JAKARTA, BINADESA.ORG–Pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam upaya mengimplementasikan salah satu program prioritas dalam Nawa Cita adalah Reforma Agraria dengan mendistribusikan tanah seluas 9 juta hektar kepada petani dan masyarakat tak bertanah. Reforma Agraria ditujukan untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah dan kesenjangan ekonomi yang masih terjadi sampai saat ini. Salah satu subyek dan obyek reforma agraria yang penting untuk disoroti adalah dikawasan perkebunan.
Itulah salah satu pokok pandangan dari inisiator Konferensi Nasional Perkebunan Rakyat Indonesia, yang terdiri dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Wacth, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Bina Desa dan Farmer Initiative for Ecological Livelyhood and Democratie (FIELD). Konferensi Nasional tersebut di buka pada 26 April 2017, dilaksanakan hingga 27 April mendatang, digedung YTKI Jakarta.
Organisasi petani dan masyarakat sipil juga menyampaikan bahwa syarat pelaksanaan Reforma Agraria yaitu pertama, landreform melalui redistribusi tanah kepada petani kecil dan masyarakat tak bertanah; kedua, perubahan hubungan agraria yang bukan eksploitasi manusia atas manusia dan lingkungan; ketiga, pembaruan hukum agraria kolonial dan feodal menjadi hukum agraria nasional yang berkeadilan sosial.
Untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, diperlukan keadilan agraria melalui jalan reforma agraria. Reforma agraria tidaklah cukup obyek tanahnya hanya bersumber dari tanah negara bekas tanah terlantar dan tanah negara bekas HGU. Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial di perkebunan terjadi akibat ekspansi penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah perkebunan oleh perusahaan perkebunan. Oleh karenanya diperlukan batas maksmimum dan batas minimum pemiilikan dan penguasaan tanah. Artinya tanah obyek reforma agraria juga haruslah bersumber dari tanah-tanah perusahaan perkebunan yang melebihi batas maksimum, dan kewajiban Perusahaan Perkebunan untuk membangun kebun rakyat haruslah di atas 20 % dari total arealnya.
Dalam hal hubungan-hubungan produksi agraria perkebunan, pola kerjasama atau pola kemitraan baik dalam hal budidaya, pengolahan dan pemasaran harusnya benar-benar merupakan usaha bersama dengan asas kekeluargaan, perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah, serta perlindungan dan pemenuhan hak-hak petani pekebun dan buruh perkebunan. Untuk itulah diperlukan kehadiran negara untuk memastikan pola kerjasama atau kemitraan serta hubungan kerja yang terjadi di perkebunan yang memang tidak menimbulkan pemerasan, penghisapan, pencurian tanah, nilai lebih dan kerja lebih dari petani pekebun dan buruh perkebunan.
Sementara itu ketimpangan ekonomi masih terjadi antara perusahaan perkebunan dengan petani perkebunan rakyat. Dibuktikan dengan data BPS tentang Nilai Tukar Petani (NTP) sub-sektor Perkebunan Rakyat sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani pekebun menunjukkan trend penurunan sejak bulan Januari hingga Maret 2017. NTP pada bulan tersebut masing-masing sebesar 98.75, 98.72 dan 98.35.
Penurunan harga referensi pada komoditas-komoditas perkebunan ini memang tidak lepas dari pengaruh harga internasional, sementara Pemerintah masih mengandalkan komoditas-komoditas tersebut untuk mendulang devisa. Pada sisi lain, model dan aktor value chain komoditas ekspor perkebunan dengan Pabrik Kelapa Sawit sebagai simpul terakhir menyisakan pertanyaan berapa distribusi margin keuntungan di tingkat petani perkebunan rakyat terkait dengan rendahanya NTP yang berarti rendahnya daya beli dan kesejahteraan mereka.
Jika ambisi untuk ekspansi perkebunan masih tinggi dengan tidak melihat ketimpangan sosial yang terjadi di subsektor perkebunan, maka persoalan penguasaan tanah dan konflik agraria masih terus akan berlangsung. Oleh karena itu pula perubahan yang signifikan atas persoalan perkebunan ini dan Reforma Agraria yang sudah dijanjikan Jokowi-JK yakni dengan mendistribusikan tanah kepada petani seluas 9 juta hektar menjadi salah satu solusi terbaiknya, baik pada sisi on farm dan off farm, termasuk diantaranya koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan Pabrik Kelapa Sawit milik Petani.
Menjadi kenyataan sejarah, bahwa perkebunan tidak bisa lagi mewarisi perkebunan model Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dan Pemerintahan Orde Baru yang menempatkan perusahaan sebagai pelaku utama. Sudah saatnya perkebunan rakyat yang juga harus diperkuat, sehingga perusahaan perkebunan tidak harus bekerja dari budidaya hingga pengolahan, karena petani pasti bisa mengerjakan seluruh aspek budidaya, lembaga ekonomi petani pekebun juga bisa mengerjakan industri ringan pengolahan produk perkebunan. Pembagian kerja baru di perkebunan akan menciptakan pola baru kemitraan usaha perkebunan.
Dalam hal pembaruan hukum perkebunan, sudah seharusnya mengacu kepada putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Di mana di dalam putusan tersebut disebutkan, pertama, petani kecil tidak perlu izin Pemerintah untuk mencari, mengembangkan dan mengedarkan benih untuk komunitasnya; kedua, Perusahaan Perkebunan selain memiliki Izin Usaha Perkebunan juga harus mendapatkan Hak atas Tanah; ketiga, kesatuan masyarakat hukum adat yang mengerjakan tanah ulayatnya tidak bisa dikategorikan setiap orang tidak sah melakukan perbuatan di lahan perkebunan; keempat, alternatif pola kemitraan tetap terbuka dan dokumen kesepakatan dan aturan kemitraan usaha perkebunan harus jelas.
Meskipun sudah ada Putusan MK terhadap UU Perkebunan, sesungguhnya masih diperlukan perubahan undang-undang perkebunan yang membawa keadilan agraria untuk petani perkebunan rakyat dan kelestarian alam. Sehingga tidak hanya menciptakan perkebunan yang lestari karena ramah terhadap ekologi dan tidak melanggar hak-hak petani pekebun, buruh perkebunan dan masyarakat desa di sekitar perkebunan, tetapi juga akan menciptakan keadilan sosial karena berbasis kepada petani pekebun baik secara budidaya, pengolahan dan pemasaran. (bd018)