“Gerakan itu kebahagiaan bagi saya, berorganisasi dan bergerak itu mengenalkan saya pada teman – teman baru, pengalaman baru, dan pengetahuan baru, dengan itu kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi banyak orang” Sartini Aisyah ( Inisiator Taman Baca dan Kelompok Wanita Tani (KWT) Makmur, Karang Anyar)
Dari Ibu Sartini, dan tentu saja perempuan lainnya juga saya belajar bahwa gerakan itu bukan hanya dari teori gerakan atau yel–yel revolusi di pendidikan tinggi tetapi gerakan itu muncul dengan sederhana dari akar rumput yang tumbuh dari rasa peduli dan empati.
Sartini Aisyah lahir di Karanganyar pada 17 April 1979 dari keluarga petani sederhana di Desa Jatipuro, Karanganyar. Sartini, menikah pada usia 21 tahun dengan teman akrab kakaknya dan saat ini telah dikaruniai tiga orang anak yang masih sekolah. Setiap pagi Sartini berjualan sarapan di depan rumahnya mulai dari bubur, nasi, lauk pauk dan kue–kue yang bukan hanya buatan sendiri tetapi juga titipan dari para anggota KWT Makmur dan tetangga lainnya. Untuk menambah pendapatan sampingan para anggota kelompok, mereka menyepakati untuk berjualan aneka makanan dan kue setiap pagi hari di depan rumah Sartini. Tidak banyak keuntungan yang didapat dari hasil berjualan, tetapi cukup untuk menambah pengha-silan sebagai sumber pendapatan sampingan para anggota KWT Makmur. Disisi lain dengan usaha ini dapat menjadi aktifitas yang bermanfaat bagi Sartini.
Sartini tinggal bersama anaknya yang paling bungsu sedangkan suaminya bekerja diluar kota sementara kedua anaknya sedang belajar di salah satu pondok pesantren. Aktivitas harian Sartini cukup padat, mulai dari membersihkan rumah, mencuci, mengolah bahan pangan, menghadiri kegiatan–kegiatan organisasi dan mengajar di sore harinya.
Masa perantauan Sartini dimulai saat memasuki usia remaja (13 tahun) dan bekerja di Kalimantan Selatan dengan “ikut” pada kakaknya selepas menamatkan pendidikan Sekolah Dasar. Kekhawatiran kedua orangtuanya menyurutkan langkah Sartini untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Sebagai anak bungsu, orang tua Sartini sangat berharap agar Sartini tidak merantau seperti para kakaknya. Hal ini dimaksudkan agar kelak tua nanti ada yang menemani dan menjaga orang tua Sartini.
Sakit yang dialami selama di Kalimantan Selatan memaksa Sartini untuk kembali pulang ke Jawa. Kemudian tidak berapa lama ia memutuskan kembali merantau ke Jakarta. Nah, di Jakarta inilah Sartini berkenalan dengan dunia organisasi. Saat bekerja di Jakarta sebagai pedagang jamu gendongan ia rutin mengikuti pengajian-pengajian yang kemudian mulai terlibat dalam Yayasan Dakwah dan menjadi pengajar di salah satu PAUD/TK di Jakarta. Selama beberapa tahun terlibat, Sartini mulai terbiasa dan menyukai aktivitasnya dalam berjaringan dan berorganisasi. Bagi Sartini ada kebahagiaan tersendiri saat bergerak, berorganisasi, mengikuti seminar, mengenal orang baru dan dapat pengetahuan baru.
Sartini kemudian kembali ke Desa karena usia dan kesehatan kedua orangtuanya yang perlu perhatian khusus. Tidak lama kemudian Sartini menikah dan memutuskan untuk menetap di Jatipuro, sedangkan suami Sartini tetap bekerja di luar kota. Untuk mengisi kegiatan, ditambah dengan kegelisahan hati saat melihat kondisi anak–anak Dusun Jatipuro yang sangat rentan terjerumus pada hal–hal negatif, maka pada tahun 1997, Sartini kemudian membuka Taman Baca Anak dan Belajar di depan rumahnya. Belakangan Taman Baca dan Belajar juga diadakan di dusun–dusun lainnya. Taman Baca yag didirikan Sartini bukan hanya memiliki aktivitas membaca, tetapi juga kegiatan belajar mengaji dan belajar agama. Untuk membantu aktivitasnya, ia melibatkan para remaja di desa tersebut untuk membantunya mengajar.
Pada tahun 2013 Sartini juga menginisiasi terbentuknya Kelompok Wanita Tani (KWT) Makmur sebagai wadah untuk pengolahan bahan pangan khususnya pada singkong yang banyak terdapat di Desa Jatipuro. Bersama dengan beberapa perempuan yang juga tetangganya, ia memulai industri rumah tangga dengan mengolah singkong menjadi tepung mocaf. Tepung mocaf kemudian diolah dan diproduksi kembali menjadi makanan ringan seperti cookies dan egg roll. Hasil dari keuntungan penjualan akan dibagi dan disimpan ke koperasi yang juga dikelola KWT Makmur.
Dalam mengorganisir kelompok KWT Makmur Sartini juga menemukan beberapa hambatan seperti kurangnya inisiatif dalam pembagian pekerjaan dan kurangnya dukungan/perhatian desa terkait Usaha Kecil Mikro/Menengah (UKM). Selain olahan singkong dan mocaf, bersama KWT Makmur, Sartini juga melakukan usaha pembibitan. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat dapat menghemat pengeluaran rumah tangga, misalnya melalui bibit cabai atau sayuran pekarangan lain.
