Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) Indonesia berpartisipasi dalam acara Bogor Organic Fair (BOF) 2016 yang dihelat di Sentul Bogor, Jawa Barat 27-30 Oktober 2016. Pelaksana acara adalah Aliansi Organis Indoesia (AOI). KNPK Indonesia memeriahkan acara tersebut mementaskan theatrical (happening art) sebagai salah satu cara komunikasi publik kami agar masyarakat menaruh perhatian kepada petani kecil. Dalam eksibisi keluarga tani menyediakan beras, benih, makanan asli Indonesia, sayuran, umbi-umbian, madu , kopi dan lainnya.
Kegiatan tersebut untuk meningkatkan perhatian dan kesadaran publik (termasuk pemerintah, pembuat kebijakan, masyarakat umum, dan kalangan media) atas permasalahan dan kondisi terkini yang dihadapi pertanian keluarga, dan kontribusi mereka kepada ketahanan pangan, gizi, pengentasan kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut KNPK Indonesia untuk bisa mempertahankan kehidupannya, salah caranya adalah bertani untuk menghasilkan makanan. Bertani dalam perkembangannya kemudian tak hanya soal bercocok tanam, namun juga soal budaya, kedaulatan, sosial, ekonomi dan politik. Jadi siapa yang memproduksi apa, dengan cara bagaimana, dan dengan sumberdaya apa adalah pertanyaan penting yang harus dijawab. Namun informasi itu sering tidak tergambarkan dalam data nasional. Ketika informasi tersebut telah tersedia, barulah terlihat bahwa para keluarga petani kecil adalah mereka yang sesungguhnya menyediakan pangan bagi dunia. Sayangnya, keberadaan keluarga-keluarga petani kecil di seluruh dunia sangat dipengaruhi oleh keadaan yang saling terkait dan seringkali tidak berpihak kepada mereka, termasuk kebijakan publik tentang Pertanian Keluarga. Oleh karena itu, upaya penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil, baik perempuan maupun laki-laki yang berdaulat pangan dan bermartabat adalah dengan meningkatkan kebijakan publik tentang Pertanian Keluarga.
Pada saat ini, sekitar 3 miliar penduduk dunia tinggal di daerah pedesaan. Mereka kebanyakan berasal dari keluarga-keluarga yang melakukan kegiatan pertanian, disebut pertanian keluarga (Family Farming), di mana suami dan/atau istri bersama anggota rumah tangga terlibat secara langsung dalam kegiatan usaha tani lain (termasuk beternak, memelihara/menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan non kayu dan lain-lain), dan kegiatan tersebut menjadi sumber utama penghasilan keluarga. Setengah dari jumlah itu, sekitar 1,5 miliar perempuan dan laki-laki petani hidup dari lahan kecil kurang dari 2 hektar, 410 juta orang mengumpulkan hasil hutan dan padang rumput, sementara 100-200 juta orang menjadi penggembala ternak, 100 juta orang berprofesi sebagai nelayan kecil, serta 370 juta lainnya merupakan kelompok masyarakat adat yang sebagian besar bertani. Selain itu, masih ada 800 juta orang bercocok tanam di perkotaan. Keluarga-keluarga petani kecil itu terbatas aksesnya ke lahan dan permodalan, serta teknologi untuk menjadikan pertanian sebagai mata pencaharian yang bernilai ekonomi dan bermartabat.
Itulah gambaran penduduk dunia yang melakukan pertanian keluarga. Pertanian Keluarga sesungguhnya menghadirkan nilai strategis, karena pertanian keluarga memiliki fungsi-fungsi ekonomis, sosial, budaya, lingkungan, dan kewilayahan (teritori). Baik perempuan maupun laki-laki yang terlibat dalam pertanian keluarga menghasilkan 70% pangan dunia. Pertanian keluarga merupakan basis produksi pangan yang berkelanjutan, berupaya mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan, pengelolaan lingkungan/lahan dan keanekaragaman hayatinya secara berkelanjutan, serta menjadi basis pelestarian warisan sosial-budaya yang penting dari bangsa-bangsa dan komunitas pedesaan.
“Oleh karena itu, pada 5-7 Oktober 2011, sebuah Final Declaration of Family Farming World Conference menetapkan tahun 2014 sebagai Tahun Internasional Pertanian Keluarga (International Year of Family Farming/IYFF), yang mengakui pentingnya peran Pertanian Keluarga dalam mengentaskan kemiskinan dunia” terang Ika N. Krishnayanti, ketua Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) Indonesia.
Petani keluarga di seluruh dunia sangat dipengaruhi oleh krisis pangan yang berkaitan dengan krisis keuangan, bahan bakar, dan perubahan iklim. Banyak kebijakan publik untuk mengatasi krisis tersebut tidak tanggap terhadap keadaan terkini, serta kebutuhan petani kecil dan keluarganya. Banyak pula kebijakan organisasi antar pemerintah dan lembaga keuangan internasional yang mengabaikan atau bahkan merugikan pertanian keluarga. Pencaplokan lahan menjadi ancaman terbesar bagi pertanian keluarga dan produksi pangan secara berkelanjutan.
Menurut Ika “Banyak pertanian keluarga, termasuk petani kecil, nelayan kecil/tradisional, masyarakat adat, dan penggembala, terampas asetnya melalui “pengambilalihan” (akuisisi) lahan-lahan atau daerah tangkapan mereka untuk dijadikan perkebunan tanaman ekspor untuk industri dan tanaman pangan atau dijadikan kawasan komersial.” Selain itu, pertanian keluarga berskala kecil ini mengalami keterbatasan akses ke pembiayaan dan pasar, serta memiliki daya tawar yang lemah atas harga-harga produk mereka. Sementara itu, perlindungan dan pemberdayaan keluarga-keluarga petani kecil masih terbatas dalam implementasinya.
Dwi Astuti, Direktur Bina Desa yang juga SC KNPK mengatakan, “Perempuan petani memegang peran penting dalam produksi dan penyediaan pangan bagi keluarga, menjaga lingkungan dan tradisi, serta menerapkan teknik-teknik pertanian yang rendah input kimia sintetis namun efisien, bahkan banyak perempuan yang telah melakukan praktik pertanian organik/alami. Para perempuan berada di depan dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya genetika, mulai dari seleksi benih, panen, penyimpanan, dan sebagainya.”
Ketika dijumpai dilokasi Achmad Yakub, pegiat Bina Desa yang juga ketua SC KNPK Indonesia mengatakan perlunya untuk menjalin dialog dan komunikasi yang berkelanjutan tentang kebijakan Pertanian Keluarga bersama para pihak terkait, seperti pembuat kebijakan, organisasi tani-nelayan, LSM, dan kalangan akademisi sehingga dapat ditindaklanjuti kepada upaya-upaya perbaikan kebijakan publik tentang Pertanian Keluarga. Dengan demikian diharapkan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan serta dukungan publik tentang keragaman dan kompleksitas dari produksi dan konsumsi di dalam sistem pertanian keluarga, petani-nalayan skala kecil/keluarga, termasuk peran perempuan dan pemuda di dalamnya. (###)