Bina Desa

Polemik Reklamasi Teluk Jakarta: Presiden Diminta agar Taat Hukum

Yaya Nurhidayati (tengah) Direktur EKNAS WALHI ketika konperesni pers (15/09) di kantor Eknas WALHI Jakarta, mengingatkan Presiden agar taat Hukum (photo:WALHI)
Nurhidayati (tengah) Direktur Eknas WALHI ketika konperensi pers (15/09) di kantor Eknas WALHI Jakarta, minta Presiden agar taat Hukum pada persoalan Reklamasi Teluk Jakarta (photo:WALHI)

JAKARTA, BINADESA.ORG–Pernyataan Pemerintah Pusat yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan bahwa pemerintah akan melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta, khususnya reklamasi pulau G. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menunjukkan Pemerintah Pusat tidak mentaati hukum.

Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah memutuskan bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta (Pulau G) ditunda sampai berkekuatan hukum tetap. Dengan pertimbangan antara lain banyaknya perundang-undangan yang dilanggar, dan bahkan Majelis Hakim berpandangan bahwa reklamasi menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan berdampak kerugian bagi para nelayan sebagai penggugat.

“Apa yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman sesungguhnya merupakan tamparan keras bagi Presiden Joko Widodo. Karena di berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk menegakkan hukum, namun justru pemerintah sendiri yang bukan hanya tidak mentaati hukum, tapi juga menodai supremasi hukum, dengan melawan perintah pengadilan secara terbuka”. Untuk itu, WALHI ingatkan Presiden untuk menghormati hukum”, tegas Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati yang biasa disapa Yaya ini.

Apa yang dilakukan oleh Menko Maritim akan menjadi preseden hukum yang buruk dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Menko Maritim dan Sumber Daya, Luhut Binsar Panjaitan sedang memperlihatkan dan mempraktekkan model pembangunan yang dilakukan serampangan, bahkan dengan melabrak Konstitusi. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat akan menjadi contoh bagi Pemerintah Daerah yang saat ini juga gencar mengkavling-kavling pesisir dan laut seperti reklamasi Teluk Benoa, reklamasi pesisir Makassar, reklamasi Teluk Palu, reklamasi Teluk Kendari, reklamasi di Manado, reklamasi Balikpapan, dan reklamasi di Maluku Utara. Juga akan memberi contoh bagi Pemerintah Daerah yang menyediakan kawasannya untuk diambil tanah dan pasirnya sebagai bahan material reklamasi, antara lain dari Banten, NTB, Jawa Timur dan Jawa Barat. Penghancuran kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil semakin mendapatkan legitimasi, karena diamini oleh Pemerintah Pusat.

Yang perlu diketahui, bahwa urusan reklamasi kawasan pesisir dan laut, reklamasi Teluk Jakarta, termasuk di dalamnya Pulau G, bukan lah semata-mata perkara teknis yang selalu berujung pada rekomendasi teknis melalui rekayasa teknologi. Artinya, Menko Maritim berpandangan sempit  bahwa persoalan lingkungan hidup dapat diselesaikan secara teknis semata. Padahal bicara kawasan, artinya kita juga sedang bicara soal ruang hidup dalam berbagai aspek, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, selain aspek lingkungan hidup. Masyrakat tani, nelayan, adat dan lainnya tentu akan menjadi korban pertama atas kebijakan ini. Itulah mengapa Pemerintah Pusat sebelumnya membentuk Tim Kajian dalam 3 aspek, aspek hukum, aspek lingkungan dan aspek teknis, dan hasil Tim Kajian sebelumnya telah merekomendasikan penghentian reklamasi pulau G. Ini juga menandakan bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman tidak memiliki kapasitas dalam memahami perencanaan dan pembangunan sebuah kawasan yang berkelanjutan dan berkeadilan, baik bagi lingkungan hidup maupun sumber-sumber kehidupan rakyat. Padahal dalam Nawacita jelas sekali mengatakan bahwa, “Menetapkan kebijakan secara permanen, bahwa negara ini berada pada titik kritis bahaya kemanusiaan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup” tutur Yaya menutup pernyataannya.(###)

Scroll to Top