesia selama ini menjanjikan distribusi 9 juta hektar tanah untuk petani penggarap—hampir tak pernah terwujud, tapi kenyataanya negara bisa menyediakan lahan untuk perkebunan sawit dengan jumlah yang sangat luas, hampir 13 jt hekatar lahan sawit saat ini ada di indonesia. Faktanya master plan percepatan ekonomi MP3EI juga tetap memprioritaskan sawit untuk koridor Sumatera.
Siapa yang tak kenal minyak sawit, siapa yang tak menikmati dan betapa mudahnya hal itu untuk konsumsi dan produksi makanan sampai hari ini. Tapi siapa sangka, lantaran kalah gencar dari iklan di media baik minyak sawit mau pun iklan produksi pangan olahan, telah menutup mata sebagian besar orang dari dampak dan bahaya Sawit untuk keberlanjutan alam dan kesejahteraan manusia terutama mereka yang tanahnya dicerabut untuk kepentingan perkebunan sawit.
Saat ini perkebunan sawit mulai mengalami fase krisis di indonesia. Mereka ingin mengalihkan investasinya ke belahan negara lain. Ekspansi luar biasa besar pun sedang berlangsung di kawasan-kawasan baru, mengejutkan bahwa tak sedikit dari investasi tersebut pemilik modalnya berasal dari perusahaan Indonesia. Tak pelak di beberapa negara Afrika dan Asia, kelompok aktivis kemanusiaanya mulai menelisik keberadaan dan skema bisnis para taipan Indonesia tersebut.
Wacana tersebut mengemuka dalam diskusi terbatas antara GRAIN Indonesia, Bina Desa, IHCS (Indonesian Human Right Committee for Social Justice), IGJ (Indonesia for Global Justice) dan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) di sekertariat Bina Desa beberapa waktu lalu (29/10)
Kartini, Koordiantor GRAIN Indonesia dalam presentasinya mengungkapkan, riset terakhir Grain tentang sawit sedang difokuskan di Afrika Barat dan Tengah. Idenya awalnya, jelas Kartini, adalah melihat bagaimana model perlawan di indoensia sebagai kerangka kedaulatan pangan dan reforma agraria—tapi sekligus membuat kampanye perlawanan global. Saling bersolidaritas di tingkat regional untuk melawan ekspansi sawit yang tengah memulai babak baru perampasan tanah (land grabb) di beberapa belahan dunia Afrika dan Asia.
“Sejak 2008 kita fokus kerja dan menganalisa bagaimana pola perampasan tanah berlangsung. Mulanya tak sekedar soal sawit, melainkan intinya kita mau melihat konteks perampasan tanah oleh minyak di seluruh dunia. Ketidakadilan berlangsung di mana-mana.” Jelas Kartini.
Kelapa sawit sendiri mengingat nilainya yang tinggi, menjadi komoditas unggulan di sektor perkebunan yang banyak menarik investor.
Ekspansi Perkebunan Sawit sejauh ini harus dipahami—termasuk mengapa terjadi peningkatan luar biasa produksi kelapa sawit di dunia, salah satu sebabnya, disebabkan perjanjian perdagangan bebas (FTAs). Selain itu fakta bahwa Sawit telah memproduksi dengan cepan dan melimpah produksi minyak sebagai bagian dari komoditas industri makanan yang sangat murah. Kedua hal itu meningkatkan dengan cepat permintaan akan sawit dan membuka wilayah investasi lahan sawit di dunia.
“Sebutlah sejak 1995 India telah membuka impor yang sangat besar untuk sawit. Di mana hal itu telah memaksa banyak produsen minyak kopra bunuh diri dan tata pangan mereka hancur. Tak hanya Indisa, termasuk cina juga mulai membuka pasar minyak sawit dengan besa-besaran pada tahun 2000 dan Uni Eropa pada 2003.” Papar Kartini.
Meluasnya ekspansi perkebunan sawit juga terdorong oleh proses globalisai pangan , seperti restoran cepat saji, makanan kemasan, semua itu telah menaikan produksi makanan yang membutuhkan begitu banyak minyak. Dan minyak sawit adalah sumber minyak yang murah untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Hal itu bisa dikatakan sebagai konteks makro globalisasi perusahaan minyak sawit dunia.
