JAKARTA, BINADESA.ORG – Pangkur :
Yen to Kendheng den kiwakna
Putusan pangwasa teges anti tani
Pak Jokowi, ngaten niku?
Kang pangwasa kersakna?
Lamun ngaten kula namung saget nguwuh
Lmah banyu angin dayanya
Uripa kanggo mbengkasi
Maksud dari tembang diatas :
Bila Kendeng diabaikan
Keputusan penguasa berarti anti petani
Begitulah, Pak Jokowi?
Yang dikehendaki para penguasa?
Jika memang begitu, kami hanya bisa meminta
Kekuatan tanah, air dan angin.
Senin, 12 Februari 2018, 9 Kartini Kendeng menggotong lesung dari tugu tani menuju di depan Istana Merdeka Jakarta, suara lesung jumengglung ditabuh 9 ibu Kartini Kendeng. Kartini Kendeng menggotong lesung dari tugu tani menuju istana ini menunjukan bahwa selama ini ISTANA tidak ada perhatian kepada petani, lebih berpihak dengan para pemodal dibanding dengan petani, ini terbukti dengan banyaknya lahan-lahan pertanian yang produktif dijadikan pertambangan.
Di saat sedulur yang lain menjalankan tugasnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, kami petani Kendeng menabuh lesung, meminta Pak Joko Widodo selaku pemimpin tertinggi di negeri yang kita cintai ini, untuk setia terhadap mandatnya. Aksi ini kami jalankan juga bagian dari kewajiban petani untuk terus menjaga keseimbangan alam, agar Pegunungan Kendeng Utara tetap memberikan penghidupan. Melalui terjaganya sumber-sumber mata air yang jumlahnya ribuan, itu untuk menjaga produktifitas hasil pertanian. Karena Peg. Kendeng sebagai lumbung Pangan dari mulai adanya peradaban manusia berladang, bertani, dan mulai manusia mengkonsumsi Palagumantung dan Palakependem yaitu beras, jagung, ketela,dll. Air adalah kebutuhan vital bagi seluruh makhluk hidup, tidak hanya petani. Jika wadah penyimpan air itu rusak, musnahlah kehidupan.
2 Agustus 2016 silam, saat sedulur petani Kendeng diterima Pak Joko Widodo di Istana, beliau memutuskan untuk dilakukannya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di sepanjang Peg. Kendeng Utara, yang meliputi Kab. Lamongan, Kab. Tuban, Kab. Bojonegoro, Kab. Rembang, Kab. Blora, Kab. Grobogan dan Kab. Pati. Dalam keputusan tersebut, Presiden juga meminta selama proses KLHS berlangsung, tidak boleh ada izin pertambangan baru yang keluar, semua proses pertambangan batu kapur dan aktifitas produksi yang sedang berlangsung harus dihentikan, dan KLHS harus dilakukan secara terbuka serta melibatkan rakyat secara aktif.
KLHS adalah mandat pimpinan tertinggi negara kepada pemerintah yang harus dijalankan secara baik dan benar. Tetapi yang terjadi di lapangan sangat bertentangan dengan mandat di atas. Izin baru dikeluarkan oleh pemerintah daerah, proses penambangan batu kapur terus berjalan dan aktifitas produksi pabrik semen di Rembang juga terus berlangsung hingga saat ini. Lebih tragis lagi ketika hasil KLHS tahap Pertama diumumkan pada tanggal 12 April 2017, pemerintah daerah tidak menjalankan rekomendasi hasil KLHS tahap pertama, justru mereka meminta Badan Geologi dari ESDM agar melakukan kajian lagi di lapangan. Dalam proses keterlibatan masyarakat JM-PPK hanya dijadikan legitimasi temuan2 hasil kajian Badan Geologi di olah tanpa ada keterlibatan masyarakat padahal data2 masyarakat sudah diserahkan ke Badan Geologi, cara ini menunjukkan Badan Geologi dalam melibatkan masyarakat hanya untuk kepentingan formal.
Untuk itu, kami meminta Pak Presiden untuk setia dengan mandatnya, mengumumkan dan menjalankan sejujur-jujurnya hasil KLHS. Kajian ini menentukan masa depan kami sebagai petani. Membawa masa depan anak cucu kita semua. Petani juga bagian dari rakyat yang harus dijaga dan diayomi, bukan dikorbankan. Petani adalah soko guru bangsa. Petanilah yang menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh rakyat. Apalah artinya investasi 5 trilyun jika nantinya negara akan merugi 3,2 trilyun setiap tahunnya dan kerugian itu akan dialami negara selama puluhan tahun. Tidak hanya trilyunan rupiah yang akan hilang jika industri semen dan penambangan batu kapur terus ada di Peg. Kendeng, tetapi peradaban manusia juga akan lenyap mengingat Peg. Kendeng adalah pegunungan purba.
Bukti kemenangan warga Kendeng di pengadilan melalui keputusan MA yang bersifat inkrah pun belum membuat pemerintah tergerak untuk menyelamatkan Kendeng. Negara yang harusnya meletakkan hukum sebagai panglima keadilan, tetapi justru menginjak-injaknya. Sebagai rakyat, kami akan terus melawan tirani ini dengan cara yang sehormat-hormatnya. Yang kami perjuangkan ini bukan untuk kepentingan perut kami, tetapi untuk kebaikan Indonesia secara umum.Jika Kendeng selamat, maka selamatlah P. Jawa, karena Peg. Kendeng adalah sabuk bagi P. Jawa, yang menjaga keharmonisan alam. Jika Peg. Kendeng rusak, maka bencana tidak dapat dielakkan.
Kami bukan anti pembangunan. Justru kami berkewajiban menjaga marwah pembangunan agar tetap berjalan tanpa merusak keseimbangan ekosistem. Pembangunan yang berkeadilan sosial. Pembangunan yang tidak memberangus masyarakat lokal hanya demi kepentingan investasi yang nyata-nyata jauh dari kata “mensejahterakan rakyat.” Sudah banyak pelajaran nyata yang dialami rakyat di daerah-daerah tambang terutama di daerah karst. Justru mereka menjadi “dimiskinkan” karena kehilangan jati diri sebagai PETANI. Siapakah sebenarnya yang disejahterakan dengan mengekploitasi kawasan karst?? Tanda tanya besar ini sebetulnya sudah terjawab, tinggal pemerintah mau atau tidak berpihak kepada PETANI.
Jakarta, 12 Februari 2018
JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegungan Kendeng)
Narahubung :
Ngatiban : 0813 4847 9183
Gunretno : 0813 9128 5242