Bina Desa

Perjanjian Ekonomi RCEP Hanya Untungkan Korporasi Pangan

Kartini Samon, peneliti GRAIN ditengah protes masyarakat atas RCEP memaparkan bahwa Bab investasi dan perdagangan sektor jasa yang dirundingkan dalam RCEP berpotensi meningkatkan potensi konflik lahan yang sudah tinggi di Indonesia saat ini dan semakin meminggirkan petani kecil (photo Sally Nita)

Hyderabad,INDIA-BINADESA.ORG, Tak sedikit kekhawatiran yang disampaikan berbagai pihak terkait negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang saat ini memasuki putaran ke-19 di Hyderabad, India, pada 18-28 Juli 2017.

Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi terdiri sejumlah Ornop dan organisasi masyarakat mengikuti perkembangan perundingan RCEP semakin menunjukkan keberpihakan pada korporasi. Berpotensi untuk memperburuk situasi kehidupan rakyat, khususnya rakyat kecil seperti petani, nelayan, pasien, buruh, pelaku usaha kecil, dan perempuan, di ke-16 negara anggota RCEP.

Koalisi ini juga mendesak kepada Pemerintah Indonesia dan seluruh negara anggota RCEP untuk membuka teks perjanjian perundingan perdagangan bebas kepada publik dan membuka partisipasi publik dalam perundingan agar RCEP tidak bertentangan dengan hak-hak dasar masyarakat.

Dampak RCEP Terhadap Sektor Pangan

Menyikapi hal tersebut, Kartini Samon, peneliti GRAIN yang sedang berada di Hyderabad memaparkan “Bab investasi dan perdagangan sektor jasa yang dirundingkan dalam RCEP berpotensi membuka pintu bagi investor dari negara anggota RCEP untuk memiliki tanah pertanian di negara anggota lainnya, dibawah aturan “national treatment” pemerintah diwajibkan untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap investor local dan asing. Hal ini dapat meningkatkan potensi konflik lahan yang sudah tinggi di Indonesia saat ini dan semakin meminggirkan petani kecil.”

Zainal Arifin Fuad dari Serikat Petani Indonesia (SPI) juga berpendapat bahwa RCEP menjadi ancaman baru bagi kaum tani, baik dari sisi alat produksi seperti tanah, air dan benih, maupun dari sisi distribusi. Zainal menuturkan “Bab  perdagangan jasa misalnya akan membuat pemerintah kehilangan haknya untuk membatasi operasi rantai retail yang datang dari negara anggota RCEP (‘market access’). Bahkan perjanjian perdagangan ini akan membuat pemerintah tidak berhak meminta para penyedia jasa layanan distribusi pangan untuk terdaftar atau memiliki perwakilan legal dan fisik di negara anggota RCEP dan atau memastikan sekian persen supply berasal dari produsen lokal”

RCEP juga bertentangan dengan program Kedaulatan Pangan dan Reforma Agraria Pemerintah Indonesia. Tidak ada pilihan selain menghentikan negosiasi RCEP.

Demikian juga Puspa Dewi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, mengingatkan perempuan berperan penting dalam produksi pangan subsisten yang menjamin pangan dan gizi masyarakat. Namun, RCEP akan menghilangkan ini dan menghentikan perempuan untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya dalam pengelolaan pangan yang digantikan oleh sistem modern oleh korporasi. “Untuk itu, kami bersama-sama dengan perempuan adat, perempuan tani, perempuan nelayan, dan perempuan lainnya yang termarjinalkan secara tegas menolak RCEP”, pungkasnya.

Dampak Perlindungan HaKI untuk Investor Dalam RCEP

Berdasarkan bocoran teks Intellectual Property Rights (IPR) RCEP negara anggota akan diwajibkan untuk masuk menjadi anggota sistem paten internasional UPOV 1991. Hal ini akan menghambat kebebasan petani untuk mengembangkan dan mendistribusikan benih-benih lokal serta meningkatkan harga benih antara 200 hingga 600% berdasarkan situasi yang dialami petani di negara tetangga seperti Thailand dan Filipina. Situasi ini akan semakin meningkatkan dominasi dan keuntungan produsen benih dan pestisida multinasional, sementara memperburuk situasi 25 juta rumah tangga petani kecil di Indonesia dan lebih dari 420 juta rumah tangga petani kecil di 16 negara anggota RCEP.

“Padahal secara  nasional dalam perundangan kita terkait sistem budi daya pertanian dan perbenihan, atas keputusan Mahkamah Konstitusi petani mempunyai hak untuk melakukan pemuliaan benih dan mendistribusikannya” ujar Achmad Yakub dari Bina Desa.”

Demikian juga dalam pembangunan kawasan pedesaan melalui dana desa untuk pengembangan  BUMDes, produk unggulan desa (prudes) juga terancam layu sebelum berkembang bila RCEP diterapkan.  “Sudah sewajibnya negara dalam berbagai perundingan mendorong semangat konstitusi kita, yakni kerjasama pembangunan berbasis solidaritas internasional, bukan justru saling dominasi ekonomi” tegas Yakub.

Senada dengan itu, Sindi Putri dari Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengemukakan potensi ancaman RCEP terhadap akses obat terjangkau. “Ketentuan dalam RCEP mengenai Hak Kekayaan Intelektual seperti perpanjangan masa paten dan data eksklusifitas akan dapat merugikan banyak orang di seluruh dunia yang mengandalkan obat-obatan generik yang terjangkau,” ujar Sindi yang menilai keberadaan RCEP mempersulit Indonesia untuk memaksimalkan fleksibilitas dari The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) guna menjamin obat terjangkau yang dibutuhkan oleh masyarakat (bd018)

Scroll to Top