Yogyakarta, Bina Desa: Para pendamping dari Bina Desa berkumpul di Yogyakarta, persisnya di Wisma Semedi (19/1), pertemuan masih akan berlanjut dua hari ke depan.
Baik pendamping yang masih aktif mendampingi masyarakat desa bersama Bina Desa mau secara mandiri dan swadaya, sepaham untuk berkumpul dan merefleksikan situasi pedesaan terkini dan tantangannya ke depan.
“Situasinya telah banyak berubah, kita harus segera merefleksikan persoalan pendampingan ini terutama setelah sekian tahun paska reformasi dan sekarang ada pula UU Desa dan wacana pendamping desa. Ihtiyar pendampingan kita mau bagaimana ke depan?”
Menjaga Spirit dan Harapan Baru
Semangat pendampingan yang spiritnya telah ditanamkan bersama selama pernah menjadi pendamping Bina Desa tak usang atau padam dalam diri pada pendamping, malah terus tumbuh dan menyala. Masing-masing terharu dan merasa dikuatkan, tak menduga pertemuan akhirnya bisa berlangsung bahkan tanpa sokongan pendanaan memadai apalagi berlimpah, peserta datang sendiri ke Yogyakarta dengan biaya dan akomodasi sendiri. Bina Desa hanya membantu sebagian dan memfasilitasi tempat pertemuan.
“Saya sangat terkejut, melihat kerelawanan para pendamping yang bersedia datang ke pertemuan ini atas biaya sendiri,” ujar Ketua Pembina Bina Desa, Francis Wahono yang turut hadir dan membuka acara pertemuan tersebut. “Semangat relawan yang luar biasa. Ini yang disebut membalik posisi!”. Ujarnya.
Francis Wahono juga menyatakan bukan soal berapa uangnya yang mesti dikeluarkan, tapi betapa pengorbanan keluarga yang telah diberikan kepada kita.
Pada pagi hari, sesi perkenalan peserta dilakukan dengan cara unik, saling memperkenalkan para peserta yang unik-unik pula. Dalam sesi berikutnya mengumpulkan harapan terhadap pertemuan dan setelah itu akan dilanjutkan dengan diskusi tentang kebijakan dan implementasi pembangunan pedesaan.
Sesi siang pertemuan ini dimulai dengan pemutaran film pendek tentang dokumentasi perjalanan panjang pengorganisasian oleh Bina Desa selama kurang lebih 40 tahun. Kemudian dilanjutkan dengan sharing pengalaman mendampingi selama ini seperti halnya di paparkan oleh para pendamping yang datang dari Aceh, Cut Mala, Lorens, dan Yana.
Pendamping dari Sumbar (Adri, pak Jafrinal, dan Boy), menceritakan pengalamannya dalam mendampingi komunitas Pertanian Alami di Sumbar. Keberhasilannya di kabupaten (Agam) akan ditularkan dan digiatkan ke tingkat provinsi yang tampaknya pendampingan di tingkat ini sempat melonggar.
“Dukungan istri dalam kerja pendampingan sangat berarti,” ujar pak Jafrinal menceritakan sedikit pengalaman pendampingannya. Namun ada juga kendala yang dihadapinya. “Jika kita tidak rajin menyambangi petani-petani sekalipun mereka yang sudah berhasil dalam menjalankan pertanian alami, mereka seringkali kembali ke praktik yang tidak alami, di situ tantangannya”. Jelasnya.
Sementara itu Direktur Ekskutif Bina Desa dalam sesi diskusi juga menyampaikan kekhawatiran sekaligus tantangan kondisi pedesaan hari ini. “Perampasan dan pertarungan perebutan sumber daya di masyarakat kita sudah begitu masif, meski di komunitas masih tampak seperti biasa keadaannya,” ujar Dwi Astuti. “Selama ini kita mengorganisir komunitas, alangkah sayang jika para pendamping komunitas itu tidak mengorganisir dirinya. Itulah alasan dan salah satu arti penting pertemuan pendamping kali ini ada.” Imbuhnya.
Dwi Astuti mendapat sesi pemantik diskusi dengan memaparkan refleksi dan materi seputar Desa dalam Kepungan Kapitalisme Global. Selain Dwi Astuti, Achmad Yaqub juga menjadi pemantik diskusi lainnya difasilitasi Hariadi. Dalam paparannya Yaqub menyatakan betapa seluruh wilayah indonesia sudah habis dikapling-kapling oleh perusahaan asing asing milik beberapa negara kapitalis, baik darat maupun lautnya.
“Hadirnya Undang-Undang Desa pun tidak terlepas dari berbagai kesepakatan asing dan pemerintah Indonesia. Namun, jangan dulu berkecil hati. Masih ada celah, di dalam berbagai UU yang sarat dengan kepentingan pemodal itu.” Ujar Yaqub.
Refleksi
Sementara itu Sekertaris Pengurus Bina Desa, Akhmad Miftah dalam sambutannya menceritakan cuplikan kilas sejarah pendampingan Bina Desa dari sejak Bina Desa belum dikenal publik dan berjuang ke sana ke mari, mendampingi dan membuat seminar di sana sini. Lalu tiga tahun setelah itu Bina Desa mulai bekerja dan bekerjasama dengan LSM, Yayasan mau pun Pondok Pesantren yang mendampingi masyarakat desa. Hal itu berlangsung pada kisaran periode tahun 1989 dan 1987.
