Bina Desa

Perempuan Petani Menghadapi Berbagai Rintangan

Ibu Tani di Desa Ciasihan, Pamijahan, Kabupaten Bogor sedang aktivitas di sawah. (photo: Bina Desa/Gina Nurohmah)

Oleh : Leong Yee Ting*

Banyak anak Indonesia yang tumbuh dewasa dengan mendengarkan pepatah “surga ada di bawah telapak kaki ibu”.

Namun, perempuan petani Indonesia terus mengalami rintangan dalam banyak hal. Sekitar 40% petani skala kecil adalah perempuan, yaitu sebesar 7,4 juta pada tahun 2013. Perempuan berperan pada hampir semua tahap produksi namun mereka kekurangan akses terhadap layanan tanah, kredit, dan penyuluhan.

Pada tahun 2003, hanya sepertiga tanah bersertifikat di jawa yang dimiliki oleh perempuan. Meskipun Undang-Undang Pernikahan 1974 mengatur tentang kepemilikan istri, hal ini jarang dipraktikkan dalam pembuatan sertifikat karena rendahnya tingkat pendidikan dan juga tingginya pola pikir patriarki untuk menempatkan nama pria di sertifikat.

Akses lahan yang tidak setara berarti juga akses kredit yang tidak setara, karena sertifikat tanah digunakan untuk agunan kredit. Hal ini memilliki dampak nyata pada kehidupan perempuan petani dan keluarga mereka. Di Cianjur, Jawa Barat perempuan petani dan keluarganya memiliki banyak hutang kepada tengkulak karena terbatasnya akses kredit. Utang diambil bukan hanya untuk input pertanian, tetapi juga untuk kebutuhan dasar atau perawatan kesehatan darurat. Banyak dari perempuan  ini terpaksa menjadi pekerja migran di Taiwan atau Arab Saudi untuk membayar hutangnya.

Penyuluh pertanian lapangan cenderung mengabaikan perempuan petani. Terdapat asumsi bahwa pekerjaan pertanian yang dilakukan oleh perempuan dipandang sebagai pekerjaan sampingan dari pekerjaan rumah tangga mereka atau hanya sebatas membantu laki-laki di bidang pertanian. Padahal faktanya adalah perempuan ini sangat miskin sehingga mereka tidak punya pilihan selain bekerja di pertanian, namun tidak mendapat pengakuan dari pihak berwenang.

Perempuan secara nyata kurang memiliki akses terhadap kepemimpinan dan pengambilan keputusan, meski mempunyai peran penting. Organisasi pertanian sering didominasi oleh laki-laki. Kelompok petani campuran dengan anggota perempuan dan pria aktif jarang terjadi. Meskipun ada beberapa organisasi pertanian perempuan di Yogyakarta dan Sumatra Selatan, namun cenderung ditinggalkan dalam pengambilan keputusan di masyarakat.

Perempuan petani juga diharapkan menanggung beban ganda pekerjaan rumah tangga dan pertanian. Terkadang, mereka tidak dibayar atau dibayar lebih rendah daripada pria. Ini memberikan dampak fisik dan psikologis yang signifikan terhadap mereka.

Masalah ini semakin mendesak karena kecenderungan yang ada terus memperburuk situasi yang dialami perempuan petani. Migrasi laki-laki dari desa ke kota telah menyebabkan “feminisasi” pertanian, yang berarti bahwa dengan ketidakhadiran laki-laki, pekerjaan pertanian sekarang dilakukan oleh perempuan.

Namun, para perempuan ini tidak memiliki hak istimewa seperti laki-laki untuk mengakses sumber daya dan kepemimpinan. Hal ini dapat merusak produktivitas pertanian. Juga, perubahan iklim dan akibatnya yang tidak dapat diprediksi, cuaca ekstrim memberi tekanan yang besar pada perempuan. Sebagai petani, mereka harus menyesuaikan jadwal bertani dengan cuaca; sebagai ibu dan istri, mereka harus memastikan kesejahteraan keluarga dalam keadaan yang sulit.

