Bina Desa

Podcast Pangan dan Gizi

Sejak Revolsui Hijau, input-input pertanian secara kimiawi digunakan untuk menunjang pertumbuhan tanaman khususnya pangan agar berpoduktif secara maksimal. Ditambah lagi dengan tingginya permintaan akan pangan sering kali  menuntut pertanian konvensional untuk menggunakan lebih banyak input berbahan kimia guna meningkatkan produksi. Sayangnya, pendekatan ini sering kali berdampak negatif pada kandungan gizi hasil pertanian. Penggunaan bahan kimia dalam jumlah besar dapat mencemari tanah, air, dan hasil pertanian itu sendiri. Tak hanya itu penggunaan input pertanian semacam ini memengaruhi gizi yang terdapat pada pangan yang kita konsumsi.  

Kemudian muncul pertanyaan bagaimana kondisi pangan kita saat ini? Dan apa upaya yang sebaiknya kita lakukan agar pangan yang kita konsumsi memiliki kandungan gizi yang dapat menunjang kesehatan dari mengonsumsinya? 

Fatilda Hasibuan dari FIAN Indonesia, mengemukakan bahwa kondisi pertanian di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Hal ini dikarenakan Indonesia masih saja melakukan impor beras, jagung. Selain itu, meningkatnya keinginan masyarakat untuk mengonsumsi makanan ultra proses, dimana makanan ini merupakan makanan yang dirpores dengan berbagai tahap yakni mie instan, soft drink, dan penyedap rasa. Selain itu, adanya peralihan fungsi lahan pangan ke lahan yang lain, minimnya pembangunan sarana pembangunan pertanian.  

Fatilda juga menyoroti bahwa banyak terjadi pelanggaran hak atas pangan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap petani, hal ini dapat dilihat petani tidak lagi dapat mengontrol haknya terhadap pemuliaan bibitnya sendiri. Di Indonesia sendiri saat ini kita sedang mendorong hak atas bibit masuk kedalam satu UU sebagai hak atas pangan. Hak atas pangan jangan hanya dilihat sebagai masyarakat bisa makan saja, tetapi apakah dia pemilik atas tanahnya? Atas benihnya? Jika pemilik adalah indsutri, artinya kita sangat ketergantungan terhadap industri. Hal ini dapat kita lihat pada ketersediaan minyak goreng. Bisa-bisanya Indonesia dihadapi dengan langkanya minyak goreng. Padahal Indonesia merupakan produsen kelapa sawit yang terbesar di Dunia. Hal ini dikarenakan jika pangan dikontrol oleh orang lain.  

Indikator hak atas pangan yang dirumuskan oleh FIAN salah satunya adalah indikator atas penguasaan bibit, tanah, dan input-input pertanian adalah dikuasai oleh rakyat bukan industri.  

M. Nur / Uro yang merupakan petani alami dari Komunitas KSPS Salassae menyebutkan kondisi kita saat ini terkait benih kita (petani) dibiasakan untuk mengonsumsi benih dari benih yang dibudidayakan oleh industri, sehingga petani menjadi ketergantungan, selain itu pada input-input pertanian lainnya khususnya kimia juga menjadi ketergantungan.  

Berbicara mengenai pangan dan gizi pada pertanian alami tentu sangat jelas kandungan gizi yang ada di dalam pangan itu sendiri, tentunya sangat sehat karena semua input yang kita gunakan adalah input yang alami termasuk pada benihnya. Namun pada pertanian alami tidak hanya berbicara mengenai teknisnya, tetapi bagaimana kita dapat berinovasi dan kreatifitas dalam memuliakan benih.   

Pertanian alami tidak hanya berbicara mengenai input-inputnya, tetapi juga menekankan pada pertumbuhan organisasinya. Hal ini dikarenakan Jika bertani secara individu tanpa organisasi, maka pertanian alami hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri dan tidak untuk orang lain. Namun, jika bertani secara terorganisir tetapi tidak menerapkan pertanian alami, ini hanya akan menjadi cara untuk menekan petani konvensional lain yang masih menggunakan pupuk kimia. Oleh karena itu, petani alami di Salassae percaya bahwa untuk menerapkan pertanian alami, organisasi juga harus dilakukan. (Dona)

Scroll to Top