“Bina Desa mendampingi LSM-LSM local mau nasional sampai pada hal-hal administrative. “ kenang Akhmad Miftah yang juga Sekertaris Pengurus Bina Desa hari ini.
Hal itu berlangsung sampai ketika Bina Desa beralih strategi pedampingan masyarakat secara langsung. “Kini walau banyak LSM telah mereposisi diri, Bina Desa masih setia pada mandatnya untuk tetap mendampingi komunitas dan masyarakat yang termarginalkan.” Ujarnya. “Pertemuan ini tentu juga wujud dari spirit yang sama dan masih menyala.”
Pada Sesi refleksi dan sharing pendampingan, Pak Sambito misalnya, berbagi pengalaman kerja-kerja pendampingannya di Lampung. “Lampung menjadi tempat pertama reklaiming kita, seluas 10.000 hektar,” ujar pak sam. “Sebagai pendamping, tentu saya tidak kebagian lahan reklaiming itu..”
Saat ini pak sam bersama kelompok sedang mengembangkan pupuk organik untuk kebutuhan kelompok. “Produksi dan pemasaran pupuk organik itu merupakan strategi perlawanan kami terhadap industri pupuk,” lanjut pak sam. “Dengan harga jual yang lebih murah, yaitu rp.15.000 per liter dibandingkan harga pupuk di pasaran rp.40.000/liter, dengan kualitas yg lebih baik dari pupuk konvensional, produk kami mulai diminati petani di seluruh prov Lampung”. Kisahnya bersemangat.
Kini kelompok pak sambito masih menghadapi tantangan berupa ijin edar pupuk buatannya.
Sementara itu Fatah Yasin, berbagi pengalamannya sebagai pendamping pertanian alami. Keberhasilan mengembangkan pertanian organik di kelompoknya ternyata berbuah ketertarikan minat kelompok lain untuk mengembangkan praktik pertanian alami tersebut.
“Sebelum bergabung dengan Bina Desa, kami menamakan sistem pertanian kita dgn pertanian berkelanjutan, lalu bergabung dengan Bina Desa kami namakan NF (pertanian alami)” Ujarnya. “Itu hanya nama, tujuan kami tetap sama”.
Menurut pengakuannya, akan sulit menjalankan pendampingan pertanian alami ini jika kita tidak mendapat dukungan dari keluarga. “Semula kalau saya pulang dini hari, wajah istri selalu masam, tapi jika para istri kita ajak untuk bertemu membahas pertanian ini, maka tidak jadi persoalan lagi dalam keluarga,” tambahnya. “Bahkan para perempuan kini membentuk kelompoknya sendiri”.
Akan Ada Pertemuan Pendamping Lebih Besar
Kegiatan ini diikuti oleh 35 orang pendamping dari Aceh, Sumut, Sumbar, Palembang, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulbar, dan Sulsel. Nining Erlina Fitri selaku panitia pertemuan menyebut pertemuan masih membahas refleksi terkait tantangan kehidupan rakyat di pedesaan di masa datang dan pola-pola pengorganisasian baru yang memungkinkan.
“Saat ini teman teman merefleksikan pengalaman mereka mendampingi di wilayah masing – masing. Terutama dalam mendorong kemandirian petani melalui praktik pertanian alami, lembaga ekonomi, koperasi dan kesulitan yang mereka hadapi dalam mengorganisir.” Ujarnya ketika dihubungi Binadesa.co via WhatsApp.
Harapannya ke depan dari pertamuan ini ada organisasi yang menjadi wadah bagi pendamping rakyat pedesaan untuk saling menguatkan satu sama lain dan membuat pengorganisasian menjadi lebih massif dan punya dimensi serta daya jelajah yang tidak hanya tepat tapi dampaknya nyata dan lebih luas. “Dengan bertemunya pendamping ini secara mandiri, saling berbagi pengalaman, dan saling menguatkan, jalan menuju kedaulatan desa semakin terbuka lebar.” Tagas Nining.
“Katakan kita berharap ke depan gerakan social akan lebih terstruktur, sistematis dan massif” imbuh Lily Noviani Batara selaku Ketua Panitia Pertemuan tersebut.
Sementara itu menanggapi opini dan pertanyaan publik terkait tidak berangkatnya sebagian besar pedamping Bina Desa, terutama yang lebih terdahulu di tahun-tahun awal pendampingan Bina Desa, Nining dan Lily menjelaskan bahwa hal itu terutama karena alasan regenerasi, soal efektifitas dan waktu. “Menngingat juga pertemuan ini tidak ada sponsor dan berlangsung swadaya. Tapi yang lebih utama adalah memberi ruang bagi generasi yang lebih ke sini melead sebelum kemudian memperluasnya ke lebih banyak pendamping lain.” Ujar Lily.
“Jadi pertemuan ini salah satunya akan menghasilkan cara dan skema yang memungkinkan ada pertemuan lebih besar dengan lebih banyak pendamping yang terlibat.” Ujar Nining penuh harapan. Amin.