
Hari Kartini seharusnya merupakan hari yang indah untuk seluruh perempuan di Indonesia. Tanggal 21 April adalah pengingat bahwa hakikatnya manusia itu setara, apapun jenis gendernya. Namun perempuan dari berbagai latar belakang kultur di dunia, termasuk di Indonesia, masih mengalami penindasan akibat konstruksi sosial yang mengutamakan kekuatan, sesuatu yang seolah lekat pada satu gender saja, sebagai karakter yang paling diapresiasi.
Seiring waktu dan berbagai upaya penyadaran, pengakuan terhadap harkat dan martabat perempuan semakin bertambah. Hal ini terutama terlihat di wilayah perkotaan di mana perempuan mampu mengambil pilihan-pilihannya sendiri. Perempuan kini memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk berkarya dan mengaktualisasikan diri. Atau setidaknya begitulah yang terlihat di permukaan. Tapi apa betul realitanya demikian?
Jika kita menoleh sedikit untuk melihat keadaan di desa, maka kita akan mendapati bahwa kesempatan dan akses bagi perempuan masih jauh dari angan-angan, baik karena terbentur dari segi kultur maupun hukum. Perempuan desa, yang banyak berkecimpung dalam dunia agraria, masih tidak punya akses penguasaan terhadap alat produksi dan minim penghargaan kendati memiliki peran besar. Dwi Astuti Direktur Eksekutif Bina Desa mengungkapkan bahwa perempuan petani Indonesia beraktivitas selama 16 jam per hari dan berkontribusi sebanyak 43% dalam ekonomi namun perempuan hanya memiliki aset 1% dalam pertanian.
Minimnya pengakuan terhadap peran perempuan juga tercermin pada kesenjangan upah antara petani pekerja laki-laki dan perempuan. Menurut data Serikat Petani Indonesia (SPI) tahun 2013, perempuan petani di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, misalnya, diupahi sebesar Rp15.000-20.000 per hari, sementara laki-laki sebesar Rp25.000-30.000 per hari. Demikian pula upah perempuan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sebesar Rp 35.000 per hari, sementara laki-laki sebesar Rp45.000 per hari. Upah perempuan lebih kecil karena tenaganya dianggap tak sebesar laki-laki. Perempuan petani juga lebih mudah ditekan sehingga setuju saja diupahi lebih rendah padahal 65% pekerja pertanian adalah perempuan. Perempuan kini kian menjadi sekadar pekerja murah dalam sektor pertanian.
Kultur yang masih menganggap bahwa lelaki lebih memiliki kredibilitas pun seolah divalidasi dengan UU Perkawinan tahun 1974 yang menyatakan bahwa kepala keluarga adalah suami. Hal tersebut berimbas kepada pemberian peran penting seperti perwalian dan pengambilan keputusan semata-mata kepada kaum adam, membuat peran perempuan seolah tidak signifikan juga membuat perempuan terkesan sebagai objek yang dapat diatur.
Persoalan lain yang kerap menimpa perempuan desa yakni rendahnya pendidikan perempuan dan pernikahan dini yang terkait erat satu sama lain. Minat orang tua untuk menyekolahkan anak perempuannya hingga jenjang yang tinggi masih minim karena masih beranggapan bahwa tugas perempuan nantinya toh hanya mengurus dapur atau bekerja sebagai petani yang tidak membutuhkan ijazah.
Pandangan seperti ini membuat para orang tua di desa menikahkan anak perempuannya tak lama setelah menyelesaikan sekolah dasar agar tak malu memiliki perawan menganggur, apalagi perawan tua. Anak perempuan pun dinikahkan walaupun belum cukup umur sesuai UU Pernikahan, yakni 16 tahun, hingga harus memalsukan data kependudukan atau bahkan nikah siri. Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, angka pernikahan usia dini (19 tahun ke bawah) sebanyak 46,7%. Bahkan, perkawinan di kelompok umur 10-14 tahun hampir 5%.
Akibatnya, banyak pasangan usia dini yang terlihat sudah memiliki anak. Ini berbahaya tidak hanya karena organ reproduksi perempuan belum siap untuk memiliki anak sehingga kehamilannya berisiko tinggi dan memicu potensi kematian ibu, namun juga karena pasangan muda cenderung minim pengetahuan mengenai kesehatan reproduktif dan penataan keluarga.
Kurangnya pemahaman mengenai bagaimana membina keluarga yang baik berpotensi mengulangi siklus pernikahan dini tersebut terutama apabila mereka berpendidikan rendah tanpa dibarengi kesadaran untuk menjadi lebih baik. Dari pernikahan dini tersebut, berdasarkan pengamatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dari data di Kantor Urusan Agama, jumlah perceraian mencapai 50%.
Dari perceraian tersebut, banyak keluarga terpisah dan muncullah keluarga dengan kepala keluarga perempuan. Walaupun demikian, perempuan juga masih sering tidak diakui sebagai kepala keluarga sehingga terdiskriminasi dalam kehidupan sosial-politiknya sehingga keluarga yang dikepalai perempuan tidak sejahtera.
Marjinalisasi perempuan secara sistemik pun berbuah pahit: Survey Sistim Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas (SPKBK) yang dilaksanakan Sekretariat Nasional PEKKA di 111 desa, 17 propinsi wilayah kerja PEKKA menunjukkan bahwa rata-rata perempuan kepala keluarga berpenghasilan hanya Rp10.000 per hari. Maka tak heran apabila 49 % keluarga di kesejahteraan terendah adalah keluarga yang dikepalai perempuan padahal menurut data BPS tahun 2014, keluarga yang dikepalai perempuan hanya 14,84% dari total jumlah keluarga di Indonesia. Angka ini pun mengalami kenaikan secara konsisten rata-rata sebesar 0,1% per tahun.
Pembangunan perdesaan dalam konteks pemberdayaan masyarakat untuk membangun kemandirian dan kesejahteraan masyarakat perlu dilakukan agar terbentuk dan terciptanya masyarakat yang madani. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mengoptimalkan sumber daya lokal pedesaan, termasuk sumber daya manusia dengan tidak memandang berbeda antara gender. (bd020)