JEPARA, BINADESA.ORG—Sekolah Pedesaan (SEPEDA) Bina Desa melakukan aktivitas pendidikan musyawarah dengan berbagai pokok bahasan. Seperti sekarang ini mengenai Keadilan Gender, yang dimulai dari Desa Salasae Bulukumba, Sulawesi Selatan kemudian dilanjutkan ke Desa Raguklampitan, Batealit Jepara Jawa Tengah. Itulah yang dimaksud perempuan berSEPEDA dari Bulukumba ke Jepara.
Bagi Bina Desa Pendidikan musyawarah sebagai suatu pendidikan populer bertujuan membangkitkan kesadaran kritis komunitas marjinal. Pendidikan musyawarah bersifat dialogis, partisipatif, dan mengasah kemampuan komunitas membuat keputusan kolektif. Ruang lingkup pendidikan musyawarah adalah pendidikan bagi komunitas atau kelompok, bagi pendamping, dan bagi fasilitator. Pendidikan musyawarah juga memberikan pengetahuan motivasi, keterampilan atau keahlian, dan keahlian pengembangan organisasi.
Perempuan desa di Salasae sekitar 25 orang dan 3 orang laki-laki dengan tekun mengikuti proses pendidikan keadilan gender. Proses ini di pandu oleh Mardiah Basuni, kepala sekolah SEPEDA, John Pluto Sinulingga staff Bina Desa dan Irma dari Takalar pengurus Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).
Sementara di Jepara di fasilitasi oleh Mardiah Basuni dan Farida (Sekjen JRKI). Di ikuti oleh 30 orang peserta yang terdiri dari 24 orang perempuan, dan 6 orang laki-laki yang terdiri dari Lampung (Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)/Kiara), Jepara, Rembang, Demak, Pati, Batang, Lamongan, Jombang dan Jember.
Dari proses SEPEDA perempuan ini ditemukan beberapa beberapa harapan dan kekuatiran terkait proses pendidikan ini. Harapannnya : 1) ilmu pengetahuan tentang gender. 2) tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. 3) percaya diri dan informasi tentang sikap hidup adil gender. 4) belajar tentang kepemimpinan perempuan. 5) silaturahmi dengan ibu-ibu. Kekuatirannya : 1) Anak dan keluarga di rumah. 2) Cuaca yang buruk. 3) sawah dan kebun tidak ada yang mengurus. Hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi kekuatiran itu : 1) mendiskusikan dengan suami dan anggota keluarga yang lain perihal kegiatan yang sedang dilakukan. 2) memberikan kepercayaan kepada semua anggota keluarga. 3) mengatur waktu.
”Itulah hal-hal yang menurut banyak orang sederhana, namun bagi kita, ini merupakan bagian dari proses pendidikan musyawarah” Ujar Mardiah Basuni Kepala Sekolah Pedesaan (SEPEDA) dan coordinator Bina Desa.
Berikut tutur ekspresi peserta Sekolah Pedesaan (SEPEDA): Etsa (PPNI), “Minta maaf jika ada tutur kata yg salah. Senang bisa saling bertukar. Puas dengan materi pelatihan karena banyak menunya, fasilitatornya baik. Tetangga-tentangga (dilokasi SEPEDA) sangat mendukung acara. Guyub rukun dan tepo seliro para tetangga bagus sekali”.
Nuraini, “Bangga kepada Fasilitator yg sudah bersabar merespon peserta, kami banyak belajar mengenai pentingnya berdaya atas diri sendiri sebagai manusia”.
Dea, “Senang dapat pelajaran baau karena sebelumnya belum pernah ikut organisasi. Terimakasih dengan mas Sofyan yang sudah kasih kesempatan ikut. Senang dapat materi bagaimana perempuan memperjuangkan hak-hanya, dapat banyak pengalaman dari ibu-ibu peserta yang lainnya”.
Riska (Jember), “ Salut dengan bu Diah karena banyak inspirasi dan pengalaman dari Fasilitator”.
Masnu’ah ( PPNI dan Kiara),”Berterimakasih kepada Bina Desa. Mbak Diah sangat menginspirasi peserta untuk memperbaiki organisasi. Waktu pelatihan kurang panjang. Peserta sangat antusias dan hidup. Senang menambah keluarga dan kawan dari berbagai pihak, kita gak berjuang sendiri ternyata. Terima kasih”
Temuan lainnya adalah dari hasil diskusi diperoleh bahwa jam kerja perempuan itu lebih banyak dari pada laki-laki dan perempuan (selisihnya mencapai 6-5 jam). Hal ini disebabkan karena selain menyelesaikan pekerjaan di rumah perempuan juga ikut bekerja di luar rumah (pergi ke kebun, sawah atau berdagang di rumah maupun keliling). Sedangkan laki-laki hanya melakukan pekerjaan yang sifatnya di luar rumah. Namun realitasnya adalah kerja-kerja perempuan di luar tidak dianggap sebagai pekerjaan (hanya tambahan atau bantu-bantu saja).
Proses SEPEDA perempuan ini, diharapkan peserta mengetahui bahwa persoalan ketidakadilan jender tidak hanya sekedar konsep tetapi benar benar berada di dalam dirinya, keluarga, organisasi dan masyarakat. Demikian juga peserta diharapkan tertarik dan memiliki komitmen untuk menganggap penting mewacanakan ketidakadilan jender ke dalam dirinya, keluarga, organisasi dan masyarakatnya. (bd018)