Bina Desa

Press Release: Gugatan terhadap Uji Formil UU Cipta Kerja Dikabulkan MK

Pada hari Kamis, 24 November 2021 lalu, gugatan tim KEPAL terhadap Uji Formil UU Cipta Kerja dikabulkan Mahkamah Konstitusi.  MK telah menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Lebih lanjut, MK menyatakan bahwa tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No. 11 Tahun 2020 Cipta Kerja.

Hal ini disampaikan Hakim Konstitusi dalam sidang pembacaan putusan atas Perkara Nomor Nomor 91/PUU-XVIII/2020, 103/PUU-XVIII/2020, 105/PUU XVIII/2020, 107/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 4/PUU-XIX/2021, serta Nomor 6/PUU-XIX/2021 atas Uji Formil dan Uji Materil Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pada 25 November 2021.

Menurut Janses Sihaloho Koordinator Tim Advokasi KEPAL (Komite Pembela Hak Konstitusional) Gugat Omnibus Law, menyatakan bahwa, inkonstitusional bersyarat menjadikan DPR dan pemerintah dalam memperbaiki UU Cipta Kerja haruslah sesuai perintah Hakim Konstitusi, yaitu perlu adanya landasan hukum omnibus law, adanya partisipai publik yang bermakna, dan perubahan materi.

Slamet Nurhadi atau Lodji, Kepala Bidang Advokasi, Riset, dan Jaringan dari Yayasan Bina Desa sekaligus Koordinator KEPAL mengatakan bahwa putusan MK cenderung bersayap dan kental nuansa politik. Pengertian konstutusional dan inkonstitusional harusnya punya batas yang jelas.

Selain itu, seharusnya Hakim MK juga tegas dalam putusannya, tidak menimbulkan dualisme. Karena Hakim MK menyatakan inkonstitusional bersyarat sehingga, menimbulkan ambiguitas terhadap keberlakuan UU ini. Hal tersebut tentu tidak akan baik bagi masa depan law enforcement itu sendiri. Ini bisa jadi preseden.

“Namun demikian, meski Putusan MK ini tampak gamang dan tak bulat di antara hakim, kita perlu mengapresiasinya. Sebuah sejarah bagi MK untuk mengabulkan (sebuah gugatan formil). Ini pelajaran yang mahal. Kita perlu tetap mengawasi dan memastikan partisipasi rakyat ada dalam setiap proses perumusan kebijakan, terutama dalam pembentukan hukum yang mendampak luas terhadap rakyat, khususnya yang menyangkut hajat hidup para petani dan nelayan kecil serta perempuan pedesaan.” ujar Lodji. .

Sedari awal pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja mengandung cacat formil, karena tidak cermat yang jelas bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, dan kurangnya partisipasi publik dalam pembahasan rancangan undang-undang. Sehingga, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja khusus klaster pertanian akan berpotensi merugikan hak-hak petani pada umumnya dan menjauhkan pencapaian kedaulatan petani dan pangan di Indonesia.

Undang-Undang ini akan berpotensi mengancam eksistensi, keberlanjutan hidup petani, eksistensi kelompok kelompok tani, dan kebudayaannya serta kedaulatan petani atas pangan, mengancam berkembangnya pertanian, melemahkan keterampilan petani, dan menghambat berkembangnya organisasi-organisasi petani lokal, terlebih lagi para petani gurem yang akan terus mengalami diskriminasi. [RF]

Komite Pembela Hak Konstitusional Rakyat terdiri dari:

1. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)

2. Serikat Petani Indonesia (SPI)

3. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)

4. Yayasan Bina Desa

5. Sawit Watch (SW)

6. Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)

7. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)

8. Indonesia for Global Justice (IGJ)

9. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)

10. FIELD Indonesia

11. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)

12. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)

13. Aliansi Organis Indonesia (AOI)

14. Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI)

15. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB)

Scroll to Top