“saya kira pertanian alami harus diterapkan lebih luas. Di Salasse sendiri pendidikan pertanian alami sudah akan dijadikan mutan lokal di SMP dan SMA di sana”
Meskipun masyarakat Indonesia profesinya adalah masyoritas petani, namun minim sekali mendapat pemberdayaan dan pengembangan kemampuan dalam bertani dari pemerintah. Justru saat ini, profesi sebagai petani tidak lagi memiliki nilai kebanggaan, bahkan di masyarakat petani sendiri. Hal ini memang bukan tanpa sebab, proses deagranisasi yang dilakukan penguasa membuat posisi dan peran petani nampak marjinal. Bahkan, tak jarang para petani kemudian tak ingin anaknya berprofesi seperti mereka.
Hebatnya proses pemarginalan tersebut, tetap saja dalam lubuk hati mereka bangga dan dalam perasaannya pada profesi ini. Hal tersebut semakin terlihat jika mereka dibangkitkan kesadarannya untuk berorganisasi. Awalnya memang sulit, tapi seiring proses sosialisasi dan penyadarannya mereka akhirnya justru antusias. Seperti yang terjadi pada Komunitas Swabina Pedesaan (KSP) Salassae yang ketika berdiri hanya mendapat 2 orang anggota. “Saya sendiri perantau dari Malaysia. Dua tahun di penjara karena ketegangan kasus tanah di Bulukumba bersama Armin dan Khadafi, ” ujar Ponnong yang saat ini merupakan Ketua KSP Salassae. “Saya terpaksa pergi sejak kasus itu, kabur tanpa dokumen legal membuat saya dipenjara di negeri Malaysia,” kenangnya pria 43 tahun tersebut disertai kelakar renyah.
Pendirinya sendiri, Armin Salassae, sebelumnya merantau ke Jakarta dan pulang kembali ke tanah kelahirnya setelah kurang lebih 4 tahun bekerja di Sekertariat Bina Desa Jakarta. “Armin mengajak kami berkelompok, itu aneh, saya sendiri ga maksud apa itu kelompok.” Bahkan ia mengaku tak banyak keahilannya, “Saya tahunya berkelahi,” tutur Ponnong, kelakarnya pecah lagi.
Pertama kalinya membuat kegiatan dengan beternak ayam. Dibangunlah kandangnya di areal seluas 1,5 hektar. Tapi naas, karena keterbatasan kemampuan itu, 100 ekor ayam dalam tiga bulan semuanya mati. “Kami pemula dan ga tahu cara beternak,” sesalnya. “Lalu kami berkenalan dengan Lily Noviani Batara. Saya kumpulkan 48 orang. ‘Ada apa ini? Tanya mereka’. Saya bilang ada pertanian alami.”
Dimulai dengan 3 orang yang mempraktekannya. “Tapi karena ga tahu caranya diterapkan pertanian alami “murni”, maksudnya ga dikasih input apa pun dan hasilnya tak jauh dengan saat pakai sistem kimia,” jelasnya lagi. Perubahan baru terasa ketika mereka sudah mengenal tekniknya. “Baru kami belajar dan praktek pertanian alami setelah mendapat pendidikan.”
Ponnong menuturkan, tahun 2014 mereka sudah punya unit pertanin alami, pangan dan peternakan. Perkembangannya cukup pesat dan petani masyarakat pun sangat antusias mengikutinya. “Kami juga punya kelompok pertanian alami dengan anggota 100 perempuan yang mengurusi sayuran, pangan olahan dan bunga,” akunya, bangga.
Pertanian alami membuat masyarakat optimis dengan profesinya sebagai petani. Mereka menemukan jatidiri sehingga hal ini harus terus dikembangkan di tanah kelahirnya untuk generasi yang akan datang. Menurutnya, “.. saya kira pertanian alami harus diterapkan lebih luas. Di Salasse sendiri pendidikan pertanian alami sudah akan dijadikan mutan lokal di SMP dan SMA di sana,” ujar Ponnong bersukacita. “Kami di Salassae sudah komunikasi dengan pihak kepala sekolah dan dinas pendidikan,” tambahnya.
Saat ini komunitas Salassae terus bekerja dan menebar semangat kemandirian ke daerah lain. Dengan memperluasnya ke 14 kabupaten dan seterusnya.
Hamzah, pelaku pertanin alami dampingan Bina Desa di Polman menyampaikan pengalaman senada. “Saya dimarahi bapak saya, karena gagal itu praktek pertanian alami awalnya. Tapi saya bilang coba sekali lagi dan saya berhasil. Sekarang hasilnya 1,5 lebih baik dari cara konvensional, ” aku pemuda 21 tahun tersebut mengisahkan. “Saya berterimaksih dengan Bina Desa menyadarkan saya kembali identitas saya sebagai petani. “Saya akan bertani dan ajak satu kampung saya bertani alami,” ujar Hamzah bersemangat.
Prof. Maksoem Makhfoedz, pembina Bina Desa, menilai tak hanya kemampuan dan keberhasilan mereka bertahan, tapi juga mereka mengambil pelajaran untuk berjuang, bahkan di tengah situasi politik dan kebijakan negara yang kerap ngawur. “Daya mereka menghadapi pengalaman kegagalan justru akan menguatkan dan memberi contoh pada publik lebih luas,”kata Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut.
Sri Rahayu juga menangkap semangat dan rasa bangga yang sama, bagaimana di tengah banyak generasi muda bermigrasi ke kota atau ingin jadi pejabat, ada anak muda yang memilih bertani, “dan bangga dengan identitas pertaniannya,” tutur ibu yang biasa disapa bu Yayuk itu. (*)