Bina Desa

Pertanian Alami, Perempuan dan Reforma Agraria Adalah Satu Paket

Demi mendorong dan makin memantapkan pelembagaan desa mandiri khususnya di wilayah dampingan Bina Desa, pada ranah pertanian alami Bina Desa mentargetkan peningkatan perluasan Pertanian Alami dari 183 ha menjadi 320  Ha, dari 66 Rumah Tangga menjadi 115  Rumah Tangga.

Salah satu tantangan terberat selama ini dalam mengembangkan pertanian alami salah satunya adalah persoalan lahan yang sempit. Petani yang mau mempraktikan pertanian alami tidak punya lahan, kalau pun ada sangat sempit. Mereka lalu menyewa lahan. Seiring proses praktik pertanian alami lahan yang tadinya rusak akibat obat kimiawi dalam praktik pertanian konvensional lalu jadi subur. Setelah lahan subur kembali, lahan diambil alih kembali oleh pemiliknya. Petani penggarap kembali tidak punya apa-apa. Mereka hanya jadi buruh penyubur tanah.”

Temuan itu terungkap dalam rapat program sekertariat Bina Desa di Ciawi pada 26-30 Juli 2011.

Oleh karena itu, menurut Dwi Astuti, basis orientasi pertanian alami haruslah satu paket dengan reforma agraria, yaitu bagaimana petani memiliki tanah dan menggarap tanahnya dengan cara pertanian alami beserta prinsip-prinsip kemandirian dan kedaulatan yang menyertainya. Jadi tidak bisa pertanian alami dan agenda reforma agraria dipisahkan satu-satu, harus satu paket utuh antara keduanya.” Kata Direktur Ekskutif Bina Desa itu.

Selain dari pada persolan sempitnya lahan, Dwi Astuti juga menyatakan bahwa perempuan dan pertanian adalah hal yang tidak bisa dipisahkan apalagi mengabaikan peran perempuan. “kalau dilihat di lapangan, pengelola lahan atau tanah itu sebenarnya lebih banyak oleh perempuan, bahkan mengangkut pupuk dari kotoran kerbau pun perempuan yang melakoni, sementara yang laki-laki orientasinya lebih kepada perdagangan hasil panennya. Jadi melihat fenomena itu, perempuan sama sekali tidak bisa diabaikan perannya dalam dunia pertanian alami, perempuan dan pertanian alami adalah dua sisi mata uang yang sama.” Tegas Dwi Astuti.

Target 320 hektar

Sementara itu kepala bidang pertanian alami sekertariat Bina Desa, Lily Noviani Batara menyatakan dalam setahun kedepan Bina Desa targetkan 320 hektar dengan 115 keluarga petani kecil. “Bina Desa juga akan memferifikasi tanamannya apa saja, apa hasil panennya dijual atau untuk konsumsi sendiri.” Kata Lily.

Lily juga menjelaskan sementara ini yang sudah berjalan ada 137 hektar di seluruh wilayah komunitas dampingan Bina Desa. Setahun kedepan kami berharap luasan lahan bisa mencapai 320 hektar.

Dalam rapat program yang berlangsung 6 hari di Ciawi itu, lewat presentasi dan refleksinya Lily juga menyoroti persoalan pragmatisme yang juga tidak luput dari proses pengembangan pertanian alami. Dan pemerintah dalam beberapa hal bersumbangsih besar dalam karakter pragmatis yang menjangkiti petani. “kedepan harus di evaluasi dan harus tegas, jangan ada kecenderungan Pragmatis, kalau ada kerjasama pemasaran dengan pemerintah atau dinas Pertanian di wilayah dampingan misalnya. Hal itu harus di evaluasi karena akan mengaburkan siapa petani dan siapa pedagang. Yang penting harus dijaga adalah idiologi dan substansi mengapa orang mempraktikan pertanian alami. Jadi kalau mau kerjasama dengan pemerintah atau dinas harus jelas dan tegas. Petani harus dipastikan memiliki daya tawar dan posisi yang seimbang untuk bernegosiasi.” Ujar Lily. “Salah satu prinsip pertanian alami adalah harus terorganisir, bukannya individual. Jadi kedepan harus ada penguatan oraganisasi rakyat dalam praktik pertanian alami.” Imbuh Lily Noviani Batara selaku kepala Bidang Pertanian Alami sekertariat Bina Desa.

Kekhawatiran Lily memang cukup beralasan. Senada dengannya, Akhmad Miftah  menyatakan selama ini pemerintah mentargetkan Go Organik pada 2014, dinas di dairah lalu seperti berlomba-lomba untuk mencapai target yang ditetapkan pemerintah pusat, sayangnya lebih banyak untuk kepentingan politis dinas masing-masing atau kepala Dinas di dairah. “yang terjadi justeru pemerintah memanfaatkan kader-kader tani yang awalnya mempraktikan pertanian alami dengan idiologis dan filosofi kemandirian dan kedaulatan petani. Tapi seringkali pemerintah justeru merusak instrument dan pola nilai kemandirian dalam idiologi pertanian alami hanya karena pragmatisme pemerintah atau Dinas Pertanian.” Papar Miftah. “Oleh karena itu, pendampingan di komunitas pelaku pertanian alami juga harus seiring dalam membangun hubungan  kritis dengan institusi pemerintah dan swasta terkait dengan pangan dan pertanian,  sehingga mampu mempengaruhi kebijakan pertanian yang berpihak kepada rakyat di tingkat lokal, nasional dan regional.” Pungkasnya.

Menggagas pelembagaan Desa Mandiri

Pembangunan pedesaan yang mandiri adalah hal strategis ditengah pemiskinan structural di pedesaan dan pembangunan yang berorientasi kapitalistik. Memperkuat dan mendorong pelembagaan desa mandiri menjadi salah satu tujuan umum yang dihasilkan dalam rapat program Bina Desa. KSP (Komunitas Swabina Pedesaan) adalah target kerja besar Bina Desa, yaitu terwujudnya sebuah komunitas perdesaan yang berdaulat dalam sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik.

Tujuan umumnya adalah bagaimana mengubah posisi dan kondisi sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik di masyarakat pedesaan di tingkat lokal dan nasional yang berkeadilan gender. Proses itu diharapkan bisa menghasilkan suatu kondisi masyarakat yang lebih berkeadilan, mandiri dan sejahtera. “kami mengharap akan ada kondisi dimana posisi tawar masyarakat desa akan menguat, menguatnya posisi tawar yang dilandasi oleh kesadaran kritis dalam sosbud, sosek dan sospol yang berkeadilan jender.” Ujar Direktur Ekskutif Bina Desa, Dwi Astuti.

Indikatornya menurut Dwi Astuti, beberapa diantaranya adalah “Pertanian alami menjadi budaya pertanian rakyat, selain itu Komunitas juga dapat terlibat dalam pembahasan kebijakan mulai dari desa sampai kabupaten. Perempuan pedesaan terlibat secara aktif dalam proses perumusan kebijakan di desa sampai dengan kabupaten. Memiliki sumber pendanaan secara kolektif. Memiliki mekanisme pengambilan keputusan secara musyawarah, dan komunitas mengelola sumber penghidupan secara berkelanjutan.” Terang Dwi Astuti.

 

Scroll to Top