Tulisan berikut ini merupakan hasil penelitian dari Saudara Mohamad Shohibuddin , beliau merupakan pemikir muda dari Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) dan Pusat Studi Agraria (PSA), Institut Pertanian Bogor (IPB). BINADESA.ORG merasa perlu untuk mempublikasikan tulisan ini, karena setelah dua tahun sejak Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) di sahkan, membawa berbagai konsekuensi politik, ekonomi, sosial dan budaya di desa. Terutama terkait dengan tata kelola sumber agraria di desa, mungkinkah akan terjadi perubahan struktur agraria yang berkeadilan, membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat desa. Melalui UU Desa, pengakuan atas berbagai kewenangan yang dianggap menguatkan peran desa untuk membangun dijadikan peluang sekaligus tantangan. melalui Asas rekognisi yang diartikan sebagai “pengakuan terhadap hak asal-usul”, sementara asas subsidiaritas yang diartikan sebagai “penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. selamat membaca.
Abstrak
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa)—terlepas dari terobosan politiknya dalam menggulirkan demokratisasi relasi negara-desa—memiliki keterbatasan mendasar terkait isu sumber daya alam di desa mengingat krisis agraria dan krisis ekologi yang terjadi di perdesaan. Selain tidak banyak mengelaborasi aspek-aspek penting dari isu sumber daya alam, UU Desa juga hanya memberikan kewenangan yang minim terhadap swakelola sumber daya alam desa oleh pemerintah desa serta tidak menyentuh ketimpangan akses warga desa terhadap sumber daya alam setempat. Dihadapkan pada tantangan struktural demikian, perjuangan “otonomi desa” akan sulit mendorong transformasi sosial yang berarti tanpa melibatkan upaya penataan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pada saat yang sama, perjuangan “keadilan sosial-ekologis” akan sulit tampil sebagai agenda kolektif desa tanpa mengupayakan demokratisasi yang lebih dalam di internal desa sendiri. Tulisan ini menawarkan kerangka perjuangan “demokratisasi tata kelola sumber daya alam desa” sebagai konvergensi strategis dari dua perjuangan sebelumnya: “otonomi desa” dan “keadilan sosial-ekologis”. Hal ini diupayakan melalui tiga agenda konkret yang saling terkait: penguatan kewenangan desa atas sumber daya alam setempat, demokratisasi relasi-relasi sosio-agraria di desa, dan pembalikan krisis pedesaan untuk merevitalisasi basis-basis produksi desa.
Untuk lebih lebih lengkapnya silakan mengunduh versi pdf nya, di sini
*Redaksi mengucapkan terima kasih kepada Lab Sosio, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) yang telah mengijinkan pemuatan ulang tulisan diatas. Tulisan ini telah diterbitkan oleh Masyarakat: Jurnal Sosiologi dalam Vol. 21 No.1, Januari 2016 anda juga bisa membacanya di tautan (link) dari artikel tersebut dalam website MJS: http://journal.ui.ac.id/index.