Aktivitas dan peran Sartini di desa tidak lantas membuat Sartini merasa pongah dan ingin memanfaatkannya dengan berlebihan, seperti menjadi Kepala Desa atau Anggota Legislatif dari partai.
“Saya tidak mau orang-orang mengira mengapa saya aktif karena ujung-ujungnya mau jadi caleg atau kades, pokoknya saya senang ketemu sama orang dan yang lain, saya sudah suka dan senang” tutur Sartini.
Meski terlihat tenang, Sartini pernah meradang ketika di Desanya melangsungkan acara MusRem-BangDes. Setelah diundang Kepala Dusun, Sartini merasa bahwa kehadirannya menjadi sia-sia dan tidak membawa apapun seperti yang ia khawatirkan sebelumnya. Ini karena semua program yang disampaikan di MusRemBangDes telah rampung direncanakan dan proses diskusi yang terjadi hanya formalitas saja.
“Pada saat musrembangdes, saya pernah diundang untuk hadir, tetapi yang mengundang saya bukan dari pihak desanya langsung, tapi dari kepala dusun. Saat datang pun, tidak ada gunanya, semua sudah dirancang di desa, dan disini tidak ada musyawarah dusun, biasanya hanya para tokoh–tokohnya yang dipanggil lalu musyawarah di desa” tegas Sartini.
Padahal tidak sedikit hal – hal yang telah dilakukan Sartini, bukan hanya kegiatan kelompok tani, taman baca, Sartini juga pernah melakukan gerakan kolektif Qurban dalam bentuk arisan Qurban sehingga lebih banyak orang yang dapat merasakan manfaatnya.
Ada cerita menarik dari Sartini ketika perempuan ini dihadapkan pada budaya yang tanpa sadar mendiskriminasikan perempuan, yaitu saat dusun Jatipuro sedang mengadakan rapat terkait tradisi Mbladahan. Tradisi Mbladahan adalah sebuah tradisi unik yang juga menjadi salah satu syarat dalam melangsungkan acara atau hajatan pernikahan, tradisi ini juga diyakini sebagai salah satu media/ajang silaturahmi dan menjaga kerukunan antar warga sejak dulu. Mbladahan dapat berupa gotong royong yang dilakukan oleh seluruh penduduk baik laki–laki maupun perempuan dalam membantu tuan rumah pemilik hajatan misalnya dalam membersihkan rumah atau lingkungan hajatan atau membuka pintu untuk pertama kali, sebagai simbol rasa hormat dalam menyambut para tamu.
Mbladahan merupakan sebuah tradisi gotong royong yang harus terus dilestarikan. Namun dalam perjalanannya tradisi juga melahirkan sebuah kebijakan yang cenderung diskriminatif dan kurang adil. Dimana mulai diberlakukannya system pembayaran denda untuk warga yang tidak dapat hadir dalam kegiatan ini. Pembayaran denda dikenakan sebesar Rp. 70.000 untuk setiap kepala keluarga (laki–laki) yang tidak dapat hadir dan Rp. 25.000–30.000 untuk setiap anak muda anggota karang taruna. Sehingga bukan tidak mungkin dalam satu keluarga dapat dikenakan denda yang berlipat dan memberatkan ekonomi keluarga.
Saat itu Sartini menyampaikan pendapatnya terkait pengenaan denda bagi para janda terutama yang suaminya telah meninggal. Kepekaannya terusik dan melihat bahwa kebijakan dipandang tidak adil dan memberatkan. Bagaimana mungkin suami yang telah meninggal dikenakan denda, padahal kita tahu semua orang pasti tidak tahu kapan akan mennggal. Namun saat itu, suara Sartini tidak didengar karena dianggap lebih muda. Para orang tua yang hadir waktu itu menganggap bahwa tradisi Mbladahan adalah sebuah tradisi turun–temurun dari para orang tua terdahulu, dan pengenaan denda juga bertujuan untuk melestarikan tradisi tersebut. Yang menjadi keprihatinan mendalam bagi Sartini bukan hanya karena usulnya ditolak, dalam upaya untuk menyuarakan dan memprotes kebijakan yang bias gender ini juga tidak didukung oleh perempuan Dusun Jatipuro.
Kecintaan Sartini terhadap gerakan membuat Sartini sadar bahwa tidak semua gerakan yang dilakukan akan berjalan dengan baik atau selalu mendapatkan respon positif. Sartini justru bersyukur selama ini aktifitas dan gerakan yang dilakukannya tidak pernah ada yang melarang atau mencoba untuk menghalang. Sartini percaya bahwa segala sesuatu yang kita senangi tentu akan menjadi momen yang paling menyenangkan karena dapat berkumpul dan berbagi ilmu atau pengalaman. Tentu saja proses tidak menghianati hasil, berkat keaktifan dan konsistensi Sartini terpilih menjadi Ketua Majelis Muslimuah Istiqomah pada tahun 2015 dan Januari 2019 lalu Sartini juga terpilih menjadi salah satu perempuan pejuang pangan yang diselenggarakan oleh OXFAM.
“berorganisasi dan bergerak itu mengenalkan saya pada teman–teman baru, pengalaman baru, dan pengetahuan baru, dengan itu kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi banyak orang”, kata penutup dari Sartini.
*Tulisan ini merupakan kumpulan tulisan dalam Profiling Perempuan Mahardika – Dokumentasi Bina Desa 2019
**Artikel ini ditulis oleh Reni Andriani