Bina Desa

Pertanian Alami Jalan Kedaulatan Pangan

BINA DESA, Aceh: Yayasan Bina Desa – Wilayah Program Aceh Barat menyelenggarakan Seminar Peringatan Hari Pangan Sedunia Ke 35, (20/20). Mengngkat tema “Pertanian Alami Sebagai Upaya Mewujudkan Kedaulatan Pangan” Bina Desa ingin mendorong pertanian alami dan agenda reforma agraria sebagai jalan nyata mewujudkan kedaulatan pangan.

Mardiyah Basuni, Koordinator Bina Desa untuk wilayah Aceh menyatkakan Kedualatan Pangan yang dicanangkan Presiden Jokowi hanya akan menyentuh kebijakan luaran saja, kecuali jika petani sendiri diberdayakan dan sektor pertanian diperkuat. “Kita sudah mendorong pertanian alami di Aceh sejak 3 tahun terakhir dan perkembangannya sangat signifikan. Peningkatan penurunan angka kemiskinan bisa ditekan di wilayah dampingan kami. Tentu saja karena pertanian alami membuat petani bisa berhemat dalam biaya produksi hampir sampai 80%.” Terangnya.

Mardiyah juga merinci perkiraan matematis praktek pertanian alami. Disebutnya, biaya produksi perhkatr di Aceh yang biasanya mencapai 1-2 juta sekarang bisa ditekan sampai Rp. 150.000. “Petani memanfaatkan bahan lokal dan semua sumberdaya alam disekitar mereka sendiri. Pupuk, nutrisi, dan pestisida juga tidak harus beli karena bisa dibuat dengan bahan lokal yang mudah dijumpai masyarakat.” Jelas MArdiyah.

Dalam sejarahnya, penguatan sektor pertanian bukanlah isu baru, integrasi sektor pertanian dan industrialisai pernah menjadi paket tunggal yang seiring sejalan setelah kemerdekaan 1945. Alasannya karena sektor pertanian merupakan penyerap utama tenaga kerja. Perampasan tanah pada masa kolonialisme yang menyebabkan petani menjadi buruh tani, atau proses guremisasi petani harus diatasi sebagai tanggung jawab negara merdeka dan semangata anti kolonialisme. Tanah harus dikembalikan kepada para petani penggarap, penguasaan dan pemilikannya harus ditata ulang sehingga petani yang merupakan populasi terbesar mendapat pekerjaan. Produktifitas pertanian akan menjadi landasan utama industrialisasi nasional. Sehingga hal itu mengasumsikan tiada industrialisasi tanpa fokus pada pemajuan sektor pertanian.

IMG_7056 (2)Namun demikian setelah kebijakan “developmantalisme” atau yang lebih dikenal dengan pembangunanisme dan strategi “Revolusi Hijau”  diterapkan pemerintah Orde Baru, sektor pertanian hanya menjadi sapi perahan bagi sektor industri. Sementara upaya reforma agraria tidak pernah lagi terjadi. Upaya untuk mengembalikan tanah dan meredistribusikannya seacara adil kepada petani penggarap yang terampas pada masa kolonialisme sama sekali tak pernah ada. Padahal pemajuan sektor pertanian tanpa refroma agraria sama sekali tak ada artinya kecuali hanya melanggengkan kemiskinan petani.

Karenanya kedaulatan pangan harus juga dimaknai sebagai politik pertanian yang lebih maju tidak semata pada soal ketersediaan pangan, impor mau pun soal ekspor pangan semata, tapi harus juga menyentuh masalah pokoknya yaitu tanah dan sektor produksinya. “Kemiskinan petani karena tak memiliki lahan produksi dan nir perlindungan negara.” Kata Mardiyah.

Mardiyah juga menyatakan “Melalui reforma agrarian Bina Desa mengkampanyeken agar petani mendapat tanah sebagai upaya penciptaan lapangan pekerjaan oleh negara. Tanah pertanian yang dikelola dengan sistem pertanian alami menjadi upaya perwujudan kedaulatan pangan yang sesungghnya.” Jelas Mardiyah selaku koordiantor program Bina Desa untuk wilayah Aceh.

