Sekitar tiga miliar penduduk dunia tinggal di pedesaan. Mereka adalah keluarga-keluarga yang melakukan kegiatan pertanian atau disebut pertanian keluarga (family farming). Bahkan, pertanian keluarga menghasilkan 70% pangan dunia. Namun, hal tersebut belum dibarengi dengan kebijakan pendukung yang efektif dari pemerintah. Salah satu aksi global untuk mendukung kemajuan Pertanian Keluarga adalah mendirikan komite nasional pertanian keluarga di berbagai negara. Indonesia menjadi salah satu negara yang telah mendirikan Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) yaitu pada Juli 2014.
Saat ini KNPK Indonesia beranggotakan 13 organisasi petani, nelayan, lembaga swadaya masyarakat, pemuda, dan konsumen, yaitu Aliansi Organis Indonesia (AOI), Aliansi Petani Indonesia (API), Aliansi Perempuan Petani Indonesia (APPI), Bina Desa, Field, FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia), FPSS (Federasi Petani Sulawesi Selatan), IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), IPPHTI (Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu), Sains (Sayogyo Institute), Slow Food Jabodetabek, SNI (Serikat Nelayan Indonesia), SPPQT (Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah).
Sayangnya, keluarga-keluarga petani kecil itu sering terdampak oleh keadaan yang tidak mendukung mereka, termasuk kebijakan publik tentang Pertanian Keluarga di negara masing-masing. Di Indonesia sendiri, sekitar 5 juta keluarga keluar dari dunia pertanian dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Untuk itu, Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) menyelenggarakan lokakarya “Kebijakan Publik mengenai Pertanian Keluarga untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kecil yang Berdaulat Pangan dan Bermartabat” pada 23-24 November 2016 di Swiss-Belresidences Hotel Kalibata. Pada lokakarya ini, para panelis dan anggota KNPK terlibat diskusi seru seputar Pertanian Keluarga.
Beberapa tema yang dibicarakan antara lain kebijakan pemerintah dalam peningkatan kualitas pertanian keluarga secara umum, serta kebijakan dalam meningkatkan partisipasi perempuan dan generasi mendatang dalam pertanian keluarga dengan mengundang beberapa tokoh dan pengambil kebijakan sebagai panelis, seperti Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz Anggota DPR RI Komisi VI, Riza Damanik (Ketua Umum DPP KNTI), Gunawan (IHCS), Lily Noviani Batara (Bina Desa), dan Eko Novi Ariyaniti (KPPA).
Pertanian keluarga yang menopang sebagian besar kebutuhan pangan Indonesia berperan penting dalam menjaga ketahanan pangan di Indonesia. Namun, ketahanan pangan masih memiliki hambatan. Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz Anggota DPR RI Komisi VI memaparkan, untuk menuju kedaulatan pangan, ada 7 syarat yang harus dicapai, yakni pembaruan agraria; adanya akses rakyat terhadap pangan; penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan; pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan; pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi; melarang penggunaan pangan sebagai senjata; serta pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.
Di sesi berikutnya, Riza Damanik Ketua Umum DPP KNTI memaparkan mengenai permasalahan pada usaha kecil perikanan. Menurutnya, masalah terbesar dunia perikanan di Indonesia, yakni sekitar 66%, ada pada permodalan. Sebagian besar pelaku perikanan di Indonesia masih berkutat di skala kecil. Pada perikanan tangkap misalnya, hanya 13% yang hasil tangkapannya di atas 10 gross ton. Pada perikanan budidaya, 54% pebudidaya ikan masih menggunakan lahan dengan luas di bawah 1 hektar. Pada industri pengolahan ikan pun hanya ada sekitar 1% yang beroperasi dengan skala besar, selebihnya sebanyak 99% masih bersifat Usaha Menengah dan Kecil Menengah (UMKM).
Selain modal, persoalan lainnya yang menyelimuti dunia perikanan Indonesia menurut data yang dipaparkan Riza adalah adalah pasar yang tidak adil, jauh, dan sulit diakses sebesar 13%; ketidakmampuan mengelola usaha sebesar 11%; penguasaan teknologi yang masih rendah 5%; mitra usaha yang sedikit dan tidak adil serta tidak menguntungkan sebesar 2%; dan terakhir kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni sebesar 2%.
Ada pula soal perempuan tani yang perannya penting dalam pertanian keluarga. Perempuan memiliki porsi peran yang kurang lebih sama dalam pengelolaan pertanian keluarga, dan cenderung unggul pada aspek distribusi dan pemasaran. Data tersebut dikemukakan oleh Lily Noviani Batara (Anggota Steering Committee KNPK Indonesia/Deputi SPR) selaku salah satu narasumber. Walaupun demikian, peran perempuan tani kian tergerus seiring berjalannya waktu. Jika dulu perempuan memiliki akses penuh terhadap pembibitan benih serta distribusi dan pemasaran, dengan adanya liberalisasi, peran tersebut direnggut oleh berbagai pihak, seperti benih yang kini diproduksi oleh perusahaan, serta distribusi dan pemasaran dikuasai para tengkulak. Perempuan kini kian menjadi sekadar pekerja murah dalam sektor pertanian.
Adanya diskusi hangat antara Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anggota KNPK dengan para ahli dan pengambil kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran terutama di antara pembuat kebijakan akan persoalan yang terjadi dalam pertanian keluarga serta mendorong pemerintah untuk membangun lingkungan yang kondusif bagi kebijakan publik yang mendukung pertanian keluarga.
Saat ini KNPK Indonesia sendiri sedang melakukan berbagai kegiatan, di antaranya advokasi kebijakan publik mengenai Pertanian Keluarga, dialog kebijakan dengan multi pihak, penelitian, penyadaran masyarakat, dokumentasi, dan penyebarluasan informasi mengenai Pertanian Keluarga dalam berbagai bentuk. (###)