
BINADESA.ORG– Bulan April-Mei merupakan waktu panen padi bagi sebagian besar daerah di Indonesia. Beberapa daerah yang terekam oleh binadesa.org adalah di Desa Warungbanten, Kec. Cibeber, Lebak Propinsi Banten dan Desa Salassae, Bulukumpa, Bulukumba Propinsi Sulawesi Selatan. Masing-masing wilayah memiliki cara dan tradisi tersendiri, pengetahuan ini merupakan hasil turun menurun ataupun inovasi yang diperbaharui dari warisan nenek moyang.
Di Desa Warungbanten dalam setahun biasanya untuk lahan sawah dua kali panen padi dan untuk diladang (huma) hanya satu kali dalam setahun panen padi. Masyarakat desa baik petani sawah dan ladang berbarengan bercocok tanamnya. Hal ini merupakan aturan adat. Sebelum dimulai masa tanam akan ada intruksi langsung dari Pupuhu Adat, kapan waktu bercocok tanam yang tepat. Ketika panen telah tiba, mulai kesibukan dan keceriaan bagi para petani. Biasanya panen untuk ladang lebih duluan daripada padi sawah.
Panen padi, khususnya padi besar atau padi ranggeuy langsung di simpan di lantayan (tempat menjemur padi sementara ) sebelum dimasukan ke lumbung padi selama satu atau dua minggu tergantung cuaca. Setelah kering padi langsung di ikat (di pocong) dan dibawa (diunjal pake rengkong : terbuat dari bambu dan pake pananggung) ke lumbung padi sebagian, disimpan dirumah untuk cadangan nganyaran (syukuran) dan biasanya dicadangkan juga untuk jekat (zakat). Tradisi ini dilakukan sudah sejak lama dan terjaga hingga sekarang ini.
Ada sisi menarik dan baik dari hasil panen di pedesaan (khususnya desa warungbanten) padi tidak boleh dijual (buyut) tetapi harus disimpan di lumbung padi yang sudah disiapkan. Dalam proses penyimpanan di lumbung, padi-padi tersebut tetap berkualitas baik hingga mencapai 15 sampai dengan 25 tahun terutama padi alami. Ini bukti bahwa kedaulatan pangan sudah diajarkan olek nenek moyang sejak dulu.

Petani Desa Salassae yang terus berbenah
Desa Salassae di Bulukumba, mempunyai cerita yang tak kalah menarik. Para pemuda tani, perempuan dan orang tua mengenal pertanian alami semenjak tahun 2011. Perkembangannya termasuk cepat, hal ini karena ada peran inisiator yakni Armin Salasa dan kawan-kawannya. Banyak petani yang kemudian bergabung dan mempraktekan pertanian alami. Sehingga secara drastis penjualan pestisida menurun dan lahan yang tidur menjadi produktif. Namun saat ini ada upaya-upaya untuk merayu petani agar kembali ke pertanian konvensional atau kimia dengan memberi banyak insentif.
Menurut Ponnong, Ketua Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSPS) Kalau petani hari ini, di buat ketergantungan terhadap pihak luar yang dimediatori oleh pemerintah atau penentu kebijakan, maka KSPS Lahir untuk petani untuk membebaskan dari ketergantungan itu. “Kami menyebutnya dengan petani keluarga melawan kemiskinan, yang diterapkan dengan cara sistem pertanian alami” ujarnya
Salah satu pemuda tani yang melakukan pertanian alami adalah Wahid. Pada saat ini merasakan bagaimana pertanian alami telah mengubah banyak hal, mulai dari perilaku, lingkungan dan kualitas hidup yang makin baik. “Keberhasilan tidak Harus selalu dinilai dari berapa banyak jumlah dan volume yang di hasilkan, tetapi yang terpenting adalah belajar mensyukuri yang ada….dan tetap konsisten dengan ideologi (bertani alami) yang kita miliki” kata Wahid disela-sela panen padi di lahannya bersama keluarga. (bd018)