“Pemerintah lupa bahwa pertanian Indonesia basisnya adalah pertanian keluarga dan bukan industri. Lebih-lebih kalau kita hitung penyedia pangan non beras, jagung dan kedelai,” ujar Muhammad Nuruddin, Sekjen Aliansi Petani Indonesia (API)
Menurut Gus Din, panggilan akrabnya, setahun Pemerintahan Jokowi-JK masih memperlihatkan sektor pertanian dibangun lewat cara-cara industrialisasi pertanian seperti di eranya Rezim Suharto. “Yang itu sumbangsihnya terhadap GNP hanya akan dinikmati oleh perusahaan-perusahaan pertanian yang memang hampir menyediakan hampir semua kebutuhan pertanian hari ini,” paparnya dalam Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun Pertanian Indonesia 2015: “Kedaulatan Pangan dan Reforma Agraria Telah Dibajak Oleh Kekuasaan Pasar”.
Di sisi lain, Henry Saragih melihat, hal tersebut tak lepas dari tekanan internasional yang tidak menginginkan Indonesia berdaulat dari segi ekonomi, khususnya dari sektor pertanian. Sehingga, saat ini Indonesia terus-menerus dijegal untuk melakukan Reforma Agraria. Selain itu, pemerintah pun tidak pernah memberikan kesempatan petani untuk berpartisipasi.
“Malah mereka (pemerintah) berencana melelang kepada sebuah lembaga konsultan untuk membuat Peraturan Presiden (Perpres) tentang RA. Jadi soal segawat itu diserahkan pada konsultan swasta bukan atas musyawarah bernama petani atau ormas petani,” Jelas Sekjen Serikat Petani Indonesia (SPI) tersebut.
Di samping itu, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah dilaksanakan saat ini kian membuat fatal sektor pertanian Indonesia. Pasalnya, akan memebebani petani Indonesia karena pemebebasan tarif masuk. “Contoh impor buah, buah impor masuk gratis langsung ada di pasar. Buah kita sejak metik diladang sudah ada tarif dan pajak yang rente. Sampai pasar harganya tentu jadi lebih mahal. Lalu apa juga kerja bea cukai ini?,” tanya Gus Din, heran. Menurtnya, MEA pun tak semata masuk barang dari luar, melainkan soal kedaulatan negara.
Senada dengannya, Henry Saragih melihat, bahwasanya pihak asing sadar akan potensi pasar Indonesia. Namun, pemerintah kerap lupa potensi yang dimiliki Indonesia. “kita enggak harus ekspansi global lah, 240 juta ini cukup untuk pasar bagi produsen kita. Jadi pemerintah mestinya jangan impor dan jangan MEA,” Henry menganjurkan.
Henry kemudian menambahkan, pemerintah harus mengembalikan konsep mau pun program seperti yang tertera dalam nawacita. Pertanian aktor utamanya harus keluarga petani. Bukan korporasi. “Karena jelas pangan kita selama ini diproduksi oleh keluarga petani. Korporasi cuma bisnis dan ekspor saja,” pungkasnya.
Gus Din pun ikut menambahkan, sistem pertanian yang saat ini konvensional mesti diubah menjadi sistem pertanian alami. Makanya, benih dan pupuk jangan lagi diproduksi oleh pabrik-pabrik yang menggunakan bahan kimia. Karena menurutnya, justru hal demikian yang membebani keuangan negara dan ketergantungan pada impor. “Tekonologi tepat guna juga mesti diberdayakan dalam negeri. Bengkel-bengkel di masyarakat bisa kok itu bikin dan dimanfaatkan,” tegasnya.
Saat ini, pertanian Indonesia sedang mengalami krisis karena ketergantungan dengan barang-barang impor. Mulai dari alat tanam, traktor, mesin panen yang mengakibatkan hilangnya lapangan kerja di pedesaan. Menurut Henry, situasi tersebut harus dirombak oleh pemerintah. Pemerintah pun harus membangun koperasi di desa-desa sebagai pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
“Bukan gapoktan-gapoktan yang sudah dibuat sejak Orba untuk ngurusi bantuan dan tak jarang di elitnya saja. Harus dibuat kelembagaan petani yang lebih adil dan demokratis,” tegasnya. Asuransi perlu ditanaman khususnya holtikultura. Itu perlu asuransi sebagai penjamin. Atau di sawah-sawah yang irigasinya terbatas. Jangan malah kebalik-balik,” tambahnya lagi.
Hal senada dikemukakan Agustin Pulungan, bahwa negara harus memandatkan lembaga pembiayaan untuk petani. Karena sampai saat ini belum ada satu pun lembaga penjamin. “BRI Malah kerjasama membiayai penyebaran transegenik misalnya. Ini logikanya gimana?,” katanya, kecewa.
Ia meneruskan, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang saat ini masih berpatokan pada Jawa karena tenaga kerjanya mudah. Padahal seharusnya bervariasi. Pasalnya, pelaku konsumen pun sudah sangat beragam. Mulai dari kelas premiaum sampai beras yang kelas biasa. HPP baru dianggap mampu fleksibel berdasar kualitas, variates atau wilayahnya. “Dan biar organisasi tani yang berperan menentukan hal itu. petani kita rata-rata pendapatannya 500 ribu perbulan. Bayangkan mereka tanam tapi tak bisa beli berasnya sendiri?,” ungkapnya, prihatin.
Ia pun berpesan, bahwasanya bentuk lahan pertanian Indonesia sangat khas. Untuk itu, tak bisa sembarang teknologi diterapkan dan direkayaasa. “Cara lokal lebih cerdas. Jadi jangan misal Jepang mau investasi teknologi lalu petani dipaksakan pake, sementara tidak cocok dengan cara-cara mereka,” jelasnya lagi. (SC)