BANALITAS INVESTASI
Namun selain besarnya kebutuhan dan permintaan akan minyak sawit, harus dipahami besarnya nilai investasi di sektor ini. Paska 1998 misalnya banyak sekali investasi yang mengalihkan dananya ke sektor perkebunan sawit atau perkebunan besar yang lainnya. Sebutlah ada Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas), Vincent Bollore (Bollore Group), FELDA, Miguel Facusse (Dinant), Bruce Wrobel (Herakles Farms), CARGILL, Micheal Frayne (Wquatorial)
“Ada aliran investasi besar-besaran yang telah menciptakan bank tanah dan inilah persoalannya.” Tegas Kartini. “Seorang pengusaha berinvestasi di Siangapura, bisa jadi dia tak pernah tahu soal produksi dan lainnya, tapi dia membeli tanah-tanah dan kemudian menjual sahamnya di pasar uang untuk menarik lebih banyak keuntungan melalui jual investasi tanah untuk perkebunan sawit.” Imbuhnya.
“Perusahaan seperti FELDA ternyata adalah BUMN. Dia pun menjual aset untuk mendapatkan uang. Proses demikian berlangsung dengan mengambil alih banyak sekali tanah rakyat dan komunitas adat di seluruh dunia.”
Sebagai contoh, salah satu perusahaan besar (Siva’s) di India, telah mengalihkan investasinya dari media ke perkebunan. Mereka tak semuanya sungguh-sungguh berbisnis produksi atau benar-benar mengolah sawit. Tapi mereka memainkan banyak struktur perkebunan yang komplek dan rumit sehinggga mereka terus menarik keuntungan yang luar bisa besar sementara kita sulit sekali melacak untuk tahu persis siapa pemilik sebenarnya, dari mana sumber dananya, berapa pajaknya, struktur perkebunannya seperti apa dan yang lainnya.
Selain itu banyak sekali perusahaan sawit yang bekerjasama dengan kalangan militer dan politisi lokal untuk mempermudah proses pengambil alihan tanah. Di tempat lain banyak masyarakat yang tidak bisa baca tulis, dengan cap jempol rakyat, perusahaan telah mengambil banyak sekali tanah—ironisnya tanah itu tak sepenuhnya untuk produksi minyak melainkan dijual ke perusahaan yang lebih besar lagi untuk mendapat lebih banyak dan lebih mudah keuntungan secara praktis. “itu cuci uang.” ujar Kartini.
Ada hubungan yang sangat erat soal bagaimana izin-izin yang diurus untuk loging, tapi setelah hutannya bersih mereka menanami sawit. Hasil penelitian GRAIN misalnya menyebut salah satu perusahaan indonesia memiliki kurang lebih 2, 6 M izin atas konsesi hutan yang tersebar di Kalimantan sejak masa Orde Baru, sekarang mereka banyak menjual izinnya ke perusahaan-perusahaan minyak besar dunia untuk beroperasi dan meraka sendiri mendapat keuntungan yang lebih praktis dari praktek tersebut.
KORUPSI DAN CUCI UANG
Sawit telah menciptakan korupsi dan cuci uang. Misalnya di Kongo, perusahaan sawit memiliki lahan di banyak areal non pajak, pemilik atas aset tersebut berada di Brunei dan dengan mudah para pemilik sahamnya menarik keuntungan dari obligasi yang dihasilkan.
Di Liberia para taipan minyak sawit menguasai hampir sebagian besar tanah di Liberia, mereka menjual 3 juta dollar sahamnya di bursa saham dan telah dibeli oleh perusahaan sawit. Dan tak pernah ada yang tahu siapa pemlik sesungguhnya. Mereka pun tak benar-benar berpoduksi. Mereka mengeksploitasi dengan cara yang sangat berlebihan dan memsikinkan.
“Proses monokultur sama sekali tak ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan masayrakat. Perkebunan semacam itu didesain untuk produksi industri. Misalnya di Buol, Sulawesi, ribuan hektar tanah beralih dari sawah ke perkebunan sawit. Begitu juga di Medan dan Aceh.” Jelas Kartini.
Model pertanian kelapa sawit adalah model pertanian yang tidak melibatkan banyak orang. Dia hanya berkonsterasi pada beberapa orang saja dan telah mengeksploitasi SDA (sumber daya alam) dan SDM (sumber daya manusia). Penelitian Grain menyebutkan beberapa peta ekspansi baru penguasaan lahan sawit global: Afrika 60 konsesi dengan 3.5 juta ha lahan. Papua 18 konsesi, 2 juta hekatar lahan. Colombia 450, 000 ha.