Pemberdayaan perempuan petani dapat memberikan manfaat yang luar biasa bagi semua pemangku kepentingan. Jika perempuan memiliki akses lebih besar, produktivitas pertanian dan rumah tangga mereka akan meningkat yang akan berdampak pada peningkatan dan kestabilan pendapatan keluarga.

Telah terbukti bahwa peningkatan pendapatan dan aset perempuan dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga lebih signifikan daripada peningkatan pendapatan pria. Hal ini juga akan meningkatkan martabat perempuan petani di masyarakat. Keterlibatan perempuan yang lebih besar dalam organisasi pertanian akan membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih baik dan lebih tepat, dan meningkatkan produksi dan profitabilitas organisasi.

Pembuat kebijakan perlu memastikan bahwa perempuan petani memiliki akses terhadap sumber daya dan peluang kepemimpinan. Langkah-langkah konkrit terhadap hal ini mencakup peningkatan pendidikan anak perempuan, dorongan partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam organisasi pertanian. Upaya-upaya harus dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri perempuan. Selain itu, perempuan petani harus dilengkapi dengan pengetahuan tentang metode adaptasi, dan teknologi prakiraan iklim.

Namun, Indonesia adalah negara yang sangat beragam; daerah yang berbeda memiliki norma budaya yang berbeda pula. Perempuan petani Jawa menempati posisi yang ambigu; mereka sering tidak tercermin sebagai pemilik lahan secara formal di atas dokumen, namun secara informal, budaya Jawa bekerja sangat melindungi mereka. Bahasa Jawa memiliki istilah untuk barang kepemilikan selama pernikahan, yaitu gono-gini, dan konsep ini lebih berpengaruh dalam membentuk perilaku keluarga daripada peraturan resmi atau bahkan gagasan Islam.

Selanjutnya, praktik tradisional arisan – sebuah asosiasi tabungan berputar skala kecil – berfungsi sebagai sumber kredit informal bagi perempuan petani Jawa. Budaya Bali dan Minangkabau selalu memberikan peran yang kuat bagi perempuan di mana perempuan memiliki hak atas tanah dan secara aktif dapat mengelola sendiri tanah mereka.

Sebaliknya, perempuan petani yang paling rentan mungkin tinggal di wilayah timur. Di Sulawesi, perempuan sering menderita akibat kegagalan panen karena mereka harus mencari tambahan penghasilan.

Demikian juga, di Timor Tengah Selatan, perempuan mengalami kekurangan gizi selama musim kering karena biasanya mereka yang terakhir makan di keluarga. Dalam budaya Papua, perempuan selalu memiliki status dan pendidikan rendah meski memiliki beban kerja yang ekstrim. Sangat penting bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan perbedaan latar belakang budaya perempuan petani dari berbagai daerah, untuk memahami situasi dan kebutuhan unik mereka.

Masalah perempuan petani “tak terlihat” ini biasa terjadi di Asia Tenggara, namun perempuan petani di Indonesia relatif lebih dirugikan daripada rekan mereka di Thailand dan Filipina, karena masyarakat di negara-negara tersebut adalah masyarakat matrilineal.

Jika kita benar-benar menghormati ibu kita sebagai pemberi nafkah, sebagai jalan menuju surga dan kehidupan yang lebih baik, pertama kita perlu membuka jalan sebesar-besarnya untuk mereka. Sebagai pondasi dunia kita, mereka layak mendapatkan perlakuan yang lebih baik.

***

*Penulis adalah warga negara Singapura yang saat ini sedang bekerja magang di ASEAN Farmers’ Organization Support Program di ASEAN Foundation di Jakarta.  Beliau merupakan mahasiswa tingkat akhir Jurusan Sejarah  di University of Oxford. Penulis ingin berterimakasih pada Mardiah Basuni (Yayasan Bina Desa) dan Stephanie Heng untuk bimbingan dan dukungannya.

**artikel ini telah terbit tanggal 07 Oktober 2017 di www.thejakartapost.com dengan judul Female farmers face multi-layered struggle

***Terjemahan bebas oleh Gina Nurohmah dan Affan Firmansyah

Scroll to Top