Bina Desa

Saat Petani Bicara Soal Impor Beras

Area persawahan di Desa Ciasihan yang memasuki panen pada akhir 2017 lalu (Foto : Bina Desa/Gina Nurohmah)

JAKARTA, BINADESA.ORG – Pemerintah kembali membuka keran impor beras ke Indonesia pada awal 2018. Secara resmi izin impor beras telah diterbitkan oleh Kementrian Perdagangan kepada Perum Bulog sebanyak 500.000 ton. Dilansir dari berbagai media, keputusan ini dibuat sebagai bentuk upaya pemerintah untuk menurunkan harga komoditas tersebut yang dalam beberapa waktu lalu mengalami kenaikan, di beberapa titik harga beras telah melebihi harga HET yang telah ditetapkan pemerintah untuk beras medium, yaitu 9.450/kg.

Hal ini membuat para petani geram terkait keputusan datangnya 500.000 ton beras pada akhir bulan januari ini. Sujarman misalnya, salah satu petani alami di Bantaeng sangat menyayangkan keputusan pemerintah, hal ini melukai hati para petani yang ada di desa-desa. Bahkan Sujarman yang menjadi ketua Serikat Petani Alami (SPA) Butta Toa Bantaeng mendatangi gudang Bulog di Lamalaka, Kab. Bantaeng untuk mendiskusikan masalah ketersediaan beras yang ada di Kabupaten Bantaeng pada rabu kemarin.

Menurutnya Kabupaten Bantaeng sendiri melakukan pengiriman beras ke beberapa provinsi sebanyak 300 ton pada tahun 2017 ke Aceh, Ambon, DKI, dan Bali. Pada tahun 2018 pun Bantaeng tidak perlu melakukan impor karena ketersediaan beras sekitar 1.063 ton. Ini disampaikan oleh Kepala Gudang Bulog Bantaeng M. Syaib Mansyur kepada perwakilan SPA Butta Toa Bantaeng yang mengunjungi Bulog.

Komunitas SPA Butta Toa Bantaeng sebagai generasi muda yang memang fokus mendorong pangan dan beras melalui pertanian alami untuk mewujudkan hasil pertanian yang berdaulat.

Persediaan beras di gudang Bulog Lamalaka, Kab. Bantaeng, saat SPA Butta Toa berkunjung ke Bulog pada rabu 17/01/18 (Foto : Bina Desa/Sujarman)

Senada dengan Sujarman, Afdhal dari Agam menyatakan bahwa tidak setuju dengan adanya impor beras tersebut karena kami masih panen dan akan panen tetapi dibilang kekurangan. “Jangan-jangan karna ada beras impor ini harga beras nantinya jadi turun. Kenapa pemerintah tidak pernah memihak kepada petani? Kenapa ketika beras naik mereka sibuk mengimpor beras untuk menstabilkan harga?” tuturnya dalam wawancara jarak jauh. Ia pun menegaskan bahwa di Agam sebenarnya stok beras masih banyak, karena kami petani di Agam kalau panen itu menyimpan padi di rumah untuk konsumsi hingga panen berikutnya, sisanya dijual. Afdhal aktif dalam Komunitas Petani Alami yang mendorong petani alami mandiri dan tanpa tergantung pada siapapun.

Adapun, Yanti dari Cianjur mengabarkan bahwa harga beras telah menyampai 10.000/liter dan mencapai 15.000/kg untuk daerah cianjur selatan. Menurutnya negara perlu hadir untuk menstabilkan harga beras karena petani kecil juga konsumen beras, tetapi jawabannya bukan berarti impor. Ia bersama dengan petani lainnya mengembangkan pertanian alami tetap menegaskan bahwa tetap tidak memerlukan beras impor-an dari luar. “Bahwa Indonesia yang mengagendakan swasembada pangan mengapa harus dijawab dengan impor” pungkas suyuti, petani alami Sulawesi Barat.

Para petani ini meyakini bahwa pertanian alami dapat diartikan sebagai suatu sistem pertanian yang holistik atau terpadu sehingga menghasilkan dan mengoptimalkan kesehatan dan produktifitas agroekosistem secara alami, yang pada gilirannya mampu menghasilkan pangan dan serat yang berkualitas dan berkelanjutan bahwa dengan bertani alami, petani berdaulat.# (bd031)

Scroll to Top