PEMBAHARUAN AGRARIA TERSENDAT
Fenomena sawit dan model usahanya yang ekspansif dan eksploitaitf telah membuka peluang bagi kian rumitnya pembaharuan agraria. Kenyataanya di belahan dunia yang lain banyak sekali peran militer dalam perluasan ekploitasi dan perampasan tanah untuk perusahaan sawit. Lagi pula tanah-tanah perkebunan itu semestinya menjadi objek land reform dalam proses reforma agraria. Tapi yang terjadi objek reform itu telah dimanfaatkan dengan ekploitatif oleh kepentingan sawit yang hanya dimiliki segelintir pemilik saham saja.
Ironisnya, sekarang banyak sekali upaya-upaya pemulihan kerusakan kawasan hutan dan perkebunan dengan skema seperti landscapeREDD yang kenyataanya justeru makin menguatkan hegemoni perusahaan untuk melakukan konsesi dengan pemerintah atas nama REDD. Padahal proses itu telah menjauhkan rakyat dari akses dan kontrolnya terhadap tanah dan sumberdaya hutan dan perkebunan.
Model dan cara industri sawit meraih keuntungan telah membuat persaingan yang luar biasa dan telah membunuh industri minyak yang lain. Contoh di India, bagaimana pengolah minyak kelapa banyak bunuh diri karena usahanya habis setelah India mengimpor besar-besaran minyak sawit.
“Pemerintah juga hampir tak pernah memberikan dukungan pada usaha minyak lain selain minyak sawit. Mereka telah mematikan kreatifitas ekonomi yang lainnya di beberapa negara.”
Selain itu negosiasi antara perusahaan dan komunitas selalui timpang sementara keberpihakan negara sangat lemah dalam membela kepentingan komunitas.Bagaimana kita membuat policy untuk menguatkan posisi komunitas dalam proses negosiasi dengan ekspansi bisnis sawit? Namun selain pertanyaan itu mengemuka dalam akhir diskusi, wacana lain juga berkembang. Karenanya selain mengadvokasi komunitas, soal ekspansi sawit global juga harus dilihat sebagai mekanisme investasi global, dan transparasni anggaran. “1 hektar selama 25 tahun kontrakynya Cuma Rp. 700 ribu. Itu kenyataanya.” Ujar Khadafi dari Bina Desa.
“Selama ini izin sawit minimal 20 h. Di satu daerah bisa sampai 200 hektar untuk izin sawit. Otonomi daerah dalam beberapa hal telah mempermudah hal tersebut. Ironisnya 60 persen perusahaan sawit tak punya izin HGU. Sebagian besar dari mereka hanya punya izin ‘prinsip’, tapi mereka seakan sudah memiliki hak milik. Konskuensinya, dengan tiadanya izin HGU maka negara dirugikan karena tidak ada pemasukan pajak.” Imbuh Yaqub dari Bina Desa.
“Di india 1 orang setiap setengah jam bunuh diri karena kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan oleh ekspansi sawit yang mematikan petani kelapa di india; dan bahkan petani bunga matahari di Eropa mengalami krisis yang sama parahnya.” Refleksi Yaqub.
Sementara itu Rika Febri dari IGJ juga menyoroti bagaima kontkes perdagangan global dalam bisnis sawit. Menurutnya, sawit masuk melalui investasi bilateral di mana negara melindungi secara penuh investasi yang masuk.
“Soal sawit juga masuk ke produk priorritas dalam perjanjian perdagangan global. Hal mana telah gagal dinegosiasikan dalam APEC, tapi pemerintah indonesia menegosiasikannya ulang melalui CEPA (perjanjian perdagangan Indonesia-Uni Eropa).“ ujar Rika Febri.
Di akhir diskusi Kartini mempertanyakan hal faktual, MP3EI tetap memprioritaskan sawit untuk koridor Sumatera. Lalu bagaimana? (SC*)
For more info and media brief pleas contact:
Kartini S (GRAIN Indonesia)
: 0813 1476 1305
Acmad Yaqub (BINA DESA)
: 0817712347
Rika Febri (Indonesia for Global Justice)
: 08567931811
Dewi Kartika (Konsorsium Pembaruan Agraria)
: 081394475484