Dalam upaya memperkuat perlindungan bagi kelompok rentan, Jaringan ILEP-PLD yang mencakup wilayah NTT, Sumatera, dan Sulawesi menggelar acara bincang online bertema, “Pencegahan Perdagangan Manusia dan Resiliensi Terhadap Kekerasan pada Anak, Perempuan, dan Disabilitas”. Kegiatan ini diselenggarakan pada Rabu, 3 April 2024. Diskusi yang disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Bina Desa ini menjadi ajang bertukar informasi, wawasan, serta pengalaman bagi para peserta dan narasumber dari berbagai latar belakang.
Acara yang diinisiasi oleh Jaringan ILEP-PLD ini melibatkan sejumlah narasumber kompeten dari sektor pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, hingga perlindungan disabilitas. Salah satu pembicara utama adalah Ibu Sulis dari YPKD (Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Desa), Sumba Barat, NTT. Berpengalaman dalam pendampingan korban kekerasan dan perdagangan manusia, Ibu Sulis berbagi kisah nyata tentang perjuangannya mendampingi korban di Sumba, serta menyampaikan tantangan yang dihadapi dalam melindungi korban dari perdagangan manusia yang kerap melibatkan sindikat antarwilayah.
Upaya Pencegahan dan Penanganan Terpadu
Dalam pemaparannya, Ibu Sulis mengungkap bahwa di NTT, khususnya di Sumba Barat, perdagangan manusia sering kali terkait dengan iming-iming pekerjaan di luar negeri dengan upah besar, yang membuat banyak korban, termasuk anak-anak, perempuan, dan kaum disabilitas, tertarik untuk merantau. Ia menjelaskan modus-modus yang digunakan oleh para pelaku, seperti bujuk rayu dengan janji penghasilan tinggi, hingga rekrutmen ilegal yang dilakukan langsung dari rumah ke rumah oleh agen tenaga kerja. “Sering kali, para korban dikumpulkan di rumah penampungan tanpa fasilitas yang memadai, dan perjalanan mereka dikendalikan oleh pihak perekrut tanpa akses informasi yang jelas. Hal ini jelas melanggar hak-hak dasar mereka,” ungkap Ibu Sulis.
Narasumber lainnya, Bu Emilia dari NTT, yang bertindak sebagai moderator, juga menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat desa dalam upaya pencegahan perdagangan manusia. “Kami punya program Desa Migrasi Aman di 15 desa di Sumba Barat, di mana pemerintah desa bersama lima kader lokal terlatih untuk melakukan sosialisasi serta pendampingan bagi warga. Kami mengedukasi mereka agar mampu membedakan antara agen tenaga kerja resmi dan yang ilegal, serta memberikan pengetahuan tentang hak-hak mereka sebagai pekerja migran,” jelasnya.
Perlindungan Bagi Anak, Perempuan, dan Penyandang Disabilitas
Ibu Sulis menekankan bahwa kelompok rentan ini sering kali menjadi korban karena rendahnya pendidikan dan ekonomi yang membuat mereka mudah tergoda dengan janji pekerjaan. Ia membagikan data bahwa di Sumba Barat, sekitar 75% pekerja migran yang direkrut secara ilegal adalah perempuan berpendidikan dasar. “Banyak dari mereka yang buta huruf dan berasal dari keluarga yang harus menanggung beban ekonomi dan adat yang besar. Ini membuat mereka mudah sekali dieksploitasi oleh agen yang menawarkan janji pekerjaan dengan iming-iming gaji tinggi,” papar Ibu Sulis.
