Bina Desa

SNI: Darurat Perompakan, Nyawa Nelayan Kecil Terancam dan Merugi Milyaran Rupiah

Ratusan Nelayan dari Indramayu, Cirebon dan Tegal yang tergabung dalam Serikat Nelayan Indonesia (SNI) meminta pemerintah memberikan Perlindungan bagi nelayan kecil dari perompakan di laut (Foto: Bina Desa/SNI)

JAKARTA, BINADESA.ORG–Nelayan yang merupakan pilar utama sebagai produsen pangan laut dan garda terdepan dalam menjaga keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam wilayah perairan,  saat ini harus dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang mengancam kesejahteraannya. Persoalan pertama yang mungkin cukup klasik adalah proses produksi dan distribusi yang masih bergantung kepada para tengkulak sehingga keterlibatan para nelayan, khususnya nelayan kecil, dalam menentukan harga  menjadi kecil bahkan tidak ada sama sekali, hal ini jelas adalah suatu bentuk ketidakadilan ekonomi.

Namun, persoalan lainnya muncul disaat nelayan kecil menjadi korban perompakan di tengah laut. Secara paksa perompak mengambil hasil jerih payah para nelayan kecil  dan bahkan tidak segan-segan untuk membunuhnya. Kasus ini rentan dialami oleh para nelayan rajungan khususnya di perairan Sumatera.

Berdasarkan data dari Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Kabupaten Cirebon,  250 perahu telah  menjadi korban, mulai dari daerah Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, dengan rincian rata-rata perperahu adalah 6 kuintal, sehingga bila diakumulasikan mencapai 1500 ton dalam 3 bulan terakhir, dengan kerugian ditaksir 180 ton atau sekitar 18 milyar/bulan.

Pada awalnya, nelayan yang telah menjadi korban tidak hanya diam. Mereka sudah melaporkan tindakan kriminal tersebut kepada penegak hukum, namun sama sekali tidak digubris. Menurut Ribut Bahtiar Ketua Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Kabupaten Cirebon “Nelayan Cirebon rata-rata mencari rajungan didaerah perairan Lampung, tetapi seperti laporan yang sudah diajukan kepada Kepolisian  Daerah (POLDA) Lampung yang hanya menjadi catatan kertas yang tidak ada tindaklanjutnya”.

Bahkan lebih dari itu, niatan baik nelayan untuk melaporkan nasibnya kepada para penegak hukum tersebut berujung ironi. Nelayan malah harus membayar upeti agar nelayan dijamin keamanannya. Contohnya seperti apa yang dilakukan pihak Polairud yang mengharuskan para nelayan kecil tersebut   menjual hasil tangkapannya kepada mereka dengan harga yang mencekik agar mendapat garansi keamanan.  Kepada oknum tersebut nelayan dipaksa menjual dengan harga 12 ribu yang sangat jauh dari takaran harga yang biasa ditetapkan, yaitu 37 ribu. Bukannya keamanan atau keadilan yang didapat, malah para nelayan justru menjadi sapi perahan beberapa oknum mulai dari Polisi Air dan kemenhub .

Kewajiban Negara

Negara mempunyai kewajiban seperti dalam Undang-Undang No 7 tahun 2016 tentang  Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam pada pasal 3 dari point A sampai F adalah: (a) menyediakan prasarana yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha (b) memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan (c) meningkatkan kemampuan kapasitas dan kelembagaan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam serta penguatan kelembagaan dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan serta mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan, (d) menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan dan melayani kepentingan usaha, (e) melindungi dari resisiko bencana alam dan perubahan iklim dan (f) memberikan perlindungan hukum keamanan di laut.

Sejalan dengan regulasi itu, Achmad Yakub , pegiat Bina Desa mengutarakan bahwa jelas sekali, kewajiban negara untuk memberikan perlindungan hukum dilaut. Demikian juga dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009 (perubahan atas UU No.31 Tahun 2004) pasal 69 (1) kapal perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum dibidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. “Sehingga Negara punya tanggung jawab dalam menempatkan pengawasan terhadap aktivitas diseluruh perairan Indonesia” tegas Yakub. Termasuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Budi Laksana Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Serikat Nelayan Indonesia (SNI) melihat bahwa Undang-Undang  tersebut justru tidak bisa menjadi pegangan Pemerintah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Mabes Polri, dan Badan Keamanan Laut dalam melakukan tindakan terhadap para perompak di perairan Indonesia khususnya diperairan Sumatera diantaranya Pelabuhan Maringgai, Kuala Penet, Kuala Siputih, Sungai Burung, Perairan Mesuji (perbatasan Lampung-Palembang), Perairan Sibur, Perairan Sumur, Perairan Sungai Pasir bahkan sejak pertengahan tahun 2016 sudah sampai Jawa bagian Barat.

Kondisi yang dialami para nelayan kecil ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan apa yang digembar-gemborkan media perihal keberanian Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi  saat berani menenggalamkan kapal-kapal asing yang melakukan ilegal fishing di perairan Indonesia, sehingga menimbulkan stigma bahwa hanya kapal asing saja yang berani ditenggelamkan tetapi tidak dengan kapal perompak.

Budi Laksana membacakan tuntutannya di hadapan massa SNI sekitar 700 nelayan dan puluhan aktivis yang berdemontrasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 23 Agustus 2016 lalu. Mereka menuntut, karena banyaknya tindak perompakan yang dialami oleh nelayan kecil dan pemerasan yang dilakukan oleh institusi-institusi negara yang seharusnya mengayomi para nelayan kecil tanpa pamrih.  SNI juga mengharapkan pemerintahan yang berwenang, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Keamanan Laut  untuk menindak tegas aksi-aksi perompakan yang selama ini diyakini adanya backing-an  dari oknum penegak hukum ( setelah diamati dari laporan-laporan yang tak kunjung ditindaklanjuti )  dan aksi-aksi pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum penegak hukum. (###)

 

Scroll to Top