Proyek rekalamasi yang dilakukan pemerintah tidak hanya dinilai rawan korupsi, dampak negative yang paling nyata adalah terampasnya hak kelola nelayan tradisional; hilangnya asset dan kontrol sumberdaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan yang selama ini sudah terpuruk.
Dari data yang berhasil dihimpun gerakan Gerakan Rakyat Anti Reklamasi Pesisir Pantai Indonesia menunjukan, di Jakarta misalnya, kegiatan reklamasi pantai Utara Jakarta seluas 2.700 ha—menelan biaya sebesar Rp. 3.499 triliyun atau USD 350 milyar. Sedang, nilai ekonomis yang dihasilkan jauh lebih rendah dan tidak memberi manfaat, yakni hanya sebesar Rp 572 triliyun atau USD 57 milyar.
“Dampak sosial ekonomi yang paling terasa dari proyek rekalamasi ini adalah intimidasi dan pengusiran terhadap nelayan di seluruh wilayah yang terkena proyek reklamasi. Alih-alih para keluarga nelayan mendapatkan perlindungan negara untuk mampu melakukan adaptasi dan mitigasi iklim maupun ancaman bencana pesisir lainnya. Justru sebaliknya, nelayan tradisional tergusur dari sumber-sumber kehidupan dan hilangnya akses nelayan melaut—berujung pada meningkatnya kantong-kantong kemiskinan di kawasan kota-kota pesisir.”, kata Riza Damanik dari KIARA.
Salah satu contoh teraktual, masih menurut Riza terjadi di Sulawesi Tengah. Praktek reklamasi yang dimulai sejak tahun 2002 di 10 titik lokasi yang tersebar di wilayah pesisir kabupaten dan kota, telah menggusur lebih dari 50 KK per hektarnya.
Riza Damanik menilai situasi tersebut menunjukan bahwa pemerintah saat ini tidak mempunyai kepedulian akan masa depan lingkungan pesisir dan kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut.
“Sikap pembiaraan pemerintah terhadap pelaku kejahatan lingkungan di perairan pesisir makin sering terjadi. Pencemaran limbah di pesisir kota terus terjadi secara masif dan tidak pernah ditanggunglangi secara secara serius.” Ujarnya.
Dalam catatan KIARA, terang Riza, sedikitnya 23.281.799 ha perairan di Indonesia terpapar limbah yang memicu matinya biota laut dan hilangnya ikan. Hal ini diperparah dengan kerusakan hutan bakau yang terjadi hampir di semua pesisir, dan berdampak pada sulitnya nelayan untuk mendapatkan hasil tangkap yang maksimal.
Reklamasi pantai yang merugikan rakyat
Dalam 10 tahun terakhir kegiatan reklamasi pantai tidak saja terjadi di Pulau Jawa seperti Jakarta, Semarang dan Pantai Kenjeran Surabaya, tapi juga telah meluas hingga ke wilayah di luar Pulau Jawa. Di Pulau Sumatera, proyek berlangsung di Padang, Sumatera Barat atau disebut Padang Bay City, serta Teluk Lampung.
Di bagian tengah dan timur Indonesia telah terjadi kegiatan reklamasi di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur; Pantai Losari dan Pantai Buloa, Sulawesi Selatan; Pantai Kalasey dan Teluk Manado di Sulawesi Utara; Teluk Tolo dan Palu, Reef Tiaka dan Bahodopi hingga jalan lingkar Kota Toli-Toli dan Palu Donggala di Sulawesi Tengah; Teluk Kendari, Teluk Bau-Bau, dan Menui, Kepulauan Sulawesi Tenggara; dan, kawasan Pantai Manakara di Sulawesi Barat.
Demikian halnya di Pulau Serangan dan Pantai Mertasari, Bali; Pulau Ternate dan Tidore, Maluku Utara; pelabuhan tambang PT. NNT Tanjung Luar NTB; dan Teluk Kupang, NTT. Dan yang sedang direncanakan di Teluk Kendari, penimbunan sempadan pantai untuk kebutuhan pelabuhan pertambangan, rencana reklamasi Pantai Ampenan dan pembangunan Mandalika Resort di Nusa Tenggara Barat.
“Proyek reklamasi ini didukung oleh paket instrumen kebijakan perampasan lahan wilayah pesisir, yakni: UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing; UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang; UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Diperluas melalui upaya pencabutan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pembaruan Agraria yang tegas menjamin hak demokratis rakyat atas sumber-sumber agraria dengan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan—yang berpihak pada kepentingan pengusaha dan pejabat birokrasi.” Kata Wilianita Selviana, penggerak Walhi Sulawesi Tengah yang menjadi salah satu penggerak gerakan Dekalarasi Gerakan Rakyat Anti Reklamasi Pesisir Pantai Indonesia.
Sementara itu dampak factual yang diakibatkan dari kegiatan rekalamasi pantai ini telah mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi. “Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang-surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air. Potensi banjir akibat proyek reklamasi itu akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut (rob) dan ancaman dampak perubahan iklim. Demikian halnya berdampak luas terhadap wilayah atau kawasan yang menjadi sumber asal material reklamasi seperti longsor, banjir, dan rusaknya sumber daya air.” Terangnya.***