
Channel9.id, Jakarta – Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan (TERASI Pangan) mengkritik langkah Presiden Prabowo Subianto yang menghapus kuota impor komoditas pangan. Sebab, secara konstitusionalitas pandangan ini bertentangan dengan UU Pangan dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang mengatur pembatasan impor pangan dan komoditas agar tidak merugikan petani, nelayan, peternak dan pelaku usaha pangan skala kecil lainnya.
Pembebasan kuota impor akan memberikan pukulan bagi produsen pangan skala kecil dari dua sisi. Pertama, produsen pangan kecil tidak akan bisa bersaing dengan produk pangan impor yang kerap lebih murah dibandingkan harga biaya produksi yang mereka keluarkan akibat rendahnya subsidi pertanian.
“Kedua, pilihan untuk ekspor bagi produsen pangan kecil hampir tidak ada dengan sulitnya regulasi ekspor yang hampir mustahil dipenuhi oleh produsen pangan skala kecil,” tulis TERASI Pangan) dalam pernyataan tertulisnya, Senin (14/4/2025).
Akibatnya harga hasil produksi pangan dari petani jatuh. Contoh kasus terjadi pada tahun 2024 lalu, yang berimbas pada jatuhnya harga pembelian gabah kering. Termasuk kuota impor beras yang cenderung meningkat tiap tahun. Permasalahan ini adalah contoh bagaimana terjadi proses keputusan kuota impor tidak melalui transparansi dan keterbukaan. Walaupun, kebijakan kuota impor, meski lemah, merupakan salah satu cara untuk melindungi pasar domestik sekaligus memberi ruang pasar bagi para produsen pangan skala kecil.
Salah satu komoditas yang penting untuk ditelusuri “jejak impornya” adalah daging sapi, karena menjadi komoditas yang disoroti oleh Presiden Prabowo dalam pernyataannya.
Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian tahun 2023, di tahun 2022, produksi daging sapi meningkat menjadi 499 ribu ton atau naik sebesar 2,44% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, di tahun yang sama, terjadi volume impor daging sapi tertinggi mencapai 287,53 ribu ton atau setara US$ 1.056 juta, situasi ini berdampak pada terjadinya defisit neraca perdagangan daging sapi cukup tinggi pula, mencapai 1.056 juta US$.
“Dalil” pemerintah tetap membuka “keran impor,” di tengah kenaikan produksi dalam negeri adalah, jenis peternakan di Indonesia umumnya bersifat social security, artinya, sapi baru akan dijual atau dipotong saat-saat tertentu seperti untuk kebutuhan finansial, kurban, hingga hajatan. Pernyataan untuk penghapusan kuota impor khususnya untuk komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak salah satunya impor daging sapi menunjukkan ketidakpahaman mengenai sistem pangan karena ada kecenderungan volume produksi meningkat.
Menurut koalisi, kebijakan Prabowo tersebut juga menunjukkan kontradiksi dan bertolak belakang dengan keinginan untuk swasembada pangan dan kemandirian pangan yang tertulis dalam dokumen Asta Cita dari Presiden Prabowo sendiri.
Pemerintah Prabowo seolah-olah ingin meningkatkan produksi pangan dengan berbagai program produksi pangan seperti food estate di Sumatra Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Selatan. Tetapi program swasembada pangan tidak sejalan dengan arahannya untuk menghapus kuota impor yang justru akan membuka pintu masuk dan membanjirnya pangan impor secara luas tidak dapat terkendali.
Menurut Dwi Astuti selaku Ketua Pengurus Bina Desa, perempuan petani dan nelayan di pedesaan merupakan subjek paling terdampak dari kebijakan penghapusan kuota impor. Mengingat perempuan petani dan nelayan merupakan pelaku utama dalam sistem pangan lokal mulai dari produksi, konsumsi keluarga hingga distribusinya.
Saat mereka tersingkir dari sistem produksi karena tidak mampu bersaing dengan masuknya produk impor yang melimpah dengan harga murah, kedaulatan pangan keluarga dan komunitas desa melemah.
Selain itu, beban ganda dalam kegiatan produksi pertanian dengan kerja reproduksi rumah tangga membuat perempuan petani dan nelayan harus mencari cara untuk mencukupi kebutuhan pangan dan gizi keluarga, dengan sumber daya yang semakin terbatas. Kondisi ini diperburuk dengan terganggunya sistem produksi akibat persaingan bebas di pasar yang tidak adil dan membuat harga produk lokal anjlok.
Marthin Hadiwinata, selaku Koordinator Nasional FIAN Indonesia menilai, pernyataan Prabowo tersebut, hanya akan membunuh petani, keanekaragaman pangan dan meruntuhkan kedaulatan pangan Indonesia. Pasalnya petani, nelayan, peternak, dan petambak di Indonesia dengan mayoritas dalam lingkup skala usaha mikro dan kecil akan semakin dirugikan dan dimiskinkan dengan banjirnya produk pangan impor tersebut.
“Dengan adanya kuota impor yang telah berjalan sebelumnya pun, produsen pangan skala kecil telah mengalami kesulitan berkompetisi dengan produk impor yang secara harga jauh lebih murah, apalagi jika penghapusan dan deregulasi kuota impor diberlakukan tentunya akan menambah beban pemiskinan kepada produsen pangan,” ujarnya.
Sementara itu Gunawan, Penasehat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), menyatakan bahwa, permasalahan ekonomi biaya tinggi dalam penetapan kuota impor pangan, seharusnya diatasi dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi dalam penetapan kuota impor pangan, bukan melanggar prinsip-prinsip pembatasan impor pangan.
Dan penghapusan kuota impor, khususnya impor pangan sebagai respon perang tarif yang dilancarkan pemerintah Amerika adalah kebijakan yang tidak tepat, karena pangan adalah salah satu unsur kekuatan nasional yang seharusnya dapat dipergunakan dalam menunjang diplomasi ekonomi.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, Rahmat Maulana Sidik menambahkan bahwa pernyataan Prabowo untuk membuka keran impor pangan seluas-luasnya ini semakin melegitimasi bahwa Pemerintahan Prabowo hanya pro terhadap kebijakan liberalisasi pangan.
“Selama ini kebijakan impor pangan terus dipaksakan kepada negara berkembang seperti Indonesia melalui berbagai kebijakan perdagangan di WTO dan juga FTA. Dengan pembukaan keran impor pangan secara serampangan justru ini akan semakin menghancurkan kedaulatan pangan domestik. Langkah liberalisasi pangan ini akan menyerahkan urusan pangan ke korporasi besar termasuk pangan impor sehingga meninggalkan petani lokal kita,” tegasnya.
Sumber artikel: channel9.id
https://channel9.id/pembebasan-kuota-impor-pangan-oleh-prabowo-disebut-bakal-bunuh-petani/