SALASSAE, BINADESA.ORG– Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa perikanan skala kecil dan masyarakat pesisir memiliki tingkat kerentanan tinggi dan kondisi kerja yang buruk. Sama halnya di Indonesia, kehidupan nelayan kian memprihatinkan. Dari 10.666 desa pesisir, dengan 550 ribu nelayan tradisional di 53 Kabupaten/Kota dengan menyumbangkan 25 persen dari jumlah kemiskinan nasional.
Lahirnya UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (perlintan), UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan dan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa membawa harapan besar bagi masyarakat Indonesia khususnya para petani dan nelayan dalam penguasaan, pemilikan sumber-sumber agraria, keuangan, kelembagaan dan skema program pembangunan dari pemerintah daerah.
Kebijakan tersebut juga mengatur soal menyediakan sarana dan prasarana dalam mengembangkan usaha, meningkatkan kemampuan kapasitas, dan menumbuh kembangkan lembaga. Pemerintah pusat dan daerah sesuai kewenangannya memudahkan petani dan nelayan seperti sarana usaha penangkapan perikanan termasuk adalah penjamin ketersediaan sarana usaha pertanian dan perikanan dan sarana pengendalian harga perikanan termasuk pertanian.
Petani Nelayan Yang Berpengetahuan dan Berjejaring
Medio tahun 2017, puluhan petani dari region Sulawesi, pemerintah propinsi Sulawesi Selatan, Pemda Bulukumba dan aparat Desa berkumpul di Desa Salassae, , Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Abdul Gaffar dari Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Pemprov Sulawesi Selatan menyampaikan bahwa dalam pemberdayaan petani, konsep yg diharapkan petani itu seperti apa? petani tanpa pengetahuan petani itu tidak bakal mandiri. Maka dari itu diperlukan menambah proses penggetahuan yang baik agar petani bisa mandiri. Ada 5 modal agar tujuan mencapai pemberdayaan tercapai pertama, Sumber Daya Manusia, perlu adanya pelopor dan cara pandang sesama manusia tanpa ada perbadaan serta perubahan sikap . Disusul kemudian soal Sumber Daya Alam, sosial, fisik dan terakhir finansial. Selama ini kita banyak berfokus pada finansial, agak lupa untuk mengoptimalkan kekuatan lainnya. Intinya dimulai ingin tahu agar mencapai apa yg di inginkan, kita sendiri sebagai manusia menyadari diri sendiri untuk mencapai kemandirian.
Program pemerintah dalam perlindungan dan pemberdayaan Nelayan sesuai penuturan Ferdianto dari Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulsel, salah satunya adalah memberantas tindakan ilegal fhising. Peningkatan daya saing hasil perikanan. Peningkatan kedaulatan pangan dan, pengembang ekonomi maritim dan nelayan. Pemerintah juga mengeluarkan kartu yang berfungsi sebagai identitas profesi nelayan, data base untuk memudahkan perlindungan dan pemberdayaan, memberikan kemudahan dalam pembinaan nelayan. “Kriteria penerima kartu nelayan yaitu, Nalayan Kecil, Nelayan Buruh dan Nelayan Pemilik dibawah 5GT” ujar Ferdianto.
Dalam konteks peran Desa untuk perlindungan dan pemberdayaan petani/nelayan, A. Muhammad Sukri dari Dinas Pembangunan dan Pemberdayaan Masyrakat Desa Sulsel, menyatakan bahwa desa saat ini mempunyai dua azas rekognisi subsidiaritas. Kewenangan lokal skala desa dan kedudukan desa sebagai pemerintah yg berbasis masyarakat. Isu-isu pembangunan Desa Sul-Sel, tingginya angka kemiskinan (13,64% Desa, 4,31%).
“Potensi SDA dan SDM yang kurang termanfaatkan, besarnya dana desa yang masuk dari berbagai sumber Rp.3,8 T, rendahnya kelembagaan ekonomi produktif yg menjadi wadah para pelaku usaha di Desa, rendahnya kualitas angkatan kerja, dominan sektor pertanian dan kepemilikan lahan relatif sempit rata-rata 0,25-0,50 ha” papar Sukri.
Wujud perlindungan dan pemberdayaan dalam UU No.6 Tahun 2016 tentang Desa adalah melalui strategi kerjasama antar desa, one vilage one commodity dan pengembangan jejaring. Dengan demikian diharapkan adanya pengembangan ekonomi kawasan pedesaan, peningkatan keterkaitan ekonomi perkotaan dan pedesaan yg saling menguntungkan
Pengalaman Masyarakat Desa
Untuk mencapai seperti yang disampaikan oleh pemerintah Daerah dan Propinsi, Suwarto Adi Pembina Bina Desa menyampaikan perlunya pemerintahan yang baik. “Membuka ruang partisipasi warga, adanya keterbukaan, memutuskan dengan proses musyawarah” terang Suwarto. Agar optimal pemerintah harus memebrikan tanggapan atau respon yang memadai agar masyarakta bisa menyalurkan kepentingan dan gagasannya.
Temuan dilapangan sangat penting untuk dikonfirmasikan dengan program dan kebijakan yang ada. Seperti yang disampaikan oleh Ilham dari Bantaeng, Kurang massifnya pemerintah daerah untuk melaksanakan kebijakan ini, dengan belum ada sosiliasi pemerintah daerah terkait UU Desa dan perlindatayan kepada masyarakat.
Terkait asuransi atau kartu nelayan itu lebih pada asuransi jiwa, satu tahun terakhir itu belum terlihat. Uro dari Bulukumba menyampaikan bahwa kartu nelayan di wilayah Bulukumba Timur itu belum ada.
Sementara bantuan kekompok petani itu ada proses politisasi misalnya kepala desa hanya merekomendasikan kelompok tani yang bisa dikendalikan oleh pemerintah. “Ada fakta batuan benih jagung itu diperjual belikan oleh kelompok tani seharga Rp.25.000” terang Irma dari Takalar.
Irma menambahkan bahwa ada persoalan aturan dari Pusat itu tidak bersinergi dengan Perda atau Perdes yang ada ditingkat lokal. Ini ada ketimpangan antara peraturan misalnya Peraturan Menteri Pertanian dan Menteri Pemberdayaan perempuan. Sebagai contoh pada kelompok tani yang ada di desa, dominasi laki-laki pada sturkut anggota pada kelompok tani sangat jarang kita menemukan ada nama perempuan pada kelompok tani tersebut.
Menurut Ikriman Asuransi terhadap petani, di Sulawesi Tengah umumnya masyarakat belum ingin mengasuransikan hasil panennya, karena jumlah asuransi itu harus 75% kerusakan panen. Jika kurang dari itu pihak asuransi tidak mengganti dan belum lagi harus mendatangkan tenaga ahli. (bd018)