Upaya pengentasan kemiskinan oleh pemerintah rupanya seperti istilah jauh panggang dari api. Anggaran untuk pengentasan kemiskinan terus naik setiap tahunnya, namun penurunan angka kemiskinan justeru tidak signifikan, kalau tidak boleh di sebut justeru kantong-kantong kemiskinan makin meluas di desa-desa. Sementara ditengah sebagian besar orang miskin di sektor pertanian pedesaan berpendidikan rendah dan juga berketrampilan rendah, pendekatan food estate dengan pendekatan padat modal dan teknologi justeru menjadi kebijakan yang dipilih pemerintah. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Kenyataan bahwa si miskin adalah mereka yang berada di timur, di desa dan di sektor pertanian. Dengan demikian, seharusnya strategi pengentasan kemiskinan fokus pada pembangunan perdesaan dan pembangunan sektor pertanian karena Indonesia menghadapi masalah pangan dan masalah kemiskinan. Apalagi data menunjukkan pembangunan sektor pertanian belum maksimal bahkan ada kecenderungan melambat sehingga porsi sektor pertanian terhadap PDB terus menurun dari 40% (1969), menjadi 10,7% (2003) dan 9% (2007).
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pendekatan pembangunan yang harus dilakukan di sektor pertanian? Apakah membangun pertanian dengan basis pertanian rakyat atau korporasi? Bila sebagian besar orang miskin di sektor pertanian berpendidikan rendah dan berketrampilan rendah maka pendekatan food estate dengan pendekatan padat modal dan teknologi, seharusnya bukan menjadi pilihan. Pemerintah harus mendorong pendekatan pertanian rakyat. Sayangnya percepatan pembangunan pertanian dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) justru mengedepankan pembangunan pertanian lewat food estate, contohnya yang telah dimulai di wilayah Papua.
Jauh anggaran dari pengentasan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Menko Kesra, anggaran untuk pengentasan warga dari kemiskinan naik setiap tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, misalnya, anggaran kemiskinan sekitar Rp 16,7 triliun, tahun berikutnya naik menjadi Rp 23 triliun, dan tahun 2006 naik menjadi Rp 42 triliun. Tahun berikutnya berturut-turut naik menjadi Rp 51 triliun (2007), Rp 63 triliun (2008), Rp 66 triliun (2009), dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun.
Namun, lonjakan anggaran ini tidak disertai dengan penurunan angka kemiskinan yang signifikan. Jumlah penduduk miskin pada kurun waktu yang sama 16,7 persen (2004), lalu turun menjadi 16 persen (2005), naik lagi menjadi 17,8 persen (2006), kemudian turun 16,6 persen (2007), 15,4 persen (2008), 14,2 persen (2009), dan terakhir sekitar 13,3 persen (2010).
Penurunan ini jauh sangat lambat dibandingkan dengan China. Tahun 1990, jika menggunakan angka kemiskinan absolut 1 dollar AS per kapita per hari, saat itu di China jumlahnya 31 persen, sedangkan di Indonesia ”hanya” 26 persen. Kini angka kemiskinan absolut di China tinggal 6,1 persen, sedangkan di Indonesia 5,9 persen. Bisa dikatakan, kini hampir sama 6 persen, tetapi China bergerak dari angka kemiskinan absolut yang jauh lebih tinggi. Jika menggunakan patokan 2 dollar AS per hari, penurunan angka kemiskinan di China lebih pesat lagi, yakni dari 70 persen menjadi 21 persen, sedangkan di Indonesia dari 71 persen menjadi 42 persen. Apa yang terjadi?
Kesalahan Cara Pandang
Kegagalan pemerintah dalam menghapuskan kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor seperti kesalahan cara pandang yang digunakan dalam mendekatai realitas kemiskinan di mana selama ini pengentasan kemiskinan tidak terintegrasi dengan strategi pembangunan nasional. Seolah strategi pembangunan ekonomi ada pada satu sisi, terpisah dari strategi pengentasan kemiskinan yang ada pada sisi yang lain..