Bina Desa meminta supaya pemerintah jangan tambal sulam dan retorika saja. Kedaulatan pangan yang dicanangkan jangan berhenti pada soal sekedar tidak impor. Tapi harus menyentuh pada persoalan pokoknya yaitu persoalan pertanan itu sendiri. Selama ini analisanya biaya produksi menjadi beban utama usaha pertanian, pupuk mahal, pestisida dan nutrisi yang mahal dan langka jadi problem utama petani. Akibatnya hasil yang tak seberapa segera tergerus oleh mahalnya kebutuhan yang dibutuhkan untuk produksi oleh petani. Sehingga petani pun minim daya belinya.

“Belum lagi banyak dari kita masih menutup mata akan fakta bahwa revolusi hijau juga telah menghancurkan budaya tani di mana peran perempuan begitu kaya dan strategis. Masuknya input teknologi yang dibarengi dengan budaya patriarkhi kian meminggirkan perempuan dari lapangan pekerjaan di sektor pertanian. Ini tidak disadari bahwa terpinggirnya perempuan dari pertanian juga berdampak negatif bagi produktifitas dan tingkat kemiskinan di Indonesia.” Papar Direktur Ekskutif Bina Desa, Dwi Astuti.

“Petanian alami senidi, yang sistemnya dengan memanfaatkan sarana dan apa yang disedikan di alam dari lokalitas wilayah masing-masing daerah, memungkin petani menekan biaya produksi pertaniannya bahkan sampai menjadi 0%. Biaya perhektar yang biasanya mecapai 1,5 juta, di Jawa dengan sistem pertanian alami bisa ditekan menjadi hanya Rp. 250.000 sementara di Aceh bahkan bisa menjadi Rp. 50.000. dan yang terpenting, dalam pertanian alami, posisi dan peran perempuan dalam menggarap lahan lebih adil, mereka adalah ujung tombak dalam memproduksi nutrisi, pestisida dan perawatan tanaman” Imbuhnya.

Bina Desa meyakini bahwa kedaulatan pangan tidak mungkin terwujud ideal tanpa menempuh jalan pertanian alami yang tidak hanya lebih ekonomis tapi juga selaras dengan alam.

“Pemerintah kan mengadopsi SDGS / Pembangunan Paska 2015 yang menekankan pada upaya mengatasi perubahan iklim dan ramah alam, tapi anehnya pemerintah tidak menunjukkan dukungan nyata pada pengembangan pertanian alami. Yang ada, kalau pun labelnya pertanian organik, itu hanya mengganti dari pupuk kimia menjadi pupuk organik, tapi petani masih tetep harus membeli. Petani tidak dididik untuk memanfaatkan bahan lokal dan membuat sendiri. Padahal pertanian alami itu sebenarnya bisa diproduksi sendiri, jadi tidak harus beli.” Jelas Mardiyah Basuni.

Bina Desa telah mengembangkan pertanian alami sejak sepuluh tahun terakhir. Tidak hanya di Aceh tapi juga di Jawa dan di Sulawesi. Pertanian alami merupakan program utama yang dipercayai bagi peningkatan kesejahteraan petani, produktifitas pertanian dan keberlanjutan lingkungan sehingga kedaulatan pangan yang sesungguhnya bisa mudah diwujudkan.

Dalam Rangka memperingati hari pangan sedunia (HPS) ke 35 Bina Desa yang telah lama mengembangkan pertanian alami di Meulaboh Aceh dan telah mendapatkan dukungan baik dari tokoh lokal mau pun pemerintahan Kabupaten, menyelenggarakan seminar sebagai bentuk kampanye dan peningkatan pengatahuan bagi masyarakat dan pemangku kebijakan agar upaya perwujudan kedaulatan pangan sejati harus dibarengi dengan sistem pertaian alami.

Perempuan dan Pertanian Alami

Seminar itu juga media kampanye bahwa Pertanian Alami merupakan bentuk nyata dari perwujudan keadilan khususnya bagi perempuan. Pertanian alami memungkinkan perempuan kembali menjadi aktor utama pertanian. Selama ini pertaian konvensional yang mengandalkan teknologi dan input mekanik telah meminggirkan perempuan dan mengasingkannya dari lahannya sehingga terpaksa harus tersingkir ke sektor non pertanian yang rentan sepetri menajdi tenaga kerja asing.

