JAKARTA, BINADESA.ORG–Tepat setahun setelah didaftarkan ke Mahkamah Konstituti oleh Tim Advokasi Keadilan Perkebunan (TAKP), gugatan terhadap UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan akhirnya di bacakan pagi tanggal 27 Oktober 2016 oleh kesembilan hakim MK. Seperti di ketahui Tim Advokasi Keadilan Perkebunan merupakan elemen organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Sawit Watch, SPKS , SPI, API, FIELD, Bina Desa, dan IHCS tanggal 27 Oktober 2015 telah mengajukan gugatan terhadap UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pada pembacan putusannya, gugatan yang dikabulkan oleh MK atau inkonstitusional untuk sebagian adalah terkait pasal 27 ayat 3, pasal 29, pasal 30 ayat 1, pasal 42, pasal 55, dan pasal 107.
“Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengucapkan amar putusan didampingi para hakim konstitusi lainnya, Kamis (27/10) di ruang sidang pleno MK. Permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk sebagian. Dengan putusan Nomor 138/PUU-XIII/2015 tersebut, Mahkamah menegaskan petani kecil dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul.
Dalam putusan yang sama, Mahkamah pun menyatakan anggota masyarakat hukum adat sah untuk mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan. Norma Pasal 55 UU Perkebunan yang berbunyi: “Setiap orang secara tidak sah dilarang: a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan; c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan”
Frasa “secara tidak sah” dalam norma pasal a quo, dinyatakan Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007”. Menurut Mahkamah, secara normatif norma a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, ketentuan tersebut menjadi tidak memberi kepastian hukum apabila terkait dengan keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat.
Berdasarkan hasil putusan ini, Tim Advokasi Perkebunan secara khusus berterima kasih kepada Majelis Hakim MK yang sudah menerima sebagian gugatan dan menyatakan inkonstitusional. Meskipun beberapa pasal yang juga seharusnya dikabulkan tetapi dianggap konstitusional oleh Majelis Hakim. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa, dalam proses pembuatan UU ini sangat terburu-buru dan tidak memperhatikan Putusan MK sebelumnya yang sudah menggugurkan beberapa pasal yang sama dengan isi di UU ini.
Ridwan Darmawan dari IHCS yang mewakili kuasa hukum menyatakan bahwa, “Pertama, dari segi kuantitas permohonan bisa dibilang draw. Beberapa yg dikabulkan soal pasal perbenihan, kepastian ijin terkait HGU atau ijin usaha perkebunan, MK sepakat dengan dalil permohonan pemohon dimana UU tidak mengacu pada UU Perkebunan. Kedua, ketidak pastian hukum, didalam UU utk mulai ijin usaha perkebunan haru memiliki hak atas tanah dan/atau ijin usaha perkebunan . Sekarang harus dua duanya dimiliki dulu baru bisa berusaha. Jadi tidak bisa salah satu. Pasal 55 dan 107, MK mengecualikan dan mengabulkan ajuan pemohon, dimana tidak dikenakan kepada orang atau masyarakat hukum adat”.
Yang paling miris adalah terkait soal ketentuan bahwa areal perkebunan yg bisa dijadikan kemitraan perkebunan adalah di luar konsesi perkebunan MK tidak memahami lapangan dan hanya memahami teks dan cenderung memaknai dari kata memfasilitasi dan karena bunyinya demikian maka di luar areal kebun. Dalam permohonan dan bukti terjadi ketidakpastian hukum sudah jelas. Dalam Perraturan Menteri Pertanian di perkebunan di luar konsesi. Ini perlu didiskusikan lebih jauh terutama dalam menghadapi RUU Perkelapsawitan yang sebentar lagi menjadi UU Perkelapasawitan. Hari ini, pihak pemerintah dan perusahaan mendapatkan legitimasi untuk lokasi plasma.
Lebih lanjut, Henry Saragih Sekjen Serikat Petani Indonesia menyampaikan hal yang sama. Menurut Henry, “MK tidak melihat secara keseluruhan dan sepotong-sepotong sehingga pasal yg kita tuntut soal perusahaan membangun kebun itu di luar lokasi, jadi kalau MK memutuskan demikian maka makin memperluas kebun perusahaan itu sendiri sebenarnya. Kemudian, bukan hanya soal masyarakat adat saja tetapi di luar masyarakat adat juga. MK hanya melihat berdasarkan isinya saja tidak dilihat dalam prakteknya, bagaimana perusahaan berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Ini jadi soal dan penting itu soal ijin usaha dan hak atas tanah karena seringkali belum ada HGU sudah beroperasi”.
Sementara menurut Achmad Yakub dari Bina Desa,” Walaupun MK sudah mengabulkan gugatan pemohon sebagian dari yang dimohonkan yakni pasal yang gugat ke MK sebanyak 12 pasal yang terdiri dari Pasal 12 ayat 2, Pasal 13, Pasal 27 ayat 3, Pasal 29, Pasal 30 ayat 1, Pasal 42, Pasal 55, Pasal 57 ayat 2, Pasal 58 ayat 1 dan 2, Pasal 107 dan Pasal 114 ayat 3 karena bertentangan dengan pasal 18 B, 28 C ayat 1 dan 2, 28 D, 28H ayat 2, 28I dan 33 ayat 3 UUD 1945”.
“Ini perlu di perjelas lagi kepada publik. Kelemahannya putusan MK lambat bahkan tidak ada tindak lanjutnya oleh pemerintah. Kalau ada keputusan MK yang memberatkan untuk rakyat, oleh pemerintah cepat direspon, tetapi sebaliknya jika keputusan MK yang mengoreksi peraturan perundang-undangan yang sudah dibuat pemerintah dan menghambat perusahaan, oleh pemerintah lambat untuk ditindaklanjuti” tegas Yakub.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Sawit Watch, Jefri Saragih terkait putusan MK ini. Menurutnya, paling penting tidak ada proses kriminalitas terhadap masyarakat adat. Karena pasal yang sama ini juga sudah pernah diujikan oleh Sawit Watch dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya pada tahun 2011 dan oleh MK diputuskan pasal tersebut inkonstitusional. Kedua soal petani, dari sisi teks tual, soal kemitraan dengan perusahaan sangat bagus dan terkesan sangat mengakomodir hak-hak petani dalam proses kemitraan. Tetapi kalau merujuk pada fakta di lapangan tidak ada kesetaraan di lapangan, masyarakat adat hanya sebagai pihak yang siap menerima semua permintaan perusahaan dan pemerintah atau siap tanda tangan saja. Padahal semua hal ini sudah disampaikan melalui bukti dan juga saksi ahli yang kami sampaikan dalam persidangan.
Dalam pernyataannya Tim Advokasi Keadilan Perkebunan akan melakukan beberapa langkah serius dalam rangka menanggapi putusan ini adalah, Mengawal proses implementasi oleh pemerintah dan perusahaan terhadap putusan ini, memastikan bahwa pemerintah dan perusahaan taat terhadap putusan MK, mensosialisasikan hasil keputusan ini kepada seluruh pihak terkait terutama masyarakat adat, dan petani kelapa sawit agar tidak terjebak dalam beberapa pasal yang sudah digugurkan oleh MK (###)