Menurut ekonom dari ECONIT Advisory Group, Hendri Saparini, Ph.D menyebut ada beberapa faktor Pertama, kesalahan cara pandang pemerintah atas upaya pengentasan kemiskinan. Selama ini pengentasan kemiskinan lebih dipahami sebagai “program pengentasan kemiskinan”, bukan “strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan”. Ada perbedaan yang sangat mendasar dari keduanya. Yang pertama adalah seperangkat program yang disiapkan khusus untuk orang miskin. Sedangkan yang kedua adalah satu set strategi dan kebijakan ekonomi yang harus dilakukan agar kebijakan pemerintah tidak kontraproduktif terhadap pembangunan ekonomi dan upaya pengentasan kemiskinan.
Kesalahan cara pandang inilah yang mengakibatkan langkah kebijakan pemerintah terfokus pada penyiapan dana untuk berbagai “program bagi orang miskin”, baik dana yang berasal dari APBN dan/atau dana-dana swasta seperti CSR, dll. Dengan paradigma ini, orang miskin yang perlu beras akan dibagikan Raskin. Tidak peduli bahwa yang menerima Raskin tersebut adalah orang miskin yang juga petani. Yakni kelompok orang yang sebenarnya justru dapat ikut menyelesaikan masalah dengan meningkatkan produski. Seolah tidak ada cara untuk mengentaskan petani miskin kecuali dengan memberikan Raskin.
Kesalahan dalam cara pandang juga mengakibatkan pengertian “pro poor budget” hanya diartikan secara sempit dengan “budget for the poor” atau berapa banyak APBN mengalokasikan anggaran untuk program bantuan kemiskinan. Dalam paradigma ini, peningkatan alokasi anggaran kemiskinan APBN bahkan dapat dinilai sebagai sebuah keberhasilan dalam pengentasan kemiskinan. Meskipun pada saat yang sama banyak kebijakan pemerintah yang kontraproduktif terhadap pengentasan kemiskinan atau upaya perbaikan kesejahteraan rakyat. Seperti misalnya liberalisasi pangan yang mendorong impor pangan dan akhirnya berdampak pada penurunan pendapatan petani. Pencabutan subsidi BBM dan listrik yang mengakibatkan produk UMKM tidak kompetitif dan menekan daya beli masyarakat bawah.
Kedua, kegagalan dalam melakukan pengentasan kemiskinan terjadi karena selama ini pengentasan kemiskinan tidak terintegrasi dengan strategi pembangunan nasional. Seolah strategi pembangunan ekonomi ada pada satu sisi, terpisah dari strategi pengentasan kemiskinan yang ada pada sisi yang lain. Padahal keduanya seharusnya terintegrasi sehingga perencanaan strategi pembangunan ekonomi haruslah merupakan strategi yang sekaligus menghilangkan kemiskinan dan tidak menciptakan kemiskinan baru. Akibat keterpisahan ini, sangat mungkin ekonomi tetap mengalami pertumbuhan relatif tinggi tetapi kemiskinan tetap tidak terselesaikan.
Ketiga, kegagalan dalam pengentasan kemiskinan terjadi karena orientasi pengentasan kemiskinan yang dilakukan sekadar upaya “mengentaskan orang miskin dari kubangan di bawah garis kemiskinan”. Bukan memberikan penguatan dan dukungan agar terjadi lompatan dan menjadi warga kelas menegah baru.
Keempat, penyebab kegagalan dalam pengentasan kemiskinan karena belum melakukan pembangunan secara komprehensif dan menempatkan variable karakteristik orang miskin serta karakteristik Indonesia sebagai variable penting dalam mengentaskan kemiskinan dan memajukan ekonomi.
Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, bahan pangan, dan penciptaan lapangan pekerjaan harus menjadi satu kesatuan yang terpadu dan sinergis. Untuk mewujudkan perubahan strategi dan kebijakan yang pro rakyat tentu akan memerlukan perubahan perundang-undangan dan peraturan, akan tetapi yang lebih mendasar adalah perlunya perubahan paradigma. “Pemerintah harus sepenuhnya mengadopsi paradigma yang sesuai dengan konstitusi dan meninggalkan paradigma neoliberalisme.” Pungkas Hendri Saparini.***(pubin bindes/ VIIX/sabiq/2012)