Sebuah penelitian yang dilakukan sejak 1960 an menyebutkan, 1,9 juta jenis tanaman diproduksi dan diciptakan oleh petani, berbanding dengan perusahaan benih yang hanya menemukan 720 ribu jenis tanaman. Sementara khusus untuk tanaman pangan, petani bisa menemukan 5000 jenis tanamn pangan, perusahaan hanya 150 jenis saja. Sementara itu bila perusahaan membutuhkan 10 tahun dan sekian juta dolar hanya untuk menghasilkan satu benih GMO, bayangkan dengan apa yang bisa dilakukan petani jika mereka tak dibuat terasing dari ladangnya sendiri? Jika mereka dilindungi negara dan bukan malah dikriminalkan?
***
Dalam pandangan yang polos, jika seorang ditanya siapa yang paling berhak atas benih baik dalam membudidayakan mau pun mengedarkan sebagai bagian dari budaya bermasyarakat agraris, pandangan yang polos dan apa adanya itu tentu akan dengan lugas menjawab: Benih itu punya bapak ibu petani!
Kiranya demikian jawaban kalau saya—yang polos—ini ditanya. Apa alasanya benih itu hak petani? Ya karena dalam sejarahnya ditangan mereka lah semenjak dulu benih di-budi-daya-kan. (budi=dalam istilah filsafat adalah kebijaksanaan akal sehat) dan (daya=adalah reproduksi dari cita, cipta dan karsa serta rasa petani atau: kebudayaan); jadi budi-daya tanaman sesungguhnya hanya pantas bagi mereka yang menjadikan kegiatan bercocok tanam (pertanian) sebagai kebudayaan, yang menjadikan kerja mebudi-dayakan benih sebagai tidak semata-mata kegiatan ekonomi melainkan juga soal ruhani; maka benih mestinya bukan bagi mereka yang hendak menjadikan pertanian sebagai sapi perahan untuk menghasilkan income dan surplus produksi dari proses intensifikasi pertanian.
***
Tapi ini pula masalahnya, dalam sebuah sistem, kegiatan kerja ber-tani tidak lagi semata-mata terutama dilihat sebagai sebuah kebudayaan bercocok tanam, melainkan bisnis. Bisnis lalu menyangkut politik berupa lobi-lobi, pat gulipat, kong-kalikong, aturan pun diselenggarakan; siapa yang berhak memproduksi, mengedarkan dan siapa yang masuk dalam “perencanaan” sebagai sasaran pengguna sekaligus disebut korban. Pengedarnya adalah pebisnis, yaitu mereka yang punya naluri, tenaga dan modal untuk menjadikan benih sebagai sumber keuntungan, keuntungan itu lalu di akumulasi, akumulasi keuntungan itu lalu terkonsentrasi; konsentrasi keuntungan hanya di tangan para pebisnis yanga hanya beberapa gelintir saja itu lalu menciptakan sistem monopoli, monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan dan pertanian khususnya membangun ologopoli, lalu siapa target sasaran bisnisnya? Petani kecil–budayawan penggagas peradaban dan sejarawan penemu benih– Merekalah “target” dari eksploitasi sistematis pemiskinan yang akan berlangsung pelan-pelan melalui politik ketergantungan. Mula-mula benih, lama-lama pestisidanya, lalu yang paling parah adalah sistem bercocok tanamnya, dan lalu corak bermasyrakatnya. Gawat bukan?
Monopoli tak terhindarkan, kartel menerapakan paham stelsel. Kertel domestik pada industri benih di dalam negeri telah diduga dilakukan World Economic Forum Partnership on Indonesian Sustainable Agriculture (WEFPISA). Kongsi itu beranggotakan perusahaan-perusahaan multinasional, seperti Dupont, Monsanto, Syngenta, dan Cargill, yang dinilai banyak pengamat telah lama mengincar pasar benih di Indonesia.
Tak heran bila kemudian pemerintah dengan keyakinan perdagangan neoliberalanya, justeru tengah gencar berdebat dengan petani terkait persoalan benih yang makin menunjukan watak monopoli pemerintah untuk diberikan kepada swasta melalui perencanaan, sistem perizinan, mau pun sistem budidaya tanaman dalam pengajuan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang sekarang tengah disidangkan di MK (Mahkamah Konstitusi) untuk dilakukan peninjauan kembali (Judicial Review) oleh para petani.
****
Benih bagi petani sejatinya tidak hanya berorientasi ekonomi tapi juga ruhani. Tapi soalnya sekarang dimasyarakat kita, kepolosan dan ketulusan memang lebih sering dijadikan bancakan. Tentu sekarang, jika kepolosan itu sudang dianggap elit pengambil kebijakan sebagai sama dengan kebodohan, sudah waktunya bagi kaum petani untuk menggugat takdir sosial sebagai yang harus selalu berperan polos bahkan cenderung lugu.
Kenapa menggugat? Soal benih rupanya bukan hal sepele dan bisa dilihat dengan selalu cara polos dan apa adanya; dunia benih sudah sarat “rekayasa” baik yang genetik mau pun yang politik! Soal benih ketika ia sudah dicerabut dari akarnya kedalam sebuah “sistem” budidaya tanaman, benih pun kemudian memiliki mekanisme, aturan yang jika dilanggar bisa berakibat hukuman; dan inilah soalnya, petani justeru terpinggirkan sebab dalam sistem budidaya tanaman yang ada ditangan elit pengambil kebijakan itu itu adalah sistem kapitalis yang terutama hendak memangku hajat kaum borjuis kaya bermodal nyaris segalanya.
Akhirnya saya ingin menutup tulisan ini dengan ajakan untuk mengingat, menjaga memori historis sambil merawat akal sehat kita agar tahu dan yakin siapa yang semestinya dibela: “When tillage begins, other arts follow. The farmers therefore, are the founders of civilization” Daniel Webster (in Lewis C. Henry (ed), 1955) Petani kecil–budayawan penggagas peradaban dan sejarawan penemu benih—mereka lah paling layak dibela.[]
Sabiq carebesth, 2013