JAKARTA, BINADESA.ORG--Upaya Pemerintah untuk mengatasi kesenjangan sosial yang ada di masyarakat yang salah satunya disebabkan oleh ketimpangan dalam penguasaan, pemilikan dan pengggunaan sumber-sumber agraria khususnya dalam hal penguaasan, pemilikan dan penggunaan tanah, adalah melalui progam reforma agraria dan perhutananan sosial sebagai jalan redistribusi tanah kepada petani.
Gunawan dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), menjelaskan bahwa bagi ormas-ormas tani dan pembela petani, reforma agraria haruslah benar-benar memperbarui struktur dan hubungan agraria sehingga tercipta kemakmuran dan keadilan sosial. Artinya harus ada pembatasan penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah, serta redistribusi tanah kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan dan bersedia menggarap tanah.
“Perkebunan adalah salah satu yang semenjak era kolonialisme yang memiliki struktur dan hubungan agraria yang timpang” Jelas Gunawan. Hal ini tidak saja melanggengkan dualisme perekonomian, yaitu ekonomi padat modal dengan petani subsisten. Namun juga terjadinya konflik sosial tahan lama akibat terus berlangsungnya perampasan tanah rakyat yang memicu konflik agraria di wilayah perkebunan.
Marcel Andry perwakilan dari Serikat Petani Kelapa Sawit menguraikan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Pengujian Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan seharusnya dipergunakan Pemerintah dan DPR dalam melakukan pembaruan hukum dalam rangka reforma agraria di perkebunan. “Karena putusan tersebut terkait permasalahan perbenihan, pertanahan, kemitraan dan penyelesaian konflik agraria di perkebunan” jelas Marcel.
Konferensi Nasional Perkebunan
“Oleh karenanya dalam rangka mengawal reforma agraria dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi khususnya dalam perkara pengujian Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Undang-Undang Perkebunan, kita akan menyelenggarakan Konferensi Nasional Perkebunan” kata Ahmad Surambo wakil dari Sawit Watch. Organisasi petani dan jaringannya seperti Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Wacth, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa) dan Farmer Initiative for Ecological Livefelihood and Democratie (FIELD), bermaksud menyelenggarakan Konferensi Nasional Perkebunan.
Konferensi Nasional Perkebunan lebih khusus ditujukan untuk menyusun peta jalan : 1. Perkebunan yang lestari dan berkeadilan sosial; 2. Petani pekebun mandiri/swadaya sebagai tulang perkebunan; 3. Pembaruan kebijakan dan hukum perkebunan.
Karena bagi petani pekebun skema pertanahan, skema kemitraan, skema penetapan harga dan skema pendanaan dipandang tidak adil atau timpang sehingga memicu konflik. Maka sudah seharusnya rencana reforma agraria Pemerintah menjawab permasalahan-permasalahan di perkebunan tersebut.
Achmad Yakub pegiat dari Bina Desa mengutarakan juga mengenai kebijakan nasional yang relevan untuk mendorong perkebunan yang lestari dan berkeadilan sosial adalah UU NO. 6 tahun 2014 tentang Desa dan UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dalam Undang-Undang Desa setidaknya desa bias merencanakan perkebunan di wilayahnya sesuai dengan produk unggulan desa secara mandiri. “Konteks regulasi perlindungan dan pemberdayaan petani khususnya pekebun, diamanatkan kepastian kepemilikan lahan bagi petani, adanya pemberdayaan melalui skema penguatan kelembagaan dan akses pendanaan dari pemerintah” tutup Yakub. (###)