Selain aspek ekonomi, budaya patriarki yang kuat juga menjadi salah satu faktor utama. Dalam budaya setempat, perempuan kerap dipandang sebagai pihak yang harus berkorban demi membayar utang adat, memenuhi kebutuhan keluarga, atau bahkan menyelesaikan biaya pernikahan adat. Fenomena ini tak jarang mengarahkan perempuan dan anak-anak perempuan pada situasi yang sangat rentan, terutama ketika mereka terpaksa meninggalkan rumah tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Peran Hukum dan Kolaborasi Multi-Stakeholder
Dalam sesi diskusi, Pak Agus Guntoro, aktivis sosial dari Sumatera yang turut hadir sebagai narasumber, menyoroti perlunya penegakan hukum yang lebih kuat dalam menangani perdagangan manusia. Menurutnya, penegakan hukum saat ini masih sering terhambat oleh birokrasi yang mempersulit proses pelaporan hingga penangkapan pelaku. “Kerjasama dengan aparat penegak hukum, baik dari kepolisian hingga ke jaksa penuntut, perlu lebih dipererat. Kasus-kasus perdagangan manusia yang ditangani selama ini sering kali terhenti karena lemahnya koordinasi lintas sektor,” ujarnya.
Dalam mendukung penanganan dan pencegahan perdagangan manusia, diperlukan juga sinergi antara pemerintah daerah dengan organisasi non-pemerintah dan tokoh masyarakat. Bu Emilia menambahkan bahwa keterlibatan lintas sektor menjadi kunci utama dalam mengatasi masalah perdagangan manusia, terutama di wilayah-wilayah terpencil. “Di NTT, kami membentuk satuan tugas yang terdiri dari aparat desa, tokoh agama, dan kader sosial. Mereka memberikan edukasi kepada masyarakat untuk mencegah perdagangan manusia dan melaporkan jika menemukan indikasi tindak pidana ini,” ujarnya.
Rehabilitasi dan Dukungan Psikososial bagi Korban
Lebih jauh, Ibu Sulis menjelaskan tentang pentingnya memberikan dukungan psikososial bagi korban yang berhasil diselamatkan. Menurutnya, banyak korban yang mengalami trauma berat akibat perlakuan kasar yang diterima, baik secara fisik maupun mental. “Rehabilitasi adalah proses penting yang harus dijalani korban untuk membantu mereka pulih dan kembali ke masyarakat dengan perasaan aman,” tambahnya. Namun, tantangan yang dihadapi juga tidak sedikit, mengingat ketersediaan layanan kesehatan mental di NTT masih terbatas, terutama bagi mereka yang tinggal jauh dari pusat kota.
Ibu Sulis juga menyoroti perlunya peraturan yang lebih kuat di tingkat desa, seperti Peraturan Desa (Perdes) terkait perlindungan anak dan perempuan dari kekerasan. Ia menuturkan, “Pembuatan Perdes dapat menjadi solusi bagi banyak desa di wilayah kami yang jauh dari jangkauan layanan pemerintah daerah. Dengan adanya Perdes, desa dapat lebih mandiri dalam melindungi warganya.”
Harapan dari Diskusi
Diskusi yang berlangsung interaktif ini melibatkan berbagai pihak untuk memberikan masukan dalam upaya penanggulangan masalah perdagangan manusia dan kekerasan terhadap kelompok rentan. Selain sebagai sarana berbagi pengetahuan, acara ini juga bertujuan untuk membangun jejaring yang lebih kuat antara wilayah NTT, Sumatera, dan Sulawesi dalam upaya bersama untuk mencegah perdagangan manusia. Ibu Sulis berharap, kegiatan semacam ini dapat terus digalakkan sehingga masyarakat di daerah-daerah yang rentan dapat memperoleh informasi dan perlindungan yang lebih memadai.
Dengan upaya edukasi, penegakan hukum, dan kolaborasi multi-stakeholder yang intensif, Jaringan ILEP-PLD berharap dapat meminimalisir angka perdagangan manusia dan memberikan resiliensi bagi kelompok rentan, termasuk anak, perempuan, dan penyandang disabilitas, dalam menghadapi kekerasan serta eksploitasi di masa mendatang.
Simak Bincang PLD: Pencegahan Perdagangan Manusia dan Resiliensi Terhadap Kekerasan pada Anak, Perempuan