
BANTEN, BINADESA.ORG – Akhir September lalu telah dilaksanakan Rembug Rakyat Desa di Desa Warungbanten, salah satu rangkaian kegiatannya ialah dialog kedaulatan pangan, kedaulatan ekonomi politik, dan budaya tani. Sebagai moderator yaitu Koordinator Umum Bina Desa, Mardiah Basuni dan narasumbernya yaitu Sri Palupi, anggota Dewan Pembina Bina Desa, Suwarto Adi, Soetrisno, dan Ketua Dewan Pembina Bina Desa Francis Wahono.
Sri Palupi sebagai peneliti Institute Ecosoc menjelaskan tentang permakultur sebagai jalan kedaulatan pangan, permakultur didesain dengan meniru keadaan di alam dengan tujuan untuk keselarasan alam. Terdapat tiga etika permakultur dan dua belas prinsip dalam permakultur. Etika permakultur, yaitu (1) peduli pada bumi, (2) peduli pada warga, (3) kontribusi yang adil dan peduli pada masa depan. Menurut Wahono, Ketua Dewan Pembina Bina Desa menegaskan bahwa permakultur bukan bahan baru diluar pertanian alami, tetapi sebagai pelengkap dalam mendesain. “Saya rasa disini permakultur tidak bisa digunakan di level rumah tangga tapi di level komunitas dan desa”.

Budaya Tani
Lebih lanjut Francis Wahono mengajak peserta diskusi untuk memahami budaya sekitar, mengutip pernyataan Kuntjoroningrat bahwa terdapat tiga bentuk budaya, yaitu artifact, ide-ide, dan hubungan ide antara alam dan manusia yang terjadi. Tujuan dari permakultur dan lainnya adalah karena kita ingin berdialog, ketika kita memanusiakan lingkungan, pasti lingkungan akan memanusiakan kita. Selanjutnya dijelaskan bentuk-bentuk produk budaya, misalnya pisang menjadi pisang goreng itu merupakan produk utuh kebudayaan, leuit (lumbung : baca) itu kuno dan itu merupakan produk budaya artifak yang masih ada di Desa Warungbanten. “Budaya merupakan hasil ingatan yang diceritakan kepada anak-anak, padi tanpa ilmu akan hilang, ilmu tanpa padi tidak ada bukti” tegasnya.
Suwarto Adi, anggota Pembina Bina Desa menjelaskan terkait mewujudkan kedaulatan ekonomi rakyat, pertama memaparkan terkait perbandingan desa dulu dengan desa sekarang. Desa dulu, secara sistematik dimiskinkan oleh negara, seluruh mentalitas dan spritualitas dipinggirkan, setiap konsep dari desa dianggap kuno. Tetapi, desa sekarang dianggap memiliki kesempatan dengan membangun yang produktif, menumbuhkan prakarsa lokal, ada jaminan dari UU Desa untuk terus maju dan berubah. Disitulah perlu adanya institusi ekonomi untuk menjaga yang dibangun terus berkembang, yaitu diciptakannya lembaga ekonomi yang bertanggung jawab, salah satunya BUMDES. Menurutnya, masalah utama adalah politik pertanian di Indonesia. “Kita lebih mempertimbangkan pasar daripada rakyat, ada kompromi pengusaha dan penguasa untuk mencapai keuntungan masing-masing” pungkasnya dalam acara diskusi september lalu.
Sebagai penutup Soetrino menegaskan bahwa diskusi ini ada sebagian yang sangat konseptual, tapi juga ada sebagian yang menyentuh kebutuhan desa saat ini. Misalnya apa yang disebutkan mas warto pilihan antara koperasi dan bumdes, keduanya harus saling bersinergi dan lepas dari kepentingan pribadi. Kompromi antara dua badan ini harus bertujuan untuk kepentingan masyarakat umum. Pak wahono mengajak kita untuk memperhatikan budaya, hal ini sama persis dengan ketika pertama kali Bina Desa dibentuk, tujuan utamanya adalah peningkatan sumber daya manusia namun tidak boleh terlepas dari nilai-nilai budaya. Semoga ini bisa menjadi sumber diskusi nanti dengan tujuan untuk tidak saling meniadakan tapi untuk saling melengkapi. Seotrisno menyampaikan bahwa “Saya setuju dengan peserta dari gunungkidul yang mengatakan bahwa rembug semacam ini jangan hanya dilakukan sekali, saat ini saja dan hasilnya hanya untuk kita saja, Bina Desa harus bisa mengkoordinasikan kegiatan berikutnya dan hasilnya bisa digunakan untuk mendorong hal-hal lain di luar”. (bd031)