Pemerintah sudah balik badan dari agenda nawacita pertanian. Mengaggap kedaulatan pangan hanya sebagai peningkatan produksi.
Tandanya, redistribusi tanah sebebsar 9 juta ha yang direncankan Presiden Jokowi-JK sampai sekarang belum ada kejelasan. Di sisi lain, justru sektor pasar yang aktif dan seolah memiliki jatah memperluas areal kuasa atas tanah baik di Kalimantan, Sulawesi maupun Papua.
Henry Saragih dari Serikat Petani Indonesia (SPI) menjelaskan, Kementerian Agraria yang jadi ujung tombak landreform malah sibuk memperpanjang Hak Guna Usaha (HGU) pada perusahaan besar terutama setelah keluarnya paket-paket ekonomi. “Pemerintah mengambil banyak tanah untuk infrastruktur. Itu bisa diterima dalam logika pembangunan, tapi karena negara tidak melakukan reforma agraria maka pengambilan tanah jadi aneh,” paparnya dalam Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun Pertanian Indonesia 2015: “Kedaulatan Pangan dan Reforma Agraria Telah Dibajak Oleh Kekuasaan Pasar”.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan nasib para petani kecil. Satu tahun terakhir tidak ada penurunan konflik agraria yang mengakibatkan meninggalnya 3 petani di Jambi, Lampung dan Jawa Timur. Jumlah konflik pun kian meningkat pada 2015, yakni sebanyak 321 kasus dibandingkan dengan pada 2014 sebanyak 194 kasus. ”Kita khawatir 2016 konflik akan meningkat terutama sejalan dengan masifnya infrastruktur (program yang digalakkan Jokowi),” pungkas Henry mengingatkan.
Selain itu, lanjut Henry, Pemerintah Jokowi-JK pun masih memakai perspektif Era Rezim Suharto dalam menjalankan program sektor pertanian. Ini terlihat pada Kementerian Pertanian (Kementan) yang hanya mengartikan Kedaulatan Pangan sebagai peningkatan produktifitas semata. Di lain pihak, alat-alat modernisasi dipamerkan seakan itu yang modern baik untuk petani. “Ini seperti tak beda dengan revolusi hijau atau malah sengaja mengulang,” jelas henry yang juga menyesalkan kebijakan pengamanan panen oleh TNI di beberapa daerah Indonesia.
Senada dengan Henry, Agusdin Pulungan dari WAMTI menilai, Kementerian pertanian seakan malah menyederhanakan pertanian sekadar padi, jagung dan kedelai. “angka anggaran yang besar di sektor ini jadi tidak rasional karena tidak berimbang dengan program, pemerintah juga bersalah kalau gagal karena el nino. Padahal kami kira itu karena sistemnya monokultur dan konvensional,” timpalnya.
Sementara itu, pemerintah juga dianggap lalai melaksanakan mandat pembentukan kelembagaan pangan yang diamandatkan UU Pangan sampai oktober lalu. Ironis lagi adalah Indonesia berhasil swasembada beras tapi masih impor beras. Menurut Muhammad Nuruddin, ini bentuk tak ada koordinasi antar kementerian akibat tidak adanya kelembagaan pangan. “Cara pelayanan sektor ini juga masih mengikuti logika lama. Bantuan-bantuan hanya sampai pada gapoktan resmi (yang mendapat akses dari pemerintah) yang sifatnya korporatis,” tukas Sekjen Aliansi Petani Indonesia itu.
Padahal, menurutnya, dalam UU Pemberdayaan dan Perlindungan Petani Nomor 19 tahun 2013 telah membebaskan masyarakat untuk berkelompok atau berorganisasi secara mandiri dan berhak mengakses program terbaik sektor pertanian yang disediakan pemerintah.
Jadi, lanjutnya, sektor pertanian Indonesia sudah terdistorsi atau bahkan dibajak oleh pasar. Benih yang semestinya dikelola petani kini dikelola perusahaan. Koperasinya juga dikembangkan perusahaan. Begitu juga benih dan kebutuhan pertanian lainnya diambil alih oleh mekanisme pasar.
Oleh karenanya, kata dia, kebijakan pangan Indonesia yang dikenal dengan harga tunggal menurut Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2014 harus segera direvisi. Sebab, pengaruh inflasi cukup memukul kesejahteraan petani. “kalau impor dan beras impor masuk, sementara sekarang sedang musim tanam pertama, artinya panen pada Januari-Pebruari nanti, akan menyebabkan petani anjlok harganya dan mungkin banyak merugi,” papar Gus Din, panggilan akrabnya.
Hal ini mengingat, cadangan beras pemerintah sudah diwajibkan ada 300 juta ton jika angka konsumsi masyarakat meningkat. Ia pun memberi contoh alasan pemerintah kerap melakukan impor dengan beberapa alasan dengan asumsi agar tidak terjadi gejolak. Seperti momen libur nasional, Natal sampai dengan tahun baru. “di sisi lain impor itu artinya pemerintah mensubsidi konsumen perkotaan. Tapi di sisi lain tidak ada insentif terhadap produsen petani kecil. Petani sebagai penyedia pangan tidak pernah diperhatikan,” kecamnya (SC)