“Banyaknya TKW (Tenaga Kerja Wanita) adalah fenomena dari gagalnya pertanian konvensional yang meminggirkan petani.” Kata Mardiyah Kembali.

Setelah sekian lama Indonesia menjalankan kebijakan penyesuaian struktur dalam pertanian-pangan, terjadi perubahan secara mendasar dalam seluruh sistem pertanian-pangan yang dapat kita lihat antara lain seperti; Privatisasi pangan oleh perusahaan agribisnis dengan cara menciptakan benih hibrida dan benih transgenik. Privatisasi pangan yang dilakukan perusahaan agribisnis telah menggusur ribuan jenis varietas padi lokal yang biasa dibudidayakan oleh perempuan petani.

“Perempuan petani tidak hanya kehilangan pengetahuan, pengalaman dan ketrampilannya dalam membudidayakan benih padi lokal tetapi juga terlempar dari seluruh kegiatan rantai pertanian karena semuanya telah dibuat dan disediakan oleh industri pertanian.”

Atau dengan kata lain perempuan petani telah kehilangan pekerjaannya.  Hal ini juga dibuktikan oleh data dari BNP2TKI dimana selama empat tahun terakhir (2011-2014) jumlah tenaga kerja Indonesia keluar negeri atau buruh migran didominasi oleh perempuan. Jumlah  penempatan TKI tahun 2011 sebanyak 586.802 orang, terdiri dari 376.686 TKI perempuan (64 persen) dan 210.116 TKI laki-laki (36 persen). Tahun 2012 sebanyak 494.609 TKI, terdiri dari 279.784 TKI perempuan (57 persen) dan 214.825 TKI laki-laki (43 persen). Tahun 2013 sebanyak 512.168 TKI, terdiri dari 276.998 TKI perempuan (54 persen) dan 235.170 TKI laki-laki (46 persen).  Tahun 2014 sebanyak 429.872 TKI, terdiri dari 243.629 TKI perempuan (57 persen) dan 186.243 TKI laki-laki (43 persen).

Dalam perkembangannya, penyesuaian struktur tersebut memudahkan jalan bagi liberalisasi perdagangan pangan-pertanian yang diusung oleh organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization-WTO) melalui perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture-AoA). Perkembangan ini berimplikasi pada terbukanya akses pasar seluas-luasnya, dengan mengurangi (menghapus) pajak impor dan menghapuskan jumlah/kuota impor pangan, serta mengurangi subsidi domestik (lokal) untuk pertanian negara berkembang. Sementara untuk negara maju tetap diperbolehkan memberi subsidi bagi petaninya.

“Bina Desa sangat berharap Pemerintahan Jokowi berkenan mewujudkan reforma agraria, pemajuan sektor pertanian melalui pertanian alami, keadilan bagi petani perempuan, dan kedaulatan pangan yang lebih nyata dan berkeadilan bagi laki-laki dan perempuan.”

Penddk Kepemimpian Perempuan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dalam agenda seminar peringatan Hari Pangan Sedunia ke 35 tersebut Bina Desa juga menghadirkan narasumber dengan bidang dan topik pembahasan sendiri. Mereka adalah Samsul Bahri,SPd (Petani Gampong Pinem) dan Asnawiyah (Petani Gampong Reusak);. Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Aceh Barat (Ir.T. Zainal Abidin, MT) menyampaikan materi Situasi dan Kondisi Pertanian dan Pangan di Kabupaten Aceh Barat, Kepala BP4K Kabupaten Aceh Barat (Ir. Said Mahjali, MM) denan materi Peran PPL dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan di Kabupaten Aceh Barat, Ketua Komisi B DPRK Aceh Barat (Masrizal,SSi) menyampaikan Peran DPRK Aceh Barat  untuk mendukung Kedaulatan Pangan di Aceh Barat, Dandim 0105 Aceh Barat (Letkol. Inf. Jaka Sutanta) hadir untuk membahas Peran TNI dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan di Kabupaten Aceh Barat. Bina Desa juga turut mengundang peserta dari LSM, Pemerintahan Kabupaten, Dinas Pertanian, Akademisi dan pihak-pihak terkait sektor pertanian dan pengan di Aceh Barat. (*)

 

 

